Goresan Pena dari Sang Cleopatra



Rabu, 25-Oktober-2011

Hari ini, hari ulang tahunku. Hampir bertepatan dengan hari berdirinya PBB(Perserikatan Bangsa Bangsa) yang jatuh pada tanggal 24 Oktober.

Sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, aku selalu membanggakan hari lahirku. Aku selalu berkata kepada temanku, kalau hari lahirku satu hari setelah PBB didirikan.

Aku merasa, hari ini tiada kegiatan yang berarti. rasa yang kurang berkesan saat ulang tahun menjemput. Seharian hanya duduk di depan laptop.

Untuk menghilangkan penatku, aku mengecek inbox yang sudah lama tidak aku buka. Ada pesan dari Kheloud, seorang mahasiswi mesir. Dia mengirimkan pesan ini pada tanggal 21 Oktober. Pikiranku flashback ke kejadian beberapa hari yang lalu. Di tengah dinginnya malam, saat aku berkumpul bersama para kru. Jam sembilan tepat, Kheloud menelponku.
Izzayak Zein[1]?”
Aku spontan menjawabnya, “kuwais[2]!!”
“Kheloud, maaf sekarang aku ada agenda”
“Oh….gitu, kalau gitu aku telpon kamu satu jam lagi yaa”
Aku terdiam, aku ragu. Aku tidak yakin acaraku selesai hanya dalam waktu satu jam. Tetapi, rupanya Kheloud mengerti respon diamku.
“Zein, kalau begitu, miscall aku saja kalau acaramu sudah selesai”
Wah…sungguh hebat perempuan Mesir ini. mengerti sekali apa yang sedang aku pikirkan dan rasakan. Dia mengerti keadaanku, padahal aku tidak mengucapkan sepatah katapun.

Saat acaraku sudah usai, aku miscall dia, lama aku menunggu tetapi tidak juga dia angkat. Mungkin dia sudah terlelap. Aku kirimkan sms ke dia. dan mengucapkan selamat malam.

Aku klik pesan Khelod dengan Mouseku yang berwana hitam keperakan itu.
“salam, bagaimana kabarmu Zein? Ponselku saat ini tidak berfungsi dengan baik, jadi aku tidak bisa membalas sms-mu. Saat aku menelponmu, aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Dan bertanya tentang kesehatanmu. Dan bagaimana belajarmu? Sudah lama aku tidak mendengar kabarmu. Aku ingin kamu. Dan ingin meyakinkan kamu tidak sendirian.”

Ceile Kheloud…pesanmu kok kayak orang lagi pacaran gitu. Hahaha membacanya hatiku jadi deg-degan.

Kalau dipikirkan kembali, lebih dari satu bulan kita tidak bertemu satu sama lainnya. Padahal, dulu dalam dua minggu kita bertemu lima kali. Karena aku disibukkan oleh menulis dan wawancara, juga karena Kheloud sibuk kursus di beberapa tempat. Akhirnya kita tidak bertemu dalam waktu yang lama.

Pertemuan kami terjadi karena kesamaan hobi. Sama-sama suka bidang kesenian. Saat itu, aku iseng-iseng menggambar di salah satu buku teman Mesirku. Dan saat Kheloud melihat gambar itu. Dia bertanya, “siapa yang menggambar ini? aku ingin bertemu dengan orangnya!”

Saat aku menuruni tangga di Cairo University, Kheloud ada di samping tangga, menungguku.
“permisi, nama kamu Zein ya?”
Aku menganggukkan kepala.
“aku suka gambarmu…!”

Dari situlah persahabatan kami mulai terjalin. Dia sering mengajakku keluar berdua melihat pameran kesenian. Dan dia memberiku hadiah origami[3] buatannya sendiri. Begitu juga aku membuatkan sebuah buku yang berisi gambar buatanku. Dia sungguh sangat senang menerimanya.

