Dosa yang Tak Terlihat


Aku lupa hari apa pastinya . . .
                Saat itu, aku meminta temanku memotong rambutku. Kukenakan kaos putih. Agar potongan rambut yang berceceran mudah terlihat. agar bisa dibersihkan dengan mudah.

                Aku memasuki kamarku usai merapikan rambut hitam kecoklatanku itu. Aku membuka lemari berwarna krem yang terletak di tengah. Dan mengambil shampo dan bergegas mandi.

                Belum selesai diriku melangkah keluar kamar, teman sekamarku teriak, “Zai..!! cepat keluar kamar. Kalau terlalu lama di kamar potongan rambut di kaos putihmu akan berjatuhan di kamar.” Aku tersenyum simpul.

                Jika aku memakai kaos hitam. Mungkin temanku tidak akan berkata demikian. Karena potongan rambut yang menempel di kaos hitam tak akan terlihat.

                Dan seperti itulah Allah menyembunyikan aib kita dihadapan orang-orang. Aib dan dosa kita ibarat potongan rambut yang bertebaran di kaos. Seandainya Allah tidak memakaikan kaos hitam kepada kita. Akan Nampak semua aib dan dosa kita. Dan tentu orang-orang akan menjauhi kita. Tidak akan ada yang mau bergaul dan bercengkerama lagi dengan kita.

                Seperti temanku sekamarku tadi. Dia selalu bercengkerama bersama. Saling berbagi kesedihan dan senyuman. Namun karena melihat potongan rambut yang bertebaran di kaos putihku dia tidak mau mendekat.

                Dan aku trenyuh, bagaimana jika suatu hari Allah menyingkap aib-aibku di hadapan orang-orang. Akankah mereka mau bergaul lagi denganku? Akankah mereka mau mendekat kepada diri yang kotor ini?

                Begitu baiknya Allah menutup aib-aibku. Meski diri ini telah banyak berlumuran noda dosa. Namun Dia masih mau memberikan aku udara untuk bernafas. Masih mau memberikan aku nyawa untuk hidup. Masih mau memberikan aku kesempatan tuk memiliki banyak teman dan keluarga.

                Allah . . . terima kasih, karena bersedia menyelimuti diri yang kotor ini.
»»  Baca Selengkapnya...

Valentine di Bumi Kinanah





Kamis, 14 Februari 2013

                Siang hari ini aku menemani mbak Ayu mengambil dua buah selimut, beasiswa dari Bait al- Zakat. Selimutnya begitu tebal dan halus. Dan mbak Ayu menghadiahkan satu selimut untukku. Selimut berwarna biru.

               Aku mengangkat selimut-selimut itu ke Muqottom, asrama mbak Ayu. Begitu sunyi dan dekat dengan pegunungan. Dan yang mengejutkan, di tempat pegunungan dan sepi itu, nampak penjual bunga. Bunganya begitu segar dan beraneka warna. Warna bunga itu mengalihkan perhatianku. Dan diriku kembali teringat, hari ini adalah hari Valentine!.

                Jika di daerah pegunungan ada yang memperingati Valentine, bagaimana dengan daerah perkotaan megah seperti Zamalek?

                Malamnya, aku bergegas ke Zamalek untuk melihat situasi. Buka maksudku untuk merayakan Valentine. Namun sekedar ingin tahu, apa yang dilakukan rakyat Mesir malam ini.

                Aku menelusuri jalanan Zamalek. Dan kutemukan anak kecil mungil memegang keranjang kecil bunga dan menjualnya pada orang yang lewat. Namun hanya satu anak kecil itu yang lewat. Tidak terlalu megah. Mungkin akibat pengaruh presiden Mursy yang begitu islami. Presiden kita hafal seluruh al-Qur’an lho. Bayangkan! Diriku belum bisa menghafal semua kitab suci itu.

                Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Suasana Valentine begitu kental dan cukup ramai. Karena presiden sebelum Mursy memang kebarat-baratan.

*******
               
                Aku masih menelusuri jalanan Zamalek. Meski terlihat sunyi, namun ada segelintir orang yang merayakannya. Terlihat oleh mata coklatku seorang gadis kecil memegang tulisan kardus bertuliskan, “Dirimu bisa berbicara kepadaku tentang apapun, dan saya akan mendengarkanmu.”

                Terlihat olehku sosok pemuda Mesir yang menceritakan keluh kesahnya pada gadis berkacamata itu. Terlihat juga pemuda-pemudi Rusia yang ingin berbicara dengannya. Memberi kesan seolah gadis itu mau menjadi pendengar yang baik. Pendengar bagi siapa saja yang membutuhkan.

