Salsabila

Kamis/Jum’at, 18/19-November-2010

Hey sobat, sebelumnya aku akan cerita tentang profil temanku yang bernama Salsabila, dia adalah perempuan yang duduk di satu organisasi denganku, Informatika[1]. Aku dengar dia di sukai beberapa orang di luar, bahkan tiga[2] orang kru informatika juga menyukai dia, kata mereka sih, Salsabila itu cantik, putih, tinggi, hidungnya mancung, tapi menurutku biasa-biasa saja, mungkin selera kita berbeda bro, iya bisa ku maklumi.

Kamis

Kamis pagi aku piket di Hotel Graha, saat berjalan di tangga menuju kamar tamu, aku menanyakan kepada Zulfikar, Direktur Graha, tentang perihal tamu kita, dia bilang tamu kita berasal dari Indonesia, seorang ibu yang menjenguk anaknya di mesir sepulangnya dari menunaikan ibadah haji.

Mendengar pernyataan Zulfikar aku berpikir sejenak di dalam hati, mungkin yang menginap di hotel ibunya Salsabila, karena sejak kemarin berita kedatangannya sudah bersua di telingaku.

Saat ku mulai memasuki hotel, ku lihat suasana lebih kotor dari biasanya, dan sesuatu yang janggal akhirnya kutemukan, Buletin Infirmatika tergelatak di sofa ruang tamu, aku yakin sekali kalau yang menginap Bila[3] dan Ibunya.

Ku bersihkan sampah-sampah makanan yang berserakan di lantai, ku cuci piring-piring kotor yang menumpuk di dapur, dan ku hisap debu-debu menggunakan Vacum Cleaner[4].

Suara bising mulai menggema di ruang hotel itu saat Vacum Cleaner mulai ku nyalakan, terkadang hatiku panas secara tiba-tiba, suara bising yang memekakkan telinga, gagang Vacum Cleaner yang sering copot, kabel yang melilit kakiku, Hhhh….mengurangi rasa ikhlasku dalam membersihkan.

Usai ku bersihkan segalanya, sosok ke-ibu-an muncul di hadapanku, dia memintaku untuk mem-Vacum kamarnya, saat aku mulai memasuki kamarnya, aku sempatkan bertanya kepada sosok ibu itu, “ ibu , ibunya Salsabila ya? “, seketika wajahnya cerah dan menyunggingkan senyum, “ adik, temannya Salsabila ya? “? Aku membalas dengan senyum dan aggukan kepala.

Aku lupa nama ibu itu, karena cara mengejanya sulit bagiku, aku dengar dia seorang Single Parent, ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang silam. Wanita yang hebat aku pikir, membesarkan beberapa anak sendirian. Beliau mempunyai kepribadian bagus, selalu mengucapkan “ Subhanallah “.

Aku keluar dari kamar, ku temukan sosok Salsabila yang duduk membaca bulletin Informatika di sofa, aku tegur dia, “ hey Bil, kamarnya dah ku bersihkan “, dia menutup Bulletin itu dan memandang kearahku “ sudah ya? “, aku berjalan menuju dapur sambil menjawab pertanyaanya dengan bahasa jawa, “wes”, entah dia mengerti atau tidak.

Selepas dzuhur, Salsabila dan ibunya berjalan-jalan dengan mobil jemputan. Aku pulang ke Gami’ dan mulai mengeluarkan ponselku, jari-jemariku menari-nari di keyboard, menyusun kata demi kata, Membentuk suatu kalimat yang segera aku kirim ke Salsabila.

Aku mengatakan kepadanya, aku piket hari ini dan esok, jika ada suatu hal yang di perlukan, tinggal mengobrol saja ke aku, karena ku pikir dia akan lebih leluasa dan terbuka jika meminta bantuanku, karena aku temannya, satu kru dengannya.

Aku ingin tamu-tamuku merasa nyaman tinggal disana, aku tidak ingin hanya karena perasaan segan dan malu, mereka merasa tidak nyaman.

Malamnya, aku ada di sekertariat Gamajatim[5] yang berlokasi di Bawwabah Tsaniah, mengecewakan sekali aku pikir, rencana untuk LPJ gagal, percuma aku menerobos dinginnya malam untuk sampai di sana. Ketua penyelenggara yang kurang professional dan acaranya jauh berbeda dari apa yang di rencanakan karena kurangnya koordinasi. Tapi aku bisa maklumi, karena kita sama-sama sedang belajar, banyak kesalahan adalah proses menuju kesempurnaan.

Saat aku mulai Online, datang Jauhar dan Umar yang berencana untuk meminjam fasilitas Internet Gamajatim untuk mencari informasi, mereka berdua berencana untuk mewawancarai ibu Salsabila.

Ponselku berdering, Salsabila menelponku, “ Zai, pintunya terkunci “, aku langsung keluar dari sekertariat, berlari menuju Gami’ untuk mengambil kunci, aku tidak bisa membayangkan wajah lelah mereka usai perjalanan, keinginan untuk istirahat pun tertunda karena pintu terkunci. Aku semakin mempercepat langkahku.

Di tengah perjalanan dua kali aku menelpon balik, manyarankan dia untuk mengetuk pintu kamar, karena di hari itu juga ada sepasang keluarga Singapore berwajah India menginap disana. Tetapi Salsabila tidak berani mengetuk pintu itu, segan, takut mengganggu tamu yang sedang beristirahat.

Setibanya di Gami’, aku periksa ponselku, ada miscall lagi dari Bila, aku langsung menelponnya balik, “ Zai, Dimana?”, “ iya, sebentar, lagi nyari kunci ”, jawabku.

Aku berangkat dengan Zulfikar yang saat itu tengah membaca Muqorror[6]-nya, saat mulai memasuki gerbang pintu kaca, kami temukan Jauhar dan Umar yang tengah duduk di lantai, mereka bersiap mewawancarai ibunya Bila, menurut kabar, ibunya bekerja di Asuransi Syari’ah Prudential. Awalnya mereka kira beliau sebagai Direktur, setelah wawancara baru di ketahui kalau beliau adalah Agen.

Saat kami menuju lantai dua, ternyata pintunya sudah bisa terbuka, ibu bilang kepada kami kalau awalnya mereka ketuk dan tidak ada jawaban. Dan baru di bukakan saat itu oleh tamu dari Singapore itu.