Saat aku mengajak dia menghadiri acara yang diselenggarakan pelajar Indonesia. Orang-orang heboh melihat kami berdua. Gosip bertebaran di mana-mana. Ada yang mengira kami pacaran sambil berceletuk, “Zay, mesra sekali kalian berdua.”
Sampai ada yang meminta tips mendekati cewek Mesir. Haha .
Memang hal yang langka, Mahasiswa Indonesia berjalan berdua dengan perempuan luar negeri. Mereka sudah belajar dan hidup di luar negeri. Tetapi nyali mereka menciut saat berkenalan dengan para perempuannya.

Saat aku mengajaknya keluar pun, aku tidak berbuat macam-macam. Terkadang aku memintanya untuk membuat tulisan di buletinku. Karena dia menguasai lima bahasa asing. Bayangkan…!!. Wanita mana yang menguasai lima bahasa asing dalam usia semuda itu. Selain bahasa ‘Amiyah Mesir, dia juga mengerti bahasa Arab Fushah, bahasa Perancis, Inggris, Korea dan Rusia.

Dan yang membuatku terkesan, di kala kesibukan kursus belum menghampirinya. Dia meluangkan waktu kosongnya untuk mengajar al-Qur’an anak-anak berkebangsaan Rusia di masjid.

Dan saat kami berdua berdiskusi di Ashab Gami’[4], orang-orang Mesir yang lewat memandang kami, mengira bahwa kita sudah bertunangan bahkan sudah menikah. Haha.
Untungnya Kheloud menjelaskan bahwa kita hanya teman. Berada di sini karena belajar bersama.

Sampai saat ini, belum juga aku membalas pesannya. Menunggu waktu yang tepat. Tapi entah kapan. Dan apa yang sedang aku tunggu?

Zhie


[1] Bahasa Mesir yang artinya “bagaimana kabarmu Zein?”
[2] baik
[3] Seni melipat kertas dari Jepang
[4] Tempat yang menjual aneka minuman dan jus
»»  Baca Selengkapnya...

Dua remaja bermata bening itu…



24- Oktober-2011

Suasana Cairo benar-benar macet hari ini. bayangkan saja, naik bis dengan jarak tempuh hampir sepuluh menit, kini menjadi lebih dari tiga puluh menit. Uhh……

Siang ini, aku bergegas menuju pasar rakyat, Attaba. Aku mengambil stempel yang telah aku pesan satu minggu yang lalu.

Aku menaiki bis yang berhenti di dekat asramaku. Alhamdulillah aku mendapat kursi kosong untuk aku duduki.

Bis melaju dengan lancar saat itu. Di terminal selanjutnya, aku lihat beberapa ibu tengah menaiki bis yang sama. Namun sayang, ibu itu terpaksa berdiri karena tidak mendapat kursi.

Dengan senang hati, aku persilahkan ibu itu menempati tempat dudukku. Aku memandangi terus wanita berwajah kelelahan itu, teringat guru SD-ku. Selama perjalanan, dia selalu memandang keluar candela. Entah apa yang dia pikirkan. Ada masalahkah di dalam keluarganya? Meski raut mukanya sayu dan kosong, aku bisa melihat ketegaran dari parasnya. Memandangnya seperti berada dalam dekapan seorang ibu. Seolah berkata, “tenang nak….ibu ada di sini.”

&&&&&&&

Bis mulai dipenuhi oleh para penumpang. penuh, sempit dan sesak. Dan diperkeruh dengan macetnya jalanan. Aku lihat beberapa sosok ibu tengah kelelahan berdiri. Aku melihat sekitar, para pemuda dan laki-laki dengan nyamannya duduk di kursi, menutup mata dan telinga, tidak peduli dengan sosok-sosok ibu di depannya. Hati mereka sudah mulai mengeras, kelelahan orang lain tak lagi mereka rasakan. Yang mereka pikirkan adalah kenyamanan dirinya sendiri. Ah…seandainya kursi-kursi itu milikku.

