Kesetiaan yang Rapuh



Senin, 8 Maret 2013

                Seorang teman datang mengunjungi asrama kami. Wajahnya kini lebih ceria dari biasanya. Tak ada beban berat tergambar di sana. Istrinya telah pulang di Indonesia. Aku dengar istrinya hamil 3 bulan, aku dengar juga karena si istri ingin kuliah di Indonesia, karena di Mesir dia tidak bisa kuliah.
                Saat itu ada tiga orang di kamar. Dengan ringannya dia berbicara kepadaku, “Zai, carikan aku seorang gadis Mesir yang mau dengan orang Indonesia sepertiku.”
                Aku langsung naik pitam,”Terus mau dikemanain istrimu!!!”
                “Itu kan istri pertama, yang Mesir mau aku jadikan istri kedua.”
                Gila, orang seperti dia kenapa harus ada di Mesir! Aku sudah tidak nyaman saat mengetahui seringai serigalanya. Meski dia teman sedaerahku, meski dia teman yang berangkat satu pesawat denganku, aku tak suka dengan sifatnya.
                Aku tahu wajahnya tampan, aku tahu gaya bicaranya begitu pelan dan bijak. Aku tahu orangnya lumayan cerdas. Orang-orang akan jatuh hati saat pertama kali mengobrol dengannya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ada seringai serigala yang patut dihindari.
                Aku mengetahui sejak di Indonesia kalau dia sudah menikah. Namun, saat pertama kali tiba di Mesir, dia mendekati dan merayu tiap perempuan yang terlihat cantik di matanya. Matanya berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat kecantikan mereka. Matanya membundar.
                Aku mengatakan kepada teman-teman bahwa dia sudah menikah. Dan dia marah kepadaku sesampainya di rumah. Ya, saat itu kami masih tinggal seatap, “Zai, kenapa kamu bilang ke semua orang aku sudah menikah!!!”
                Ente gak nyadar apa sudah memiliki istri?! Lihat perbuatanmu, seenaknya merayu gadis. Apa ente gak kasihan sama istrimu yang menanti di Indonesia? Dia mempercayai kesetiaanmu!!” dan saat itu juga persahabatan kami merenggang.
                Beberapa bulan setelah kejadian itu, istrinya datang ke Mesir. Entah karena alasan apa. Namun, ada kabar gelagatnya tercium oleh istrinya dan mulai meragukan kesetiaannya. Dan aku lihat wajah temanku hampir tak pernah ceria, seolah ada beban berat menggantung di wajahnya. Aku berprasangka bahwa kini dia sudah dewasa. Menanggung beban rumah tangga memang berat. Namun, saat dia datang kepadaku meminta dikenalin seorang gadis Mesir, ternyata aku terlalu berprasangka baik kepadanya. Ternyata kehadiran istrinya mengekang kebebasannya untuk mendekati perempuan lain. Saat istrinya tinggal kembali di Indonesia, wajahnya kembali ceria, kebebasannya kembali dia dapatkan.
                Wajah indahnya tak mencerminkan hatinya. Dan aku baru menyadarinya, dalam kepanitiaaan dia juga mendekati para gadis Singapore. Pantas, beberapa waktu lalu dia menyebut-nyebut Singapore. Aku baru sadar.
                Aku berdo’a semoga tidak ada perempuan yang jatuh ke tanganmu lagi, sobat. Ini demi kebaikanmu. Juga kebaikan istrimu. Tidakkah kau sadar dia sedang mengandung anakmu kini?
                Untuk para pembaca, jangan langsung terhanyut dengan seorang lulusan al-Azhar. Tidak semuanya memiliki perangai yang baik. Terkadang mereka menggunakan title al-Azhar untuk mendekati perempuan, menggunakan title itu untuk mendapat segala yang dia inginkan. Gelar itu sungguh ujian dari Allah.
»»  Baca Selengkapnya...

