Awalnya
aku sama sekali tak tertarik dengan lagu ini. Namun saat menyaksikan seorang
gadis Mesir menyanyi lagu ini dengan berlinang air mata, aku tertegun.
Teman-temanku pun ikut terpukau dengan suara itu. Suara yang keluar dari dalam
hatinya.
Aku pun
mencari lirik lagu itu, dan tertegun saat melihat maknanya.
Ketika aku
berbalik pada sudut itu . . .
Aku
melebur ke dalam kerumunan orang . . .
Dan
meleleh kepada kekosongan . . .
Aku
kehilangan diriku . . .
Dan tak
menemukan kata untuk diucapkan . . .
Namun satu
hal yang masih membekas . . .
suaraMu[1]
. . .
aku
teringat masa laluku, saat tak ada Allah di hatiku. Aku terlena dengan lingkungan
di sekitarku. Terlena dengan orang-orang. Aku kehilangan arah. Tak tahu lagi
apa yang seharusnya aku lakukan. Mungkin karena kekecewaanku tak bisa langsung
kuliah usai lulus SMA. Kehidupanku hanya ada di dalam rumah dan warung
internet. Dua tempat itu yang menjadi tujuanku. Aku tak tahu harus berbuat apa
lagi untuk melegakan hatiku.
Suara
itu selalu muncul di hatiku. Memenuhi kepalaku dan selalu membisikiku kalau
perbuatanku ini menghabiskan umurku. Itulah suara Allah, atau yang kita sebut
hati nurani. Saat kita berbohong hati kita pasti berontak dan mengatakan, “Berbohong
itu salah”. Saat kita menyakiti orang lain hati itu kembali bersuara, “Ini
salah”. Saat kita melakukan hal yang tidak ada gunanya di kehidupan kita, suara
itu kembali muncul, “Kamu harus keluar dari kebiasaan ini, ini hanya membuang
umurmu.”
Suara
itu selalu mendengung di kepala dan hatiku saat itu. Aku selalu berontak dan
melupakan Allah. Ibadah sehari-hariku hanya formalitas bagiku. Aku tak
menghadirkan Allah di dalam hatiku saat itu. Aku jauh dari cahaya. Namun Allah
selalu mendekatiku, melalui suara yang Dia bisikkan dari dalam hatiku.
Berkali-kali
aku berontak, namun tetap tidak membawa ketenangan dalam hatiku. Sampai
akhirnya aku menyerah dan mengikuti suara itu. Lantas aku bertanya kepada
nuraniku, “setelah aku mengikutimu, apa yang seharusnya aku lakukan? Aku masih
kehilangan arah. Tak ada jalan pasti yang aku tapaki.
Jika kamu
kehilangan jalanmu . . .
Saya akan
membimbingmu . . .
Yang harus
kamu lakukan, percaya pada dirimu . . .
Jangan
takut . . .
Jalan yang
kamu tapaki . . .
Akan
semakin bersinar[2] . . .
Dan
kesempatan itu datang, kabar ujian ke Mesir terdengar di telinga keluarga kami.
Aku ragu dan bertanya kepada diriku, apakah aku masih mampu? Sudah setahun aku
tak memegang kembali buku-bukuku. Pelajaranku banyak yang terlupa. Namun aku
percaya kepada Allah. Dan Dia membisikiku tuk percaya kepada diriku.
Dan
disinilah aku sekarang . . . setapak yang Allah tunjukkan. SuaraNya selalu
membimbingku. Jalan yang semula remang, kini mulai jelas sedikit demi sedikit.
Dan aku
yakin setiap orang mengalami hal ini bukan? Saat hati kita menggelap karena
dosa dan kesalahan, suara itu kembali mengingatkan. Tak peduli seberapa jauh
kita menjauh dariNya, dengan senang hati Dia mendekat dan terus mendekat kepada
kita. Dia menginginkan yang terbaik untuk kita.