Aku turun di stasiun Damardash, lagi-lagi suasana yang tidak biasa terlihat di sana. Loket pembelian tiket metro[1] penuh. Aku ikut berdesakan tuk mendapat tiket berwarna kuning itu. Satu Pound aku berikan kepada penjaga loket.

Aku turuni tangga, terlihat para penumpang berdesakan memasuki metro. lebih baik aku menunggu kereta selanjutnya dari pada kesulitan bernafas di dalam kereta.

Di tengah penantianku, ada sepasang muda-mudi lewat dan berdiri di depanku. Mereka tertawa, tapi tak bersuara. Dengan gerakan tangan yang lincah. Mereka tersenyum satu sama lain.

Allah…baru aku sadari, kedua remaja itu bisu. Meski beberapa orang melihatnya sinis, mereka tidak malu. Mereka seolah berada di dalam dunianya sendiri. Merasa nyaman dengan kekurangan mereka, dan tetap meneruskan komunikasi.

Hatiku tenang melihat mereka berdua. Begitu banyak manusia yang sembunyi dan berhenti menatap matahari karena kecacatan yang mereka alami. Tetapi mereka, sungguh berbeda.

Aku mundur ke belakang. mencoba mengambil gambar mereka berdua. Aku tidak ingin mereka tersinggung karena perbuatanku. Aku mengambil gambar mereka tanpa mereka sadari. Aku ingin menunjukkan gambar ini kepada dunia.

Zhie


[1] Kereta Bawah Tanah
»»  Baca Selengkapnya...

UNDANGAN



20-Oktober-2011

“ Undangan dari KBRI(Kedutaan Besar Republik Indonesia) sudah sampai? ” pertanyaan Dana, teman sekamarku membuatku terheran. KBRI mengundangku? “iya….KBRI mengundangmu untuk makan malam di City Star, salah satu mall terbesar di Kairo.
Ah……aku tidak menyangka, sebesar ini efek menjadi pimpinan redaksi. Di undang makan malam oleh bapak-bapak Diplomat.

Usai Maghrib berkumandang, aku langkahkan kakiku keluar asrama. Memberhentikan tramco (angkutan umum kecil). Seperti biasa, tramco selalu penuh. Berdesakan. beruntunglah aku mendapat tempat duduk yang nyaman. Tapi miris, ada gadis kecil seumuran Afra, keponakanku yang terpaksa berdiri. Aku angkat dia, dan dia duduk di pangkuanku. Sang ibu berterima kasih. Aku hanya tersenyum.