Suara Merpati



Selasa, 9 Maret 2013

                Setiap dedaunan yang jatuh memiliki alasan, tiap tetes air hujan yang jatuh pun memiliki alasan, tiap mimpi yang tergambar dan terbangunnya kita di pagi yang buta pun memiliki alasan.
                Pagi ini aku terbangun sebelum subuh, yang sebelumnya aku memimpikan Hadeel (baca:Hadil). Aku tak tahu kenapa ini bisa terjadi, padahal sebelumnya aku tak memikirkannya, kenapa wajahnya harus muncul dibenakku?
                Pernah sesekali memikirkan wajahnya, namun seolah aku dihimpit rasa dosa, dan sanubariku memaksa untuk beristighfar. Seolah Allah berbicara, “Mariam lebih layak untukmu, Aku memilihkan Mariam untukmu.” Dan saat itu juga, aku tak pernah memikirkan Hadeel.
                Namun, saat aku benar-benar melupakannya, kenapa dia muncul di mimpiku? Bahkan tiga hari yang lalu dia juga hadir dalam mimpiku. Kenapa harus dua kali dalam seminggu ini? Dua kali muncul di mimpi, apakah suatu kebetulan?
                Mimpi adalah rahasia ilahi, dan mimpi yang tergambar memiliki alasan. Dan kini, aku terbangun sebelum subuh karena mimpi itu. Padahal beberapa hari ini aku terbangun saat adzan subuh berkumandang, dan melewatkan tahajjud.
                Saat kita terbangun sebelum fajar, berarti Allah memilih kita untuk berdua dengannya saat itu juga, namun kenapa harus terbangun karena mimpi itu? Aku masih menunggu alasan yang ingin Allah tunjukkan kepadaku.
                Aku duduk di atas sajadah, dan kulihat di jendela masih menggambarkan kelamnya awan. Ku lihat sekitar, dua orang temanku masih terbaring di dalam selimut. Aku berdo’a dan seketika teringat pembicaraanku dengan Hadeel.
“Zain, kamu tahu arti namaku?”
Aku menggeleng
“Kamu tahu burung merpati? Aku suaranya.”
»»  Baca Selengkapnya...

Mesra dalam Sunyi


Aku lupa kapan kejadian itu terjadi. Dan entah saat itu sore hari atau malam hari yang sedang menyelimuti pembicaraan kami. Yang pasti obrolan itu terjadi saat musim dingin. Saat itu, aku tinggal di lantai dua, kamar temanku. Karena terlalu jenuh aku mendiami kamar lantai empat. Ingin mengganti suasana.

Aku terduduk di depan laptopku. Laptop aku letakkan di atas kardus mini, karena tak ada meja banyak meja di kamar itu. Dan aku duduk di atas lantai beralaskan kasur kapuk. Kamar ini tak jauh beda dengan kamarku. Berbentuk kubus dan tidak terlalu lebar. Di samping kanan pintu ada lemari yang terbuat dari tembok. Sepertinya temboknya sengaja dilubangi untuk membuat tembok. Di samping kiri ada lemari es, warisan dari generasi sebelumnya. Makanya tak heran jika lemarinya sudah bobrok.

“Jack, sudah lama kamu tidak pergi ke luar. Memang nggak bertemu Mariam lagi?”

Aku hanya menyunggingkan senyum. Iya, saat itu mungkin sudah tiga minggu aku tak bertemu dengannya. Pernah hampir dua bulan aku tak bertemu dengannya. Aku berpikir, dia masih belum halal bagiku, kenapa aku harus sering-sering bertemu dengannya?

Cinta itu tak bertahan lama tanpa kesunyian. Cinta membutuhkan istirahat. Hewan dan manusia pun butuh istirahat untuk bertahan. Tanpa istirahat, seorang anak tak akan bisa mempelajari kehidupan, seorang seniman tak akan bisa mencipta karya, suatu pekerjaan tak akan bisa tumbuh dan berkembang.

Kesunyian bukan karena tidak adanya cinta di dalam hati. Bukan juga karena hilangnya cinta. Namun sebagai pelengkap. Keheningan memberi kita kesempatan untuk berbicara kepada sanubari kita, apa yang seharusnya kita lakukan dalam kehidupan ini. Jika kita tidak pernah sendiri, kita tak akan mengetahui diri kita. Dan jika kita tidak mengetahui diri kita, kita akan mulai takut pada kesendirian.

»»  Baca Selengkapnya...

Dering Pembawa Kehangatan


Selasa, 2 April 2013


Pagi ini aku terbangun agak siang dan tertinggal tuk shalat di masjid. Sebenarnya alarm ponsel temanku sudah berdering saat adzan subuh berkumandang. Namun di dalam hatiku berkata, “Ah, baru adzan. Tidur lima menit lagi.” Dan ini lah hasilnya. Aku harus merugi karena tak melaksanakan ibadahku di masjid. Namun beruntungnya fajar belum meninggalkanku. Aku bergegas keluar kamar dan berwudlu.