Aku duduk bersama Zulfikar sejenak sebelum berpamitan, ibu memandangku, “ Masya Allah..!! Zainuddin sampai datang kesini, maaf ya Zainuddin, dan terima kasih sudah jauh-jauh datang kesini. ”

Salsabila pun mendekatiku dan berkata, “ makasih ya Zhie “, umar yang duduk tak jauh dari tempatku menoleh, merasa iri dan cemburu, mendengar namaku di sebut kedua pasangan ibu dan anak itu. Salsabila menoleh lagi dan mengatakan terimakasihnya kepadaku, “ Terima kasih Zainuddin “, aku menjawabnya dengan senyum dan tundukkan kepala.

Jum’at

Pagi ini aku tidak lagi piket dengan Zulfikar, kali ini Agus yang menemaniku piket, kami menyiapkan Breakfast[7] dan membersihkan ringan.

Saat kami mulai membuka pintu, pemandangan berbeda dan ganjil tampak di mata kami berdua, tercengang?, tentu. Teman perempuan Bila banyak yang di bawa main ke Hotel yang mengakibatkan kotor dan keruh suasana, sampah berserakan si Ruang Tamu, tumpukan piring dan gelas kotor yang menggunung. Mereka perempuan tapi kurang bisa menjaga kebersihan, ah….aku tidak mau menikah dengan wanita seperti itu Ya Allah…bagaimana nanti kalau sudah mempunyai anak? Allah….

Zulfikar pernah cerita, Rabu lalu dia giliran piket, saat itu ibunya tengah memasak, dari dapur ibunya meminta bantuan Bila untuk memasak air, Bila menjawab dari ruang tamu, “ suruh mas-nya saja bu yang masak air “ , haha mungkin semenjak itu awal kemarahan Zulfikar pada anak dan temannya. Dia menasehatiku, “ Zein, jangan cari istri yang seperti itu “.

Sorenya, aku kembali piket bersama Agus, memang kita piket dua kali, pagi dan siang/sore. Saat kami tiba di tempat tujuan, ruangan yang sudah kami tata dan bersihkan pagi tadi kembali amburadul layaknya di hantam badai.

Kami fokus membersihkan ruangan, aku lihat beberapa temannya Bila sedang izin memasak dapur, aku lupa kalau sampahnya belum aku beri plastik, aku ketuk pintu dapur, aku izin dan melihat sampah, ah…untunglah sudah di beri plastic oleh mereka, tapi benar-benar tidak rapi, aku dekati sampah dan ku rapikan plastic itu, mereka bertanya “ salah ya? “ aku diam tak berkata, mungkin mereka mengira aku angkuh karena aku tidak menjawab pertanyaan, tapi memang seperti itulah aku, aku tidak bisa leluasa mengobrol dengan perempuan, aku ingin menjaga diri.

Di dapur saat kami fokus membersihkan piring dan gelas yang kotor, terdengar suara mereka sedang bersiap-siap. Terdengar suara koper yang berderet, dari balik pintu dapur yang sedikit terbuka, Salsabila berpamitan dan mengucapkan rasa terima kasihnya kepadaku, “ Terima kasih ya Zainudin..! “ aku menjawabnya pelan.

Saat semua sudah berada di bawah untuk bersiap menuju mobil, Agus teringat kalau belum foto perpisahan, ah…momen yang tak sempat di abadikan.

Kamipun turun mengantar kepergian ibu dan Salsabila, sebelum masuk ke Mobil ibunya berpesan kepada kita yang laki-laki, “di jaga yaa akhwat-akhwat ini, jangan sampai Ikhtilat dengan kalian “.

Salsabila masuk mobil duluan di susul ibu dan teman-teman perempuannya, saat gemuruh mesin mobil mulai terdengar, Salsabila melambaikan tangan kepadaku. Mengucapkan kata terima kasih kepadaku untuk yang terakhir kalinya di hari ini, “ Terima Kasih Zainuddin “, aku kembali tersenyum dan membalas lirih, ibunya langsung menegur perbuatan Salsabila kepadaku.

Zhie



[1] Organisasi pers Masisir

[2] Ilham, Mrd, dan Umar

[3] Nama panggilan Salsabila

[4] Mesin Penyedot Debu

[5] Keluarga Masyarakat Jawatimur

[6] Diktat Kuliah

[7] sarapan

»»  Baca Selengkapnya...

Seseorang yang Menguatkan Langkahku

Sabtu, 15-Februari-2011

Hari ini ujian ke-empatku, ilmu Arudh wa Qafiah. Tiga jam kami di beri waktu untuk mengerjakan soal, aku menghabiskan waktu dua jamku dengan mencari dan menimbang Bahr[1], tapi tetap tidak menemukan wazan dan jenis Buhur[2] tersebut. Saat penjaga ujian berkata bahwa waktu tinggal satu jam lagi, aku terpojok, aku mulai memeriksa jawaban-jawabanku yang ku tulis di lembar jawaban, dan ternyata lebih dari lima puluh persen soal belum aku jawab, jantungku berdebar, tangan dan seluruh tubuhku mulai bergetar, bulu kudukku berdiri. Ya Allah akankah aku Rosib[3] di pelajaran ini?

Aku berteriak di dalam hati, Ya Allah….aku tidak ingin Rosib Ya Allah, aku tidak ingin Rosib, kata-kata itu terulang di dalam hatiku, berkali-kali. Dalam waktu satu jam ini, aku tidak mungkin mengerjakan semua yang kosong. Tapi aku tidak mau menyerah, Allah masih ada, aku tetap berteriak di dalam hati, aku tidak ingin Rosib, dan tanpa sadar doa-doa pun melantun di dalam bibir dan hatiku, mengiringi aktifitasku menjawab soal.

Aku buka kembali lembar soal dan aku coba mencari wazan dan jenis Bahr, dan ternyata Allah membimbingku, Allah memberi aku petunjuk, soal-soal Bahr yang aku pelototi selama dua jam, akhirnya terpecahkan atas izin Allah, satu persatu soal berhasil aku pecahkan, meskipun aku belum tahu jawabannya bnar atau salah, tapi aku lega, karena aku mengerahkan semua apa yang aku pelajari tiga hari ini.

Satu persatu mahasiswa keluar dari ruang ujian, tinggal aku sendiri yang Mahasiswa Indonesia. Terkadang aku sedih, saat aku menyelesaikan ujian dengan cepat, aku menunggu teman-teman sampai mereka benar-benar keluar semua dari ruang ujian. Aku berpura-pura tetap duduk di bangku agar terkesan masih mengerjakan soal di mata para pengawas, demi teman-temanku, karena aku tahu, beberapa temanku menjadi panik saat melihat teman-teman lain sudah keluar dari ruang ujian, aku tetap menunggu, berharap agar kosentrasi mereka tidak buyar. Agar mereka berpikir, masih ada aku, mereka tidak sendirian di dalam ruang ujian. Tapi, saat aku masih berkutat dengan soal, mereka meninggalkanku. Aku berusaha tidak mengeluh, aku juga berusaha memaklumi.