Angin semilir malam menerpa rambut panjang gadis kecil itu, begitu lucu dan imut. Wajah tanpa dosa yang selalu melihat cendela. Mencoba menangkap gemerlapan lampu yang menghias selama perjalanan. Rambut pirangnya semakin berkilau keemasan saat lampu-lampu malam menerpa.

~~~~~~~

Jam 7 tepat kita sampai di mall indah nan megah itu. Kalau dibandingkan di Indonesia sih, mall Indonesia jauh lebih megah dan kaya variasi. Memang Mesir kalah beberapa langkah dari Indonesia. Bukti lain, Mesir baru mengalami Revolusi tahun ini, 2011. sementara Indonesia sudah mengalami Revolusi sejak tahun 1998. 13 tahun Mesir tertinggal dari kita.

Pertemuan bertempat di lantai 6 mall City Star. Tidak hanya aku, beberapa media juga turut mewakili dan hadir dalam acara tersebut. Beberapa menit menunggu, bapak yang mengundang kita akhirnya datang juga. Dengan senyum yang ramah, beliau menjabat tangan kita dan mempersilahkan duduk.

Dengan suasana yang santai, bapak Iwan menjelaskan maksud mengumpulkan kami. Melihat buletin Mesir yang kian lesu. Beliau ingin menyemarakkan lagi penerbitan buletin . Dengan memberi penghargaan bagi media terbaik.

Tapi sayangnya, beliau tidak bisa memberi penghargaan itu tahun ini. penghargaan akan mulai diberikan tahun depan. Ah….andai penghargaan ini diberikan tahun ini. tentu media yang aku pimpin saat ini akan keluar menjadi pemenang. Karena di banding dengan media lain. media yang aku pegang saat ini lebih sering dan aktif terbit.

Saat beberapa orang mulai penasaran apa yang akan dihadiahkan bagi pemenang, pak Iwan hanya tertawa, “ wah gak kejutan donk kalau disebutin sekarang, tetapi mungkin saja tiket pulang ke Indonesia.” Tenggorokanku tercekak. Apa…!!! Tiket pulang gratis ke Indonesia? Allah…beruntung sekali kru-ku yang menjadi pimpinan tahun depan. Mendapat kesempatan pulang ke negeri tercintanya.


(ZHIE)
»»  Baca Selengkapnya...

Goresan Luka di Dalam Hati



Selasa, 18-Oktober-2011

Malam ini, kita kembali mengadakan Sidang Redaksi, menentukan berita yang akan kita angkat. Kita janji untuk datang di kantor ICMI pukul 6 sore. Tentu ada sanksi bagi yang terlambat. Denda 5 pound, yang nantinya akan digunakan untuk makan bersama.

aku berangkat jam 5 tepat, jalanan begitu macet hari ini. aku takut terlambat. Takut tidak bisa menjadi Uswatun Hasanah, contoh yang baik. Apa jadinya jika pimpinan terlambat.

Kekhawatiran mulai melanda hatiku saat adzan maghrib berkumandang. Jam setengah enam. Dan aku masih belum juga sampai. Masih terjebak dalam kemacetan.

Di ujung jalan, aku lihat bangunan merah khas, Kentucky Fried Chicken…!!! Aku langsung teriak ke supir untuk berhenti. Ku langkahkan kakiku dengan cepat. Menuju kantor ICMI. Aku buka pintu bercat cream itu. Alhamdulillah aku yang pertama, disusul Wahid dan Ahwazy. Kita lantas melaksanakan  sholat maghrib, di masjid dekat kantor ICMI.

Ponselku berdering, melngeluarkan suara khas Pikachu, telpon dari Sifrul, aku angkat, “Jay, sudah banyak yang kumpul yaa….maaf Jay, tadi sore aku membuka e-mail, ibu masuk rumah sakit, sekarang aku masih telpon ke Indonesia. Saya tidak tahu bisa hadir atau tidak, tetapi saya usahakan datang Jay, tapi mungkin agak terlambat.”

*****

Adzan Isya’ mulai berkumandang, memecahkan malam yang mulai hening. Aku lihat Memei dan Ety tengah sibuk menempel buletin di Mading Wisma Nusantara. Dan saat itu juga, Sifrul datang.