                Unik ya . . . menjadi pendengar yang baik itu sulit. Apalagi untuk seseorang yang sama sekali belum kita kenal. Beruntungnya aku memiliki pendengar yang baik. Yang mau mendengarkan setiap keluh kesahku. Walaupun terkadang aku merasa diriku asing bagi diriNya. Karena banyak melakukan dosa. Karena banyak melanggar perintahNya. Namun . . . dalam keadaan apapun Allah masih mau menerimaku. Dalam keadaan sekotor dan sehina apapun Allah masih mau menyayangiku. Nikmat mana lagi yang hendak aku dustakan?



»»  Baca Selengkapnya...

Si Peneduh Hati

Senin, 18 Februari 2013

                Aku terjaga sebelum teman-teman sekamarku terbangun. Aku bersyukur bisa terbangun tiga puluh menit lebih cepat dari teman-teman. Aku kibaskan selimut tebal berwarna biruku. Ku tak ingin berlama-lama dalam kenyamanan. dan bergegas mencuci mukaku. Aku sholat dan mulai membungkus kado.

                Aku sengaja mencari suasana hening untuk membungkus bingkisan-bingkisan itu. Aku tak ingin ditanya-tanyai oleh teman-temanku. Sebenarnya aku sudah merelakan diri begadang sampai lebih dari jam satu. Menunggu teman-temanku tertidur. Namun justru akulah yang tertidur lebih awal.

                Tanggal 20 Februari Salma ulang tahun. Dan tanggal 21 Februari Mariam ulang tahun. Mereka keluarga yang berarti bagiku. Setidaknya, selama aku di sini . . . aku ingin memberikan kenangan yang berkesan buat mereka. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi padaku nantinya. Akankah aku bisa bersama mereka selamanya? Hanya Allah yang tahu.

                Sudah beberapa minggu ini aku tak bertemu dengan Mariam. Suasana Mesir begitu kacau. Mariam tidak diizinkan keluar rumah oleh ibunya. Hanya dibolehkan ke tempat praktek. Dan beruntungnya dia praktek di rumah sakit Husein. Letak rumah sakit itu hanya beberapa kilometer dari asramaku.

                Meski dekat, aku tak pernah menjenguknya. Entah, aku tak mempunyai dorongan untuk menemui Mariam di sana. Aku hanya terlena dengan kenyamananku di asrama. Dan hari ini adalah hari pertama aku menemuinya di Rumah Sakit Husein.

                Rumah Sakit yang begitu ramai dan berisik. Entah kenapa Mariam pindah tempat praktek dari Rumah Sakit Qasr Aini yang mewah dan megah (meskipun aku belum pernah ke sana secara langsung, hanya mendengar saja) menuju Rumah Sakit Husein yang super kacau. Mungkinkah dia memilih Rumah Sakit itu karena dekat dengan asramaku? Entah. Aku begitu terkesan dia mampu bertahan di Rumah Sakit itu.

                Aku telusuri sudut-sudut rumah sakit itu, namun tak kutemukan sosok Mariam. Sampai adzan dzuhur berkumandang aku tak juga menemukannya. Aku memutuskan untuk sholat dzuhur di masjid Al-Azhar. Kulihat ada pesan singkat dari Mariam.

“Kamu tahu tempat pengobatan gigi?”

                Usai sholat aku kembali ke Rumah Sakit itu dan bertanya-tanya ke beberapa orang. Beberapa pemuda Mesir yang sok tahu asal menyebutkan arah dan berhasil membuatku tersesat. Jam menunjukkan pukul 12:30. Waktu dimana Mariam bergegas pulang. Aku tak henti-hentinya memasrahkan diri kepada Allah. Aku berdo’a agar jangan membuat Mariam menungguku. Seharusnya aku yang menunggu Mariam.

                Aku melewati sebuah pintu yang terbuka sebagian. Aku lihat sekilas lantas kuhentikan langkahku. Aku kembali membalikkan badanku dan mencoba memfokuskan pandanganku. Tidak salah lagi. Itu Mariam. Baru kali ini aku melihat Mariam menangani pasien. Baru kali ini juga aku melihat Mariam memakai baju dokter. Aku terkesima. Dia terlihat begitu cantik dengan jilbab pink dan jubah putih itu. Cantik nan elegan.

                Aku duduk di bangku yang tersedia. Aku mengotak-atik ponselku. Berniat membalas pesan singkatnya namun terlambat. Dia sudah ada di depanku. Dan terkejut dengan kehadiranku.