Sebagian besar soal sudah aku jawab, aku sendiri tidak mempercayainya, aku ucapkan rasa syukuruku berkali-kali kepada Allah. Aku angkat pergelangan tanganku, melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, jam tangan yang di berikan bapak kepadaku, di jam itu masih tertera waktu Indonesia, aku sengaja tidak merubahnya, sebagai kenang-kenangan, tanda awal keberangkatanku. Aku lirik kedua jarum jam, masih ada waktu untuk melanjutkan soal. Aku ucapkan kembali rasa syukurku kepada Allah. Aku hamper tidak mempercayainya, soal sebanyak itu berhasil aku selesaikan dalam waktu kurang dari satu jam.

Aku tidak menjawab asal-asalan soal-soal itu, entah bagaimana cara aku mnjelaskan kepada kalian. Tiba-tiba pikiranku terbuka, dan aku bisa menerapkan Kaidah-kaidah yang awalnya sulit aku terapkan, ini benar-benar kuasamu Ya Allah. Terima kasih Ya Allah, amat besar kuasa yang Engkau berikan kpadaku.

Waktu telah habis, aku kumpulkan naskah ujianku, aku meminta doa ke-najah-an kepada penjaga ujianku, dia menjawab Insya Allah Taufiq, jawaban yang melegakan hatiku. Aku benar-benar senang bukan kepalang, semakin banyak orang yang bersedia mendoakanku. Alhamdilillah…

Aku langkahi anak tangga satu persatu, memang, kelas dan ruang ujian kita terletak di lantai paling dasar, lantai bawah tanah. Saat anak tangga terakhir mulai aku lewati, cahaya matahari yang menyongsong mulai membunarkan mataku. Aku lihat di seberang sana, tepat didepan ruang ujianku, berdiri sesosok mahasiswa mesir yang setia menungguku, aku terharu, masih ada orang yang mau menungguku, sahabat sekaligus saudaraku, Reda Aly dari mesir.

Saat aku tengok sekelilingnya, tidak ada seorangpun, semua mahasiswa sudah pulang, hanya dia yang berdiri menungguku, dia menyapaku, bagaimana ujiannya? Dia mengatakan ujiannya mudah, hanya soal pertama yang tidak pernah dia baca, karena pengalaman beberapa tahun terakhir, soal Ta’rif, pengertian tidak pernah di keluarkan. Ilmu Arudl wa Qafiah itu langsung praktek.

Reda Aly, aku harus berterima kasih kepadanya. Dia yang mengajariku saat aku tidak faham tentang penjelasan dosen, dia yang melindungiku saat teman-teman nakal mengejekku. Teman yang sulit di temukan, dia menganggapku sebagai saudara, dia mengerti kekurangan-kekuranganku, dia berhasil menutupi kekuranganku di depan teman-teman mesir lainnya.

Aku pernah mengotak-atik Ponselnya, disana ada nama yang menghubunginya terakhir kali, namanya Batthah[4], aku bertanya ini nama laki-laki atau perempuan? Dia menjawab itu nama perempuan, dan aku beru menyadarinya kalau itu kekasih Reda Aly, dia bilang akan menikahi Battah setelah menyelesaikan kuliah, aku bertanya tentang maharnya, dia menjawab sepuluh ribu Pound[5], aku berkata itu mahal sekali, dia menjawab kalau itu sudah standar, aku bandingkan dengan dengan mahar di Indonesia, Reda Aly tercengang, kaget karena begitu murahnya mahar di Indonesia.

Besoknya Reda menceritakan tentang aku kepada Battah, Battahpun akhirnya mengenal aku, dia ingin bertemu denganku, orang Indonesia yang menjadi sahabat kekasihnya, dia pun menawarkan agar aku di kenalkan dengan teman mesir perempuannya, dia cantik juga kaya, tapi aku kurang tertarik, karenasaat aku Tanya kepada Reda tentang keshalihannya, dia bilang dia bukan berasal dari Al-Azhar, bukan berarti aku hanya tertarik Azhary[6], tapi keraguanku muncul saat Reda belum memberi kepastian tentang keshalihannya.

Benar-benar teman sejati aku pikir, saat teman terdekatku dari Indonesia meninggalkanku sendirian di ruang ujian, Reda Aly berbeda, dia tetap menungguku, walaupun dia sendirian di tengah dinginnya musim dingin, padahal dia orang Mesir, sama sekali berbeda dari segi adat dan jauh dari segi tempat tinggal, tetapi dia mau mengerti, hal yang sangat sulit di temui di zaman seperti ini, mengerti dan memahami orang lain.

Zhie



[1] Sya’ir arab

[2] Jama’ dari Bahr

[3] Gagal, nilai pelajaran di bawah lima

[4] Bebek

[5] Satu Pound sekitar 1700 rupiah

[6] Sebutan para mahasiswa yang kuliah di Al-Azhar

»»  Baca Selengkapnya...

Perbedaan di Dalam Asrama

Senin, 14-Februari-2011

Hari ini ada pengumuman yang di tempel di Mat’am[1], pengumuman untuk menghadiri acara Maulid Nabi, emm….menurut berita memang tiap tahun orang Pakistan selalu merayakan ini di bu’uts.

Kebetulan sekali, empat belas Rabi’ul Awal bertepatan dengan empat belas Februari, sama-sama tanggal empat belas. Sebagian orang muslim merayakan Maulid Nabi, orang non muslim malah merayakan Valentine’s Day.

Selesai sholat Ashar ku lihat orang Pakistan mulai menghiasi masjid dengan hiasan aneka warna di atas langit-langit, beberapa spanduk dan lampu kerlap-kerlip yang membuat masjid tampak lebih anggun.

Mega merah mulai menyelimuti awan, ku mulai melangkah kembali ke masjid untuk menjawab panggilan Allah, sholat Maghrib pun sudah selesai ku jalani, aku mulai bangkit kembali tuk melaksanakan sholat Sunnah, tunduk, dan penuh keta’dziman.

Dalam heningku, ku dengar sayup-sayup orang mengumumkan sebuah undangan lewat mikrofon masjid, ah….mengganggu kekhusyu’anku.

Undangan untuk menghadiri Maulid Nabi usai sholat Isya’, itu yang aku tangkap, kemudian ada lagi satu orang yang berbicara, aku tidak memperdulikannya, aku ingin meneruskan Sholat Sunnah-ku dengan khusyu’, aku tidak ingin suara-suara itu menggangguku lagi.

