Apa, kali ini . . .


          
     Lagi . . . perasaan tidak enak itu muncul di dadaku. Setelah sekian lama terkubur kini menyeruak memunculkan sosoknya. Sosok yang tak terlihat dan tak bisa di sentuh, Rasa Gelisah. Begitu dalam dan tidak nyaman.

               Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat kuliah, setelah libur panjang. Meminta tanda bukti kuliah untuk pengurusan visa. Bertemu lagi bapak Syu’un (bagian kemahasiswaan) yang acuh, keras dan tak mau mendengarkan alasan. Begitu sakit hati ini. Dia langsung membalikkan muka, badan dan kursi. Tak mau mendengarkan keluhan mahasiswa, tak mau repot. Tak lupa dia meluncurkan ejekannya saat kita pergi.

               Bapak itu juga yang tak mau memberikanku surat izin untuk Umroh. Bapak jangkung kurus dengan rambut tipis keputihan. Yang sangat terkenal dengan kecuekan dan keacuhannya.

               Entah inikah yang namanya trauma atau apa, hatiku berat untuk melangkahkan kaki kembali ke tempat kuliah. Tahun pertama dan kedua aku trauma karena selalu diejek dan disiksa mahasiswa Mesir. Mereka sungguh tak beradab memperlakukan mahasiswa asing. Membuatku jarang masuk kuliah. Dan di tahun itu, aku terlalu sibuk dengan organisasi di luar kuliah, membuat pikiranku terpecah dan tidak bisa fokus kuliah. Namun, di tahun-tahun itu, Allah masih mengizinkan aku untuk lulus.

               Tahun ketiga, aku mulai bosan menjadi orang biasa. Aku ingin ingin meraih predikat Mumtaz (Cumlaude). Di tahun itu, aku menanggalkan semua organisasi. Aku tak lagi disibukkan dengan kegiatan di luar. Dan frekuensi kehadiranku ke tempat kuliah semakin meningkat. 

Tahun ajaran baru, aku menjadi orang Asia pertama yang hadir di kuliah, mahasiswa masih sedikit yang hadir saat itu, dosen pun tak semua hadir, mungkin atmosfer liburan masih membekas di jiwa mereka. Meski begitu, aku tetap setia menunggu meski kelas kosong.

Di tahun ketiga, aku lebih sering mencatat perkataan dosen dibanding tahun-tahun sebelumnya. Saat itu, pertama kalinya diri ini merasakan cinta pada Al-Azhar dan Universitasku. Begitu menyenangkan melangkahkan kaki ke kuliah, begitu damainya mendapat ilmu baru.

Saat teman-teman dan ibuku berangkat Umroh, tak lupa aku titip do’a kepada meraka. Untaian doa untuk akademisku. Aku ingin meraih Mumtaz di sisa tahun ini.

Saat ujian berlangsung, aku terlihat agak santai dari tahun sebelumnya. Karena buku diktat kuliah sebagian sudah aku habiskan. Aku sudah mempelajarinya jauh-jauh hari. Saat masa ujian aku mengulangi beberapa bab yang mungkin terlupa. Aku melihat sekelilingku, teman-teman seperti kesulitan karena tak terlalu siap menghadapi ujian.

Hari itu, saat ujian berlangsung, masjid asrama tiba tiba penuh sampai keluar. Di hari-hari biasa begitu sepi. Mungkin hanya terisi beberapa shaf, tak sampai keluar masjid. Di hari itu, aku tak lupa mendoakan teman-temanku agar lulus ujian. Karena malaikat akan mendoakan kita hal yang serupa saat kita mendoakan orang lain.

Dan hasil ujian pun keluar, aku tak lulus. Hatiku perih. Aku tanya kenapa, namun aku belum menemukan jawabannya sampai sekarang. Logikaku saat ini tak mampu memecahkan “arti” di balik semua ini.

Di tahun pertama dan kedua, saat aku jarang masuk kuliah, jarang mencatat penjelasan dosen, dan tak pernah belajar kecuali malam sebelum ujian, namun, Allah memberikan aku kelulusan.

Namun, saat ini, saat aku berkorban menanggalkan semua organisasi, saat aku sering ke kuliah dan mencatat penjelasan dosen, saat aku mulai menyukai universitasku, saat aku dengan tulus mendo’akan kelulusan teman-temanku, saat aku mempunyai tujuan untuk meraih nilai sempurna. Allah mengujiku.

Begitu berat aku menerimanya. Kenapa begitu terbalik? Kenapa saat aku berusaha lebih, Allah malah berkata sebaliknya?

Hari ini, saat aku mengunjungi kuliah, aku tak lagi merasakan kesenangan yang aku alami sebelumnya. Mungkin, aku mengalami trauma. Melangkahkan kaki di kuliah begitu memberi beban bagi mentalku.

Entah apa yang Allah ingin tunjukkan kepadaku, kali ini . . .
»»  Baca Selengkapnya...

abcs