“Hey, Zain . . . tunggu sebentar ya”

                Saat itu, jantungku kembali berdebar. Sama seperti saat diri ini pertama kali bertemu dengan Mariam. Rasa suka itu membuncah. Dadaku begitu hangat seolah ikut menghangatkan tiap sudut jiwaku. Tak terpikirkan olehku mengambil fotonya. Foto saat mengenakan baju dokter. Wajahnya begitu bercahaya membuatku tak bisa berlama-lama menatap wajahnya. Aku tertunduk.

                Kami pulang menelusuri setapak Husein. Banyak orang Indonesia bertebaran. Nampaknya mereka baru pulang kuliah.

“Ada Zain, di mana-mana,” Ucap Mariam. Aku tersenyum. Begitu lugunya dia. Memanggil orang Indonesia dengan sebutan Zain.

“Mereka nampak seperti saudara-saudaramu Zain. Mirip.”

“Pernah suatu hari, ada seseorang yang mirip denganmu dari belakang. Kemudian aku bertanya, “Apakah Anda Zain?” ternyata bukan.”

Aku kembali tersenyum.

                Dan Mariam mengantarku sampai Metro Abbasea, Metro yang paling dekat dengan asramaku. Sebenarnya aku tak ingin dia mengantarku. Namun di sana ada tempat duduk nyaman berbentuk setengah lingkaran. Hanya tempat itulah yang cocok untuk memberikan hadiah. Hadiah yang aku simpan di dalam tas.

                 Kami duduk menunggu Metro. Aku segera mengeluarkan isi tasku. “Mariam, selamat ulang tahun”

“SubhanAllah, Zain . . . aku lupa dengan ulang tahunku sendiri.

                Aku tersenyum melihat rasa terkejutnya. Dan aku lihat tingkahnya sungguh mirip diriku. Rata-rata perempuan setelah menerima bingkisan kado pasti memangku kado itu atau mencoba melirik apa di dalam kado itu. Namun Mariam sama sekali beda. Hadiah itu tidak dia ambil di hadapanku. Tetap dia letakkan di sampingnya dan kedua tangannya melekat dan di letakkan di atas pangkuannya. Sebagian rasa, tidak sabaran ingin melihat isi bungkusan itu dan ingin segera memegangnya. Sebagian lain tidak ingin terlihat seperti perempuan matre di hadapanku.

                Seperti aku, jika ibu Mariam memberi sesuatu kepadaku. Aku senang, namun tak ingin menunjukkan sifat senangku. Atau tidak langsung memegang hadiah itu. Aku takut diriku terlihat seperti pemuda yang gila hadiah atau gila pemberian.

                Sungguh perempuan yang terjaga kehormatannya. Aku selalu berpikir bagaimana kedua orang tuanya mendidik. Begitu matang, begitu dewasa dan begitu elegan.

                Aku memasuki metro. Aku menyuruhnya pulang tanpa menunggu Metro berangkat. Karena perjalanan ke rumahnya sungguh jauh. Namun, dia tetap saja berdiri di depan Metro yang aku tumpangi. Berdiri sambil melukis senyum. Aku membalas senyumnya lewat jendela kecil di dalam Metro. Lama kami bertukar senyum dan berkomunikasi lewat tebaran senyum itu.

                JDUUK!!

                Metro bergoyang sekali. Seperti mobil yang melewati gundukan batu. Tanda metro akan segera berjalan. Samar-samar terdengar suara mesin yang mulai berjalan. Dan metro pun berjalan sedikit demi sedikit. Sosok Mariam mulai tak terlihat. Sedikit demi sedikit senyum itu pun hilang tertutupi gerbong kereta. Tiba-tiba . . . rindu yang membuncah mengisi relung hatiku. Rindu yang tak terbendung mengingat bayang Mariam. Yang rela berdiri lama menunggu kepergianku. Yang rela tersenyum lama agar aku tak kesepian di dalam Metro . . .


»»  Baca Selengkapnya...

Pesan yang Mengharu




Kamis, 21 Februari 2013

                Setengah tujuh pagi, aku membuka beberapa pesan yang masuk. Ada sebuah pesan dari Mariam. Dan aku terkejut saat membaca pesan itu. Sebuah pesan berbahasa Indonesia!

“Terimaaa Kasiiiiiiih, Zaiiiiiiiiiiiiiiin!
Saya suka gambar ini.
Dan aku mencintai hadiah Anda!!! Saya baru saja membukanya!
Loved it!!! Shukraaaaaaaaaaaaaaaaaan!!! ^_^ “

                Haha, sampai dibela-belain menulis dengan bahasa Indonesia. Aku rasa dia menggunakan fasilitas Google Translete. Bagaimanapun aku sangat menghargai upayanya. Mengucapkan rasa syukurnya dengan bahasa Indonesia.