Aku mngakhiri sholat Sunnah-ku dengan dua salam, aku berdo’a sejenak di dalam hati, kemudian aku tengadahkan kepalaku, ada sesuatu yang ganjil, orang-orang hitam berdiri dan menyerbu ke depan, tidak cuma itu, beberapa orang dari Negara lain juga ikut menyerbu ke depan.

Apa yang mereka lakukan di masjid suci ini?, ah….ku lihat orang tua berjenggot tebal yang sebagian memutih itu diserang massa, tapi untunglah sebagian orang melindungi dia dari keroyokan, sampai di luar masjid sebagian orang masih tetap mengejarnya.

Apa yang terjadi? Aku bertanya kepada salah satu senior yang kebetulan aku jumpai disana, dia mengatakan, bapak tua tadi berusaha mengingatkan kepada kita, apa ada dalil hukum yang membolehkan merayakan Maulid Nabi?

Pantas banyak orang yang berdiri dan menyerangnya, waktunya kurang tepat kami rasa, orang-orang sudah capek-capek menghias dan membuat acara, ternyata langsung diingatkan seperti itu, coba kalau di ingatkan jauh-jauh hari, mungkin tidak seperti ini jadinya.

Dan orang-orang yang melindungi bapak tua itu sepertinya pemuda dari golongan Salafi yang pro dengannya.

Sholat Isya’pun kami lakukan, seorang pemuda mengumumkan lewat mikofon, Maulid Nabi akan di laksanakan usai Sholat Sunnah, ku bangkitkan tubuhku tuk melaksanakan sholat sunnah.

Ku diam dan tetap di masjid, sekedar ingin tahu seperti apa perayaan Maulid Nabi yang di laksanakan orang Pakistan di mesir ini.

Ah….pikiranku kembali teringat dua tahun terakhir ini, dua tahun ini aku selalu di undang menjadi bagian dari anggota panitia Maulid Nabi di desa Manyarejo, tahun 2009 aku di jadikan MC ( Master of Ceremony ).

Tahun berikutnya, 2010. aku tidak di undang, lebih tepatnya aku di undang tapi tidak bisa datang, karena saat itu aku ada di Ponorogo mengikuti tes masuk Universitas di Madinah.

Ku lihat sekeliling masjid asrama, tidak banyak yang hadir dalam acara ini, masjid tidak sampai penuh terisi. Orang Pakistan mulai menjalankan acara yang sudah mereka susun secara sistematis.

Acara di tutup oleh seorang mahasiswa S2 yang entah dari Oman atau Rumania, penampilannya biasa, dan terkesan berbeda dengan yang lainnya, mayoritas para hadirin memakai jubah, gamis dan baju taqwa, tapi beliau cuma menggunakan jaket kulit coklat, kacamata hitam dan penutup kepala.

Penampilannya sekilas mungkin kurang meyakinkan jika berada di luar, tapi jangan lihat dari penampilannya sobat, tapi lihat isi yang ada di kepalanya. Dia mampu menyihir para hadirin dengan kata dan dalil yang dia ucapkan.

Acara pun usai dengan di tutupnya doa yang di panjatkan mahasiswa S2 itu, ku beranjak dari dudukku, ku perhatikan sekeliling, semua pintu masjid di tutup kecuali satu pintu. Aneh ku rasa, aku pun melewati pintu yang terbuka itu.

Saat mulai menapakkan kaki ke luar pintu, orang-orang dari Pakistan menyalamiku, berterima kasih atas kehadiranku, dan memberiku sebuah kotak berisi Halawah[2], Ruz bil Laban[3], dan Ashir Tuffakh[4].

Mmm…perutku kembali terisi malam ini, ku sibakkan selimut tuk menutupi malamku, ku ucap seuntai doa di hatiku, tuk menjaga di kala diam-ku. Ku terlelap……

Zhie



[1] Dapur

[2] Manisan

[3] Nasi bubur yang di campur susu

[4] Jus Apel

»»  Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pasar Husein

Sabtu, 12-Februari-2011

Hari ini teman sekamarku Dana ulang tahun, dia berencana ingin membuat Syukuran untuk teman-teman Al-Masry[1].



Sejak pukul sebelas kita berangkat ke Husein. Aku, Dana, Hanif dan Yaqin sudah mempersiapkan barang-barang untuk belanja.



Awalnya kita berencana untuk berangkat jam sepuluh, tapi karena air di Bu’uts[2] habis sejak tadi subuh, terpaksa kita undur sampai airnya hidup.



Di perjalanan kami membeli sayur-sayuran, ada beberapa penjual sayur di sana, tapi Yaqin menuju ke tempat “langganan”, toko sayur yang penjaganya seorang gadis mesir, Hanif tertawa, targetnya selalu toko ini, kalau Yaqin beli sayur.



Gadis mesir dengan balutan Jalabiyah[3] hitam dan kerudung yang ditata sembarangan memberikan kesan aneh bagiku, bagaimana tidak? Masih terlihat olehku rambut pirang di keningnya. Tidak cantik aku pikir, karena aku pernah melihat yang jauh lebih cantik dari ini. Tapi aku yakin kalau orang lain dimintai komentar tentang dia, mereka pasti bilang, “ dia cantik ”.



Ku lihat di wajahnya begitu tebal Make-Up yang dia pakai, aku ancungi jempol gaya Make-Up para wanita mesir, setebal apapun bedak yang mereka pakai, mereka tidak kelihatan menor, malah terkesan anggun dan memperindah wajahnya.



Tanpa sengaja ku lihat jemarinya mangambil barang-barang pesanan kami, dan ku bedakan dengan wajahnya, kontras sekali. Tangan dan warna kulit wanita pedesaan di satukan dengan gaya wajah gadis metropolitan. Mmmm….jadi agak illfeel.



#######



Kami melanjutkan perjalanan, menelusuri setiap jengkal pasar Husein bagian dalam, mata kami tertuju pada satu toko, Toko ikan. Aneka ikan dipamerkan di luar toko.



Dan…sesuatu yang tak terduga terjadi, Perkelahian di Pasar, seorang pemuda datang secara tiba-tiba sambil mengomel ke arah penjual ikan, entah siapa pemuda itu, mungkin saingan bisnisnya.



Si penjual ikan pun tak mau kalah, mereka saling menarik kerah baju dan terjadi aksi hantam, aku yang berdiri di belakang pun terkena dorongan tubuh kekar mereka, Yaqin dan Hanif menghindar, aku pun juga begitu, Dana juga menghindar tapi ke arah yang berlainan, kami mengurungkan membeli ikan disana, kami ingin mencari tempat lain.