Sidang redaksi dimulai, suasana mulai ramai, aku senang hari ini banyak canda tawa mengiringi. Suasana begitu mencair, keakraban mulai terjalin erat.

Di tengah tawa yang menyemarak, kemurungan nampak di wajah Sifrul. Tidak biasanya dia terdiam tanpa kata. Biasanya, dialah yang membuat kita tertawa karena banyolan cerdasnya.

Aku pancing dia berbicara, tetapi tetap kemurungan menggelayuti wajahnya, senyumpun terkesan dipaksakan. Mungkin berita dari Indonesia masih mengukir di Hati dan kepalanya.

Menjelang akhir sidang redaksi, Sifrul berpamitan. Karena keluarga dari Indonesia tengah menelponnya. Aku mempersilahkan. Serta tak lupa aku meminta do’a kepada para kru, mendo’akan kesembuhan ibunda Sifrul.

*****
Setengah dua belas aku sampai di Asrama, aku cemas jika ada pemeriksaan dari pihak kepolisian. Karena visa pelajarku sudah mati sejak 3 Oktober lalu. Tetapi….Allah masih memberikan rahmatNya, selama perjalanan suasana begitu hening, tak terlihat polisi yang mondar-mandir.

Aku buka pintu kamarku yang terletak di lantai empat, aku lihat Fathi tengah sibuk berbicara dan menelpon. Memberikan berita duka kepada kita. Ibunda Sifrul telah meninggal dunia.

Dadaku sesak, terhimpit kesedihan yang menumpuk. Pikiranku flashback ke sosok Sifrul saat sidang redaksi tadi. Kami mencoba menelpon Sifrul saat itu juga, tetapi selalu dimatikan. Saat ini, hatinya pasti tergores karena luka. Kami membiarkannya sementara. Saat ini, dia butuh waktu sendiri. Waktu untuk melepaskan kesedihan.

Frul….maafkan kami…..
Kami terlambat menyadarinya…
Kami seharusnya tahu alasan kemurunganmu saat sidang redaksi tadi.

Meski himpitan batin tengah melandamu…
Kamu tetap berusaha menepati janjimu…
Tuk hadir dalam sidang redaksi..

Terima kasih Frul….
Semoga ibundamu mendapat cahayaNya, karena kebaikan yang kamu lakukan pada detik-detik terakhirnya, menepati janji.


(Zhie)
»»  Baca Selengkapnya...

Masih Terjatuh



Selasa, 18 Oktober 2011


Malam ini, buletin kita kembali terbit. Jujur, aku masih merasa terbebani. Sejak aku menjadi pimpinan redaksi, bukan cuma waktu dan tenaga yang aku korbankan. Tetapi uang juga. Padahal, aku sudah tidak lagi kerja Part Time di hotel layaknya tahun kemarin. Uangku benar-benar sudah habis sejak lama. Uang untuk beli kitab pun tidak ada (sampai sekarang, aku masih belum membeli buku-buku diktat kuliah). Dana dari ICMI dan KBRI belum juga turun, sehingga terpaksa harus memakai uang kita sendiri untuk penerbitan.

Padahal, rencana tahun ini, aku tidak ingin disibukkan oleh organisasi. Aku tidak bisa seperti orang-orang yang bisa membagi pikiran antara belajar dan organisasi. Pikiranku terpecah. Padahal tahun ini aku berencana untuk fokus kajian ilmiah, talaqqi (belajar langsung di depan syaikh besar di masjid), dan hafalan al-Qur’an. Tetapi semuanya kandas begitu saja.

“Untuk menghafal al-Qur’an, kita harus benar-benar kosong. Seharian penuh harus fokus dengan hafalan. Meninggalkan semua aktifitas yang mengganggu pikiran. Menjauh dari hiruk pikuk dunia luar,” ucap salah satu seniorku yang telah merampungkan hafalannya.

Yaa…aku sadari itu, senior-senior yang hafal al-Qur’an menghabiskan waktunya di masjid, selalu mengulang hafalan. Padahal, tahun-tahun sebelumnya. Dia seorang aktifis yang selalu mondar-mandir kesana-kemari. Dan dari situ aku menyadari, aku tidak akan bisa menghafal al-Qur’an tahun ini. karena beban pimpinan yang menempel di pundakku.