                Hari ini ulang tahu Mariam. Aku memberinya hadiah sejak tiga hari yang lalu. Namun, aku berpesan untuk membukanya di hari ulang tahunnya. Untuk membuatnya semakin penasaran. Penasaran dengan hadiah di dalamnya.



                Dan kemarin (Rabu, 20 Februari 2013) adalah ulang tahun adiknya, Salma. jam tujuh pagi dia mengirimiku pesan.

“Zaaiiiiiin!! Selamat pagi!
Saya sungguh tidak tahu apa yang harus saya katakan . . .
Kamu kakak terbaik yang pernah saya ketahui!
Mariam telah memberikan hadiahmu kepadaku . . .
Sungguh bagus!
Saya sungguh tidak tahu bagaimana cara saya berterima kasih . . .
Terima Kasih Banyak!
Saya ingin bertemu denganmu, Kak . . .

                Aku terharu sendiri membacanya. Padahal itu hadiah kecil. Sebuah tas wanita yang harganya tak lebih dari lima puluh ribu rupiah ( kalau dirupiahkan ). Malah lebih mahal tas ransel milikku.

               Hatiku mencair menerima pesan dari Salma. Sungguh bahagia memiliki adik seperti dia. Apalagi bagi orang sepertiku, pemuda yang ditakdirkan menjadi anak terakhir. Dan aku harus berterima kasih kepada mbak Ayu yang menemaniku membeli tas perempuan. Karena selera lelaki dan perempuan berbeda bukan?! Aku tak mungkin bisa membelinya sendiri.

                Aku melanjutkan membaca pesan . . .

“Mama dan Papa sampai terkejut oleh hadiahmu. Kita semua berterima kasih atas kelembutanmu. Hadiahmu sangat bermakna. Dirimu baik hati sekali, Zain . . . “



»»  Baca Selengkapnya...

Tegarlah, Hati . . .


Kamis, 24 Januari 2013

                Salah satu temanku menikah. Salsabila namanya. Dan puluhan lelaki patah hati karena pernikahannya. Bagaimana tidak, perempuan sebaik itu pasti telah meluluhkan hati setiap insan. Kebaikannya menebar di setiap ucapan dan perbuatannya. Ditambah penampilan fisiknya yang tinggi, mancung dan putih tentu telah menghanyutkan hati para lelaki.

                Banyak teman lelakiku yang bercerita kepadaku, tentang rasa sukanya kepada gadis anggun itu. Mengetahui dia menikah mungkin menghampakan hatinya. Aku yakin beberapa dari mereka sudah mempersiapkan diri untuk meminangnya. Namun takdir berkata lain. Allah memasangkannya Salsabila dengan pemuda lain.

                Jika kulihat, peristiwa ini sama persis di novel Ketika Cinta Bertasbih. Mereka yang patah hati berpura-pura tegar. Entah sesakit apa perasaan mereka. Melihat wanita pujaannya duduk di pelaminan bersama lelaki lain. Mereka kalah cepat meminangnya.

                Dan, saat menghadiri pernikahan itu. Aku melihat salah satu temanku menjadi panitia pernikahan Salsabila. Padahal dia dulu menyukainya. Mungkin dia terlalu menimbang. Karena melihat dirinya yang miskin, sedangkan Salsabila begitu kaya raya. Hampir semua keluarganya kuliah di luar negeri. Dan saat liburan kuliahpun, Salsabila dan keluarganya liburan ke kota-kota megah seperti Perancis dan lainnya.

                Aku pun tak menyangka kalau temanku itu ikut menjadi kepanitiaan. Mungkinkah dia ingin menunjukkan ketegarannya kepada semua orang? Ataukah dia ingin menghilangkan kekecewaannya dengan menghadapi realita?

                Menghempaskan nafas di kehidupan ini sungguh sulit. Banyak duri menyakitkan yang menghalang. Memaksa mata kita tuk menangis, walau kita tak ingin. Memaksa hati kita teriris walau kita tak mau.

                Namun, di setangkai duri itu pasti ada mawar yang begitu indah. Yang mampu mengubah rasa sakit menjadi ketakjuban. Rasa sakit yang kita alami memiliki hikmah. Hikmah yang akan menakjubkan kita semua. Kita tinggal menunggu hikmah itu datang di hadapan kita.

                Allah mengetahui apa yang kita butuhkan. Allah ingin menguatkan kita dengan duri-duri itu. Agar kita semakin kuat menghembuskan nafas di dunia ini.
»»  Baca Selengkapnya...

abcs