Sebelum kita melangkah jauh ke luar, mencari toko lain, sejenak aku melihat ke belakang, orang-orang di pasar ramai mengerumuni kedua pemuda tersebut, melerai dan mendinginkan aksi kekanakan itu.



Belum beberapa langkah kita menjauh, secara mendadak teman-teman kembali lagi ke tempat tersebut, aku tidak tahu ada apa, mungkin karena di tempat lain harganya mahal, atau satu-satunya penjual ikan hanya ada di sana. Karena yang benar-benar faham dengan keadaan serta tata letak kawasan Husein hanya Hanif, sebelum pindah ke Bu’uts[4], Hanif beberapa bulan tinggal di sana.



Kami lihat keadaan di sekitar, konflik terlihat sudah aman, kami berniat untuk membeli ikan dan menanyakan harga masing-masing ikan.



Adu mulut menyeruak kembali, terdengar sangat memekikkan telinga, hati pemuda penjual ikan memanas, dan mengambil pisau besar pemotong ikan, Yaqin dan Hanif melihat hal itu langsung keluar, aku dan Dana pun mengikuti mereka. Ku lihat si pemuda berdiri penuh emosi sambil menggenggam pisau yang dia sembunyikan di bawah meja.



Menuju ke tempat penjual daging, kami bepikir sejenak sebelum memutuskan membeli daging, bemusyawarah.



Memutuskan untuk kembali ke pasar ikan tersebut, kita tidak mungkin menggantinya dengan daging atau ayam, karena hampir setiap hari kita makan kedua hal itu.



Kita kembali menapakkan kaki ke penjual ikan, sambil berharap konflik tidak terjadi lagi, kita membeli ikan Tuna tiga kilogram, setiap kilonya seharga 12 Pound. Kami melanjutkan langkah kami menuju masjid Al-Azhar.



Sebelum menuju masjid Al-Azhar, Dana mentraktir kami Tha’miyah, dulu aku sering berpikir tentang komposisi Tha’miyah yang lezat dengan sensasi kriuk-nya, tapi tak juga ku temukan. tapi disini, aku menemukannya.



Di dalam toko yang sempit itu, pelayannya tidak hanya cuma menggoreng bahan yang sudah jadi layaknya di luar, tapi di dalan sini, aku melihat mereka juga menyiapkan komposisinya, sayur-sayuran yang tampak seperti Seledri, di potong kecil-kecil batangnya, sementara daunnya di buang, kemudian digiling bersama kacang kedelai dan tepung, tinggal digoreng deh.



Pantas ada sensasi kriuk-nya, ingat tempe yang di goreng kering? Bagaimana rasanya saat kamu memakannya? Ada sensasi kriuk-nya kan? Nah..!! dari sanalah sensasi kriuk di Tha’miyah, KACANG KEDELAI.



Ah…..tiba-tiba aku teringat pulang, aku bertekad untuk memasak Tha’miyah sepulangku nanti, bayangku serasa sudah sampai di rumah sambil memasak Tha’miyah untuk orang-orang rumah, ku sisakan sepiring untuk di letakkan di luar, untuk cak Ajis, cak Aly, dan cak Arif (galing) yang bekerja di bengkel.



Dan…..Tha’miyah Special kan ku buatkan untuk Afrah dan Rifky.






Zhie



[1] Nama jasa agen yang memberangkatkan kita, yang kemudian menjadi nama organisasi shilaturrahim.

[2] Sebutan asrama kita

[3] jubah

[4] Sebutan asrama kami.

»»  Baca Selengkapnya...

Tetesan Embun di Kesunyian Hati

Jum’at, 11-Februari-2011

Malam ini, di saat mega merah lenyap sudah, menggantikan kelamnya malam yang berkeinginan untuk menampakkan wajahnya, beberapa hati mulai ikut kelam.

Malam lalu , presiden Mubarak berorasi di depan publik, menyatakan dirinya tidak akan turun sampai akhir masa jabatannya, September.

Beberapa dari penghuni Bu’uts[1] yang tersisa menonton hasil orasi di ‘Imarah Thal’at[2] tadi malam, walau dengan cahaya yang remang-remang, karena memang tidak ada lampu yang menyala, entah sengaja tidak di hidupkan atau memang tidak ada fasilitas lampu.

Gemuruh riuh mulai nampak terdengar, mengganggu sebagian orang yang nampak tenang mendengarkan.

“ Yaumul Ghodhob [3]”, itu julukan teman-teman untuk hari ini, entah apa yang terjadi, mungkin masyarakat mesir marah pada hari ini mendengar keputusan sang presiden malam lalu.

Entah apa rakyat mesir benar-benar marah dan melakukan demo besar-besaran hari ini, entah aku tak tahu, aku terpenjara dalam terpurung hari ini, tidak bisa melihat kebenaran cahaya di luar.

malam ini, Mubarrak turun dari pemerintahan, entah apa yang terjadi setelah kekukuhannya tadi malam yang menyatakan tidak ingin mundur. Berita ini menggegerkan semua Masisir yang berkeinginan untuk pulang, termasuk teman sekamarku, Boris.

Berita itu mengagetkannya, bagaimana tidak, dia sudah bersiap-siap sejak jauh-jauh hari, membeli beberapa kitab, papyrus, gantungan kunci, kurma isi Almound dan buah tin sebagai oleh-oleh.

Ratusan pound sudah ia habiskan untuk membeli barang-barang itu, tapi berita yang tak terduga itu meluluh lantakkan asanya, padahal esok adalah kloternya, kloter tujuh.

Beberapa hari lalu, dia mengatakan, apa jadinya jika tak jadi pulang, uangku sudah habis disini tuk membeli oleh-oleh, mau hidup dengan apa aku?

Entah seperti apa hatinya sekarang, usai sholat Isya’ tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya, memang sejak beberpa hari yang lalu dia mengatakan kepadaku tidak ingin berbuat apa-apa, karena di benaknya hanya ada “Rumah”.

Dia mengalihkan kegemuruhan hatinya dengan menyetrika, hening, tanpa suara.

Hhhhh….seperti yang lainnya, aku juga berkeinginan untuk pulang, orang miskin sepertiku mendapat kesempatan gratis untuk melihat keluarga, siapa yang tidak ingin?

Sepertinya rakyat mesir merayakan kegembiraannya di luar sana, terdengar di sampingku, Dana[4] menyalakan ponsel televisinya, rakyat mesir merayakan turunnya Mubarak, mereka bersorak-sorak sambil menyalakan kembang api.

Bahagia rasanya melihat suara gemuruh kebahagiaan mereka di luar, tapi di dalam sini, riuh kesedihan menyelimuti kami, kegelapan tangis mulai melanda hati kami, walau tak nampak dan tak terdengar, kesempatan untuk melihat keluarga tercinta…..pupus sudah….