Aku memasuki kamar usai membasahi diri dengan air wudlu. Kamarku kecil. Memasuki pintu di samping kanan ada lemari berjejer tiga. Lemarinya terbuat dari tembok, bukan kayu. Di samping kanan ada rak kayu buatan  kita sendiri. Dua tahun lalu kita membeli  bahan kayu dan membuatnya ala kadarnya. Jadilah rak bertingkat lima memanjang. Rak paling atas aku tempati buku berbahasa inggris dan buku berbahasa indonesia. Rak kedua aku penuhi dengan majalah. Mulai majalah berbahasa arab sampai berbahasa inggris. Mulai majalah remaja, politik sampai majalah hijab fashion. Haha aku sengaja beli majalah hijab fashion untuk menunjukkan model berjilbab orang timur tengah kepada mbak, sepupu dan bibiku di Indonesia nanti. Rak ketiga berisikan buku diktat kuliah. Rak keempat buku berbahasa arab. Rak keempat berisi makalah, koran dan arsip-arsip yang pernah ku anggap penting.

Aku gelar sajadah berwarna hijau dan kulaksanakan shalat dengan takzim. Kupanjatkan do’a pelan di dalam sanubari. Lantas berdiri mengambil buku di dalam rak ke tiga di samping kananku. Aku mengambil pensil di dalam tasku, tasku tergelatak di atas kursi samping rak.

Aku mulai duduk di atas lantai dan meletakkan buku diktatku di atas meja kayu bulat berwarna coklat. Aku membuka laptopku yang sedari dulu mendekam di atas meja ini. Aku buka satu dua lembar kemudian tanpa terasa ada suara ponsel berbunyi. Suaranya khas, itu suara ringtone ponselku! Aku mencari tahu asal suara itu, ternyata ponselku tergeletak di belakang laptop. Kulihat kaca ponsel yang pecah separuh itu, tak ada nama yang muncul. Kemungkinan ini nomor baru. Mungkinkah dari keluarga Indonesia. Karena setiap keluarga dari Indonesia menelpon selalu muncul nomor baru.

Aku membuka ponsel itu tanpa ragu, terdengar suara lelaki Mesir bernada tinggi. “Assalamu’alaikum Zain”

Jantungku tiba-tiba berdegup keras dan bertanya di dalam hati, “siapa ini? Kenapa tahu namaku?”
“Ini Abdul Halim.”

Pikiranku mencoba mencari seperti Abdul Halim ini. Karena aku mempunya beberapa teman bernama yang sama. Kemudian, melihat kualitas suara dari si penelpon, rasa cemas itu berubah. Ini Baba!
Kemudian bapak itu melanjutkan, “Ini Papanya Mariam.”

Benar dugaanku, aku langsung bertanya kabar. Namun dipikiranku masih bertanya, ada apa gerangan menelponku sepagi ini. Aku melihat jam di laptop, masih setengah enam pagi.

Ternyata Baba hanya menanyakan kabarku. Setelah mendengar jawabanku, terdengar suara lirih, “Ambil telepon ini, Mariam.”

Kemudian besar Baba berganti suara Mariam yang sangat lembut. “Bagaimana kabarmu, Zain?” aku membayangkan wajah Mariam sedang tersenyum malu-malu di balik telepon itu. “Saya hanya ingin tahu kabarmu.” Ah, hatiku langsung menghangat.

Pagi ini begitu indah, mendapat telepon dari Mariam dan keluarganya. Mungkin ini pertama kalinya mereka menelpon sepagi ini setelah beberapa bulan yang lalu. Mungkin mereka sedang mengujiku apakah aku terbangun di pagi buta, atau masih terlelap di atas kasurnya. Memastikan cocokkah aku menjadi keluarganya.

Aku beruntung ponselku tidak aku silent. Karena aku terbiasa mensilent ponsleku di kuliah dan lupa mengembalikannya pada setting normal. Beruntung juga aku masih terbangun dan melaksanakan sholat subuh sebelum matahari terbit. Semuanya berjalan mulus, seperti sudah disetting oleh Allah. Terima kasih Ya Allah.


»»  Baca Selengkapnya...

abcs