Di tengah proses percetakan, aku menyatakan keinginanku untuk mengundurkan diri. aku langsung melihat mata mbak Ayu yang mulai berkaca-kaca, menahan tangis. Tentu dia merasakan hal yang sama. Terbebani.

Tidak bisa seenaknya aku mengundurkan diri. Aku juga harus mempertimbangkan perasaan kru yang sudah memilihku, yang sudah percaya kepadaku. Jika aku sebagai pimpinan tiba-tiba mengundurkan diri, bagaimana nasib kru-ku? Kecewa, sudah pasti. Dan mungkin akan terjadi dampak negatif. Seperti mereka kurang cocok dengan pimpinan baru, semangat menulis mereka menurun drastis. Aku tidak ingin menghancurkan semangat mereka. tetapi aku juga tidak ingin membiarkan diriku sendiri terbebani.

Malam itu, aku pulang dari International Park bersama Ahwazy, salah seorang kru-ku. Di tengah perjalanan dia berkata kepadaku, “Zein, kalau meminta bantuan edit, tinggal calling saja, kalau kosong InsyaAllah saya akan membantu. Flatku sekarang di Husein, tentu dekat dengan Bu’uts (asramaku). Aku mendengar dari Boris kalau kamu sudah bekerja, dari pagi sampai malam ada di depan komputer, dan katanya kamu terbebani yaa? Gak kan Zein?”

Perkataan Ahwazy membuatku menangis di dalam hati. Batinku teriris. Ternyata kru yang semula aku pikir tidak care kepadaku, ternyata begitu besar perhatiannya kepadaku.

Pertanyaan terakhirnya membuat diriku terguncang. Terbebani?. Sebenarnya iya. Tetapi aku tidak ingin menunjukkan masalahku di depan mereka. aku tidak ingin mereka kehilangan pegangan. Jika pimpinan redaksi saja goyah, kepada siapa mereka akan bersandar?

Aku berkata, “ tidak kok Ahwazy, do’akan selalu yaa….semoga tetap bisa istiqomah.” Ku alihkan pandanganku ke candela bis. Melihat suasana malam kota Kairo. Berharap menemukan sesuatu yang bisa meringankan bebanku saat ini. meski aku lemah di dalam, aku ingin selalu tampak kuat di depan kru-ku. Aku tidak ingin membuat mereka kecewa.




NB : bagi keluargaku yang membaca tulisan ini mungkin akan segera tahu kalau uangku sudah habis sejak lama. Aku sangat memohon untuk TIDAK mengirimiku uang. Aku tahu mungkin kalian khawatir kepadaku. tetapi aku sangat menikmati kemiskinan ini. sejak dulu aku selalu hidup enak dan tercukupi. Sekarang sudah saatnya aku merasakan kesulitan ini.

Teringat hidup seperti dua sisi koin yang berbeda. Tidak mungkin kita selamanya hidup di dalam ketentraman. Ada kalanya kita hidup di dalam kegalauan. Jika selama hidup kita selalu dikelilingi kenyamanan, pasti kesulitan akan datang di akhir. Itu yang tidak aku inginkan.

Aku ingin kesulitanku datang di awal, aku ingin menjalaninya saat ini. demi seteguk kenikmatan yang akan datang di akhir.

Toh….selama aku tidak mempunyai uang, aku masih hidup sampai saat ini. selalu saja ada rizki dari Allah.





(Zhie)
»»  Baca Selengkapnya...

Embun di Tanah yang Gersang



“kakak….minta beliin minum donk kak…!!” dua gadis kecil itu memeluk lenganku dengan manja, saat diriku tengah duduk menunggu pelayan di Ashab Gami’. Dengan senang hati aku mempersilahkan mereka berdua mengambil tempat duduk.

Dua pengemis kecil yang menggemaskan, aku bisa menebaknya dari dandanannya yang agak lusuh. Mereka berdua memakai jilbab, meski belum sempurna. Masih bisa aku tangkap rambut depannya yang terurai. Yang satu berambut pirang keemasan, yang satu lagi berambut hitam. Dandanannya yang lusuh, tertutupi oleh celotehan dan wajahnya yang imut menggemaskan.