Allah……tapi kami masih ingin berharap, berharap mendapatkan secercah cahayamu…..

Zhie



[1] Nama asrama yang kita tempati

[2] Salah satu nama gedung di Asrama

[3] Hari kemarahan

[4] Temen sekamarku

»»  Baca Selengkapnya...

Teman Itu Bernama Dzunnun

Rabu. 9 Februari 2011

Hari ini, aku termenung, membayangkan Dzunnun yang mungkin sudah sampai di Indonesia, senin lalu kami bertemu di pasar Husein, dia nampaknya sedang berbelanja bersama temannya, untuk oleh-oleh rumah.

Dzunnun, seorang teman dari Lamongan, yang juga duduk di satu organisasi denganku, Informatika. Aku mulai kenal dan menjadi sahabat dekat saat di Informatika, saat itu kita sedang kerjasama membersihkan kantor ICMI.

Tugas pertamaku sebagai Pers, aku bertugas bersamanya, Saat itu aku masih tinggal di Bawwabah Tsani, Hay ‘Ashir.sementara dia tinggal jauh di Damar Dash, dekat Ramses. Saat bertugas dia terkadang menginap di rumahku.

Pengalaman pertama wawancara yang sungguh unik, kita wawancara dengan hape IMO-ku, yang ternyata tidak Compatible untuk merekam, terpaksa hasil wawancara kita sia-sia, karena tidak ada rekaman, tapi untungnya di samping merekam, kita pun mencatat di buku saku kita.

Dan sebagai penulis Suara Mayoritas, Dzunnun di amanahi menulis dengan menggunakan Laptop Mbak Rini, haha aku buka sedikit file-filenya, ternyata Mbak Rini suka dengan film korea seperti Boys Before flower dan You’re Beautiful. Dan saat itu juga aku tertawa melihat aksi Dzunnun yang belum pernah menyentuh Laptop. hahaha

Dia sahabat baik yang aku dapatkan di Mesir, jika dahulu semasa SMA aku punya seorang sahabat bernama Yogi Galih, kini aku mempunyai Dzunnun di Mesir. Ada beberapa sifat yang mirip di antara keduanya.

Saking akrabnya kita, orang-orang mengira Dzunnun juga tinggal di Bu’uts, padahal kita tinggal di tempat yang amat berjauhan, tiap aku datang sendirian, orang-orang pasti menanyakan perihal Dzunnun kepadaku, mengira kita tinggal satu kamar.

Saat di Husein, dia mengatakan kepulangannya besok, Selasa. Sebelumnya aku menelpon akan mengunjunginya jika sudah sampai di Indonesia. Dia menantikan kedatanganku.

Aku baru menyadarinya beberapa bulan setelah kenal dengannya bahwa dia putra seorang kyai. Benar-benar tidak menyangka, anak berkacamata itu seorang Gus.

Dulu dia menceritakan kepadaku, saat anak pertama dari keluarganya berniat melangkahkan kakinya ke negeri Kinanah, orang tuanya melepaskannya dengan tangis haru, begitu juga anak keduanya, di lepaskan dengan rasa haru, tapi saat gilirannya untuk

menginjakkan kaki ke negeri Kinanah, tidak ada satu orangpun yang menangisi dia, nampaknya kedua orang tuanya sudah kebal, haha dia mengumpat-unpat sambil tertawa di dalam hati.

Saat Ramadhan menghiasi Bumi Sahara ini, Aku pernah satu kali ke rumahnya di Damar Dash, bersama Ilham dari Makassar, seorang kru Informatika juga. Kami sempat mencari Musa’adah[1] di sana, ternyata kita harus menanggung malu karena Musa’adahnya di peruntukkan oleh para ibu-ibu dan anak perempuan, pantas saja tidak ada lelaki satupun yang ikut mengantri.

Saat itu juga, aku juga sempat beradu sama Dzunnun untuk mendapatkan cewek mesir yang kebetulan menjaga tempat ‘Ashob. Perempuan muda mesir yang terbalut kerudung mesir itu terus memandang kearahku, dua kali aku berpapasan pandangan dengannya . aku bilang pada Dzunnun kalau perempuan mesir itu terus memandangiku, Dzunnun tertawa dan berdalih, kalau perempuan itu bukan memandang kearahku tetapi ke arah Dzunnun, haha terkadang pertengkaran membawa suasana keakraban. Sampai sekarang kita masih berjuang untuk berkenalan dengannya, tapi sayangnya perempuan mesir itu sudah lama tidak menjaga toko lagi, aku berkata pada Dzunnun kalau ada yang lebih cantik daripada dia, tapi dia menjelaskan kepadaku, kalau aku belum melihat dia tersenyum, belum melihat dia bersedih dan menitikkan air mata, bagai embun yang membasahi kegersangan hati.

Aku pernah bercerita dan memohon bantuan Dzunnun, Cuma dia satu-satunya sahabat di

mesir yang aku mintai bantuan seperti ini, aku minta dia agar “Keep Spy on me”, jika dia melihat suatu saat aku berpacaran di mesir, aku ingin dia memukulku sekeras-kerasnya, mengingatkan kembali kepadaku bahwa menapaki kaki di mesir ini bukan untuk mencari pasangan tetapi untuk menajamkan skill ku. Yaa…Cuma dia yang aku mintai hal seperti itu…

Suatu malam saat kami berdua meneguk Ashir ‘Ashab [2]di tengah cahaya bulan yang lirih menampakkan sinarnya, dia berkata kepadaku, “Zen, bagaimana kalau aku keluar dari Informatika?” jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat, apa jadinya jika Informatika tanpa dia, aku mempersiapkan hatiku dan bersikap tegar, kupaksakan senyum menghiasi bibirku, “ mengundurkan diri saja nun, jika memang itu yang terbaik bagimu”.

Sepertinya aku berat untuk melepaskan sahabatku itu, tanpa dia sadari, dia telah mengajariku berbagai hal disana, aku melihat karyanya, teknik wawancara, teknik menulis dan menjualnya sungguh di ancungi jempol oleh para kru lain, pemikirannya juga tanpa terduga, kata-kata yang keluar dari bibir dan tulisannya sungguh mengandung makna yang dalam, terkadang orang lain tidak memahaminya jika tanpa penjelasannya. Si jenius berkacamata.

Dia menceritakan alasan pengunduran dirinya kepadaku, dia tidak mempunyai uang, dia sangat menikmati sekali di Informatika, “wawancara, menulis, benar-benar bisa mengembangkan kemampuanku, aku sangat menikmatinya”, dia bilang, semenjak bergabung dengan Informatika, dia terkaget, saat dia menghitung total hutang-hutangnya, hutangnya mencapai seratus pound, belum pernah dalam sejarah hidupnya dia berhutang sebanyak itu di mesir. Hutang untuk bolak-balik naik bis dan sebagainya.


Semenjak itu, dia mulai memikir masak-masak untuk mengeluarkan uang satu Pund hanya untuk naik bis, dia tertawa di dalam hati, saat awal keberangkatan dia bisa dengan leluasa jajan Thojin[3]untuk sekedar mengenyangkan perutnya, tapi sekarang tidak bisa lagi seperti itu, mengeluarkan uang satu Pound untuk naik bis pun dia harus berpikir masak-masak.

Dia memohon kepadaku untuk tidak memberitahukan kabar ini kepada Bang Joe dan Mbak Rini. Iya aku tidak akan pernah memberitahukannya, biar dia sendiri yang suatu saat memberitahukannya, aku mengerti jika aku memberitahukannya langsung kepada Bang Jo dan Mbak Rini, dia akan merasa malu, aku tidak ingin mempermalukannya, dia pasti sedang mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan hal itu kepada mereka berdua.

Aku membayar minumannya, tapi dia menolak, dia berkata, selama aku masih mampu, aku tidak ingin menggantungkan orang lain, pribadi yang mengagumkan.

Di malam lain, usai sidang redaksi di Hadiqoh Dauliah[4], kami bertemu di sekertariat Gama Jatim Dzunnun mengatakan kepadaku, dia sudah mengatakan kendala yang menimpanya kepada dua pimpinan informatika itu ( Bang Joe & Mbak Rini, red ), mereka senang dengan keterbukaan krunya, hal itu yang seolah memunculkan sifat kekeluargaan di antara kru, mereka menyuruh Dzunnun untuk mencatat seluruh biaya yang di habiskan dalam melakukan wawancara yang nantinya akan di ganti oleh mereka berdua.

Pimpinan yang baik, aku benar-benar mencintai Informatika, karena suasana kekeluargaan yang aku rasakan saat berada disana, di sini orang macam apapun dan dalam organisasi apapun di terima dan bisa bekerjasama. Berbeda dengan kekeluargaan

pada umumnya, yang terkadang masih mendiskriminasikan beberapa organisasi.

Hari ini jam satu ba’da Dzuhur, ponselku bergetar dan berteriak “ Konnichiwaa…!!!”, aku melihat di layar, ada nama Dzunnun, aku terheran, memang dia bisa menelpon dari Indonesia dengan nomor mesir?, aku angkat telpon, terdengar sapaan Dzunnun, “Zen, aku wes nang pesawat”, oh….ternyata keberangkatan Dzunnun di undur hari ini, memang aku mendengar rumor, katanya keberangkatan kemarin sebagian di undur karena pesawat yang di janjikan ada dua buah ternyata cuma satu buah.

Dia melanjutkan pembicaraan, “ tak enteni nang omahku yo Zen”, aku membalasanya iya, aku terharu, dia masih menyempatkan untuk menelpon aku sebelum berangkat. Aku bertanya apa saja oleh-oleh yang dia bawa siapa tahu aku juga tertarik untuk membawanya, dia membawa Karkade, Rokok mesir dan lainnya.

Aku titp doa kepada sahabatku itu, berharap aku pun mempunyai kesempatan juga seperti dia untuk bisa mengunjungi tanah air, karena timbul keraguan dalam diriku untuk bisa menginjakkan kaki ke tempat lahirku mendengar kabar bahwa evakuasi di hentikan. Tapi dia berhasil menguatkan tekadku, dia berkata bahwa evakuasi total akan di lakukan, semua pasti akan bisa pulang…..

Iya…aku juga berharap seperti itu….aku percaya kepada Allah…

Zhie



[1] Bantuan berupa uang atau sembako yang di berikas para dermawan menjelang Ramadhan.

[2] Jus tebu

[3] Makaroni

[4] Taman International

»»  Baca Selengkapnya...

Ujian Pertamaku

Sabtu, 8 Januari 2011

Hari ini ujian pertamaku di Al-Azhar. Berdebar, pasti. Teman satu jurusanku, Alwi mengatakan kalau sejak semalam dia tidak bisa tidur. Bisa aku maklumi, karena saat ini kita berdiri di universitas paling tua di dunia. Wajar jika kita tegang dan berdebar menghadapinya. Karena kita tidak tahu soal apa yang akan di keluarkan dan proses ujian seperti apa yang akan di laksanakan universitas bergengsi itu.

Dua minggu sebelum ujian dilangsungkan, aku mati-matian belajar, di kamar, aku berusaha membuang bantalku agar aku tidak tergoda untuk berbaring dan tertidur, di masjid aku menahan dinginnya lantai masjid dan udara musim dingin yang tertiup dari sela-sela pintu dan candela. Aku harus bertahan, aku tidak ingin pengorbanan kakak dan orang tuaku sia-sia. Saat belajar di keheningan masjid dan kesunyian malam, tanpa terasa dadaku sesak, menyesal karena aku tidak menggunakan waktuku dengan baik. Aku terlalu melalaikan muqarrar[1], aku selalu berpikiran, aku akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh besok, besok, dan lusa. Sampai akhirnya Allah memberi pelajaran kepadaku, dengan semakin cepatnya waktu ujian di hadapanku. Kenapa aku selalu seperti ini? Selalu menunda-nunda. Selalu lalai, tidak bisa belajar dari pengalaman kemarin. Allah……

Aku masuk di jurusan Dirasat Islamiyah, yang sistem ujiannya paling berbeda dengan jurusan-jurusan lain. Jika di jurusan-jurusan lain antara Maddah[2] satu dan Maddah lainnya ada selang tiga sampai empat hari untuk mengulang dan belajar, tapi di Dirasat Islamiyah tidak. Antara dua Maddah hanya selang satu hari, waktu untuk mengulang terbatas.

Tapi aku bersyukur, ada sisi positif selangnya satu hari di antara dua Maddah, setelah ujian kita tidak bisa bersantai ria, kita langsung pegang Muqorror untuk ujian selanjutnya. Tidak ada waktu berleha-leha. Berbeda dengan jurusan lain yang selang waktunya lama. Seperti yang aku lihat Selesai ujian pertama mereka berleha-leha, dengan alasan istirahat, mereka kebablasan. Untuk memulainya pun sangat berat, dan tanpa mereka kira, ujian sudah di depan mata, sedangkan bekal masih minim. Tapi tidak semuanya seperti itu kawan, hanya sebagian.