Pelayan lewat di depan kami, aku memanggilnya untuk memesan Tamr Hind tiga gelas. Celotehan kedua gadis kecil itu memburu, pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut mungil mereka. Hhhh…..kata-kata lucu mereka sungguh membuat hatiku terhibur.

Pelayan datang menyodorkan segelas Tamr Hind. Aku terheran, kenapa cuma satu gelas? Si pelayan melarangku memberi minum kepada dua gadis kecil itu, dan mengusirnya. Aku marah, aku tidak terima dengan perlakuan si pelayan. Dan tidak hanya si pelayan, orang-orang yang duduk di Ashab Gami’ pun memberi isyarat kepadaku agar tidak membelikan mereka minum. Ada apa ini? Kenapa menjadi begini? Aku memberikan uang 1 Pound kepada penjaga, aku pergi. Aku kecewa.

Aku mencoba mencari dua gadis kecil itu, tapi tak kutemukan sosok mungil itu lagi. Aku berjalan dengan perasaan teriris berbalut amarah. Hak-ku bukan?! membelikan dan mentraktir orang. Itu kan uangku sendiri. Tidak ada ruginya bagi mereka. Sehina itukah para pengemis di mata mereka, sampai menyentuh gelas pun tak diizinkan.

Berkali-kali aku melihat pengemis dilakukan sehina itu di sini, kecuali…..satu teman Mesirku yang memanusiakan pengemis. Dia benar-benar menghormati semua kalangan. Tidak ada kasta di benaknya. Teman itu bernama Kheloud.

Pernah suatu malam, aku berjalan berdua dengannya. Saat kami melewati Ashab Gami’, aku menawarinya untuk singgah sejenak. Aku menawarinya jus Mangga atau Strawberi, tetapi ia menolak. Dia lebih memilih minum Tamr Hind. Gadis yang baik, berbeda dengan gadis Mesir kebanyakan yang matre. Jika bersamaku, dia memilih sesuatu yang paling murah. Seperti Tamr Hind yang baru saja dia pesan, yang hanya seharga 1 Pound. Padahal aku tahu, minuman favoritnya adalah jus Mangga dan Strawberi yang harganya 3 Pound.

Beberapa orang Indonesia yang kebetulan di tempat itu, menatap tak berkedip ke arah kita. Aku bisa memaklumi hal ini. Mungkin mereka jarang dan bahkan tidak pernah melihat sosok pemuda Indonesia menggandeng gadis Mesir.

Minuman yang kami pesan telah tersaji. Aku meminumnya setengah gelas, lantas di belakangku muncul ibu-ibu pengemis dan anak bayinya mengambil minumanku yang tergeletak di atas meja. Mengambil tanpa sepatah katapun yang terucap.

“Zein…..kamu tidak marah?” gadis mesir berkacamata itu menegurku keheranan. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Kheloud mengatur nafas sejenak lantas berdiri memanggil pengemis itu.

Alangkah terkejutnya aku, pemandangan yang baru pertama kali aku lihat, Kheloud menegur si pengemis dengan tutur kata yang teramat sopan dan lembut. Kata-katanya pelan dan halus. Tidak terkesan menggurui.

Selama pengamatanku, gadis Mesir yang parasnya secantik bidadari akan dengan mudahnya berubah menjadi nenek sihir jika marah. Tetapi Kheloud berbeda. Emosinya stabil.

Dan…si pengemis tersenyum karena malu mendengar teguran-teguran sopan dari bibir Kheloud. Hal yang aku alami untuk pertama kalinya di Mesir ini. Mayoritas, jika orang Mesir ditegur, akan terjadi adu mulut tak terelakkan. Meski kita menegurnya dengan sopan.

Di akhir….Kheloud meminta maaf kepadaku, atas kejadian yang terjadi malam ini. Sebagai orang Mesir, dia merasa tidak enak karena insiden ini. Ah…begitu baiknya kau Kheloud…..di tengah masyarakat Mesir yang keras, ada kamu yang berhati lembut. Ibarat setitik cahaya di kekelaman jiwa. Dan setetes embun di tanah yang gersang.
»»  Baca Selengkapnya...

abcs