Hari ini aku ujian pukul sepuluh pagi, aku berangkat bersama Hariadi, Alwi sudah berangkat duluan, karena aku yang menyuruhnya, Alwi menunggu kami di Mahattah, terminal. sekitar jam setengah sembilan Alwi menelpon aku, dia menanyakan lokasiku dimana. Dia bilang sudah ada bis di Mahattah. Aku menyuruhnya berangkat duluan, karena aku menunggu Hariadi di kamarnya. aku tidak ingin menjadi penghambatnya, apalagi kita belum tahu dimana tempat ujian kita.

Saat berjalan menuju gerbang asrama, Hariadi menanyakan kesiapanku. Barang-barang apa saja yang sudah di bawa. Saat lisannya tertuju pada satu kata, Kerneh, kartu pelajar. Ya Allah….aku lupa..!! kita tidak akan bisa ikut ujian tanpa kartu itu. Aku langsung berlari dan berkata pada Hariadi agar menungguku di Mahattah. Dengan segenap tenaga aku kerahkan untuk mencapai Gedung Sya’rowi, asramaku. Dengan desiran angin lembut musim dingin yang menerpa wajah dan setiap bagian anggota tubuhku yang terbalut sweater, aku tetap berlari. Demi mengejar waktuku, meski haus dahaga mulai menggerogoti kerongkonganku, aku terus berlari. Dan sampailah aku di gedung Sya’rowi lantai satu. Perjuanganku belum usai. Kamarku terletak di lantai empat. Aku istirahat sejenak, ku hela nafas panjang, ku mulai mendaki dengan semangat. Lantai demi lantai ku lalui. Beberapa orang kulit hitam ku jumpai menuruni tangga dan berpapasan denganku. Ku ucapkan salam saat aku berpapasan dengan mereka. Mereka menjawabnya dengan senyum yang penuh keikhlasan.

Dan akhirnya sampai juga aku di kamar. Ku buka pintu, dan terlihat teman sekamarku, Boris dari Padang sedang mengotak-atik HP. Aku yakin pasti dia sedang membuka Facebook. dia bertanya kenapa aku kembali. Aku diam tak menjawab. Aku buka satu persatu isi dalam tas, aku buka dompet yang tersembunyi di dalam tas. Dompet kenangan yang di belikan ibu saat aku mendaftar sekolah di Jogja. Iya waktu itu aku hanya mempunyai satu dompet, dompet Dagadu yang aku beli bersama bapak-ibu saat kami jalan-jalan di Surabaya, saat itu aku masih kelas 2 SD. Sampai sekarang dompet itu masih ada. Ibuku memarahiku, katanya dompetnya jelek, harus beli baru. Padahal menurutku dompetnya masih bagus, dompet ungu yang berkolaborasi dengan warna kehijauan di kedua sisinya, dengan hiasan satu mata, khas dompet Dagadu. Aku juga tidak mau menghambur-hamburkan uang. Jika dompetnya masih bagus dan bisa di pakai, kenapa harus beli lagi. Tapi ibu tetap bersikukuh membelikan aku dompet baru. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya diam.

Aku menemukan kernehku di dalam dompet, sejenak pikiranku tertuju pada kenangan di dompet itu. Saat di jogja ibu rela menunggu aku mendaftar, tes sampai menunggu hasil pengumuman, berminggu-minggu, bayangkan. Kita hanya terdiam di kamar penginapan yang sempit, membosankan?, tentu. Aku hanya bisa melihat TV, waktu itu tiap sore ada film The Batman, serial kartun Batman yang terbaru. Dan malamnya ibu menonton sinetron religi Hidayat, waktu itu sedang gencar-gencarnya film seperti itu. Aku kasihan dan terenyuh saat itu, aku sudah banyak merepotkan ibu. Aku tidak ingin menyusahkan ibu. Aku lebih baik menyusahkan diriku sendiri daripada menyusahkan orangtuaku, karena hal itu membuatku bisa lebih tenang.

Kulitku gatal-gatal, ini sering terjadi di musim dingin. Apalagi sehabis aku lari tadi. Menurut analisaku, penyebab gatal-gatal itu karena keringat yang tidak bisa keluar melewati pori-pori, akibat udara dingin yang mempersempit pori-pori.

Aku ambil kernehku, aku bersiap kembali untuk berlari ke Mahattah depan asramaku. Aku kembali berlari. Aku cari Hariadi di setiap sudut Mahattah tapi aku tidak menemukannya. Ya Allah….benar-benar teman yang Individual, bukan teman yang cocok untuk di jadikan sahabat. Untuk kesekian kalinya aku di kecewakan seperti ini. Padahal dia yang menyuruhku berangkat bersama, dia yang menyuruhku menunggu dia mandi sejenak, Yaa Salam…..tahu begini aku berangkat bersama Alwi tanpa menunggu Hariadi. Aku terpaksa naik bis sendirian, untunglah bis yang menuju Madinatun Nasr langsung muncul, aku langsung menaikinya.

Aku turun di jembatan layang, di perjalanan menuju kuliah aku bertemu dengan orang hitam yang ternyata jurusannya sama denganku, Dirasat Islamiyah. Aly namanya. Seingatku dia dari Chad. Aku belum pernah melihatnya di kuliah, dan ternyata aku baru mengetahuinya. Dia dari Madzhab Maliki, sedangkan aku Madzhab Syafi’i. kelas kami berbeda, pantas jika aku belum pernah melihatnya.

Suasana di luar sama sekali berbeda dari biasanya. Di waktu ujian ini, banyak madam[3] dan ammu[4] menggelar dagangan mereka di depan tembok-tembok depan kuliah. Mereka berjualan berbagai macam alat tulis dan sempat aku lihat juga mereka berjualam roti yang mungkin harganya Rub[5]’ atau Nush[6]. Aku berhenti di salah satu penjual laki-laki dan membeli penggaris dua buah. Satu untukku dan satu untuk Boris. Harganya satu Pound. Saat aku berjalan sedikit, aku baru menyadari kalau di sebelahnya ada Madam yang berjualan juga, dan sepi oleh pengunjung. Rasa sesal menghinggapi hatiku. Jika tahu sejak dari awal, aku tentu lebih memilih membeli di Madam itu. Tapi……. tentu semua ada hikmahnya. Untukku, juga untuk madam itu.

Zhie



[1] Diktat kuliah

[2] Materi

[3] Sebutan ibu-ibu mesir

[4] Sebutan paman-paman mesir

[5] Seperempat pound

[6] Setengah Pound

»»  Baca Selengkapnya...

abcs