Dalam Seuntai Rindu

Ahad, 20 Mei 2012

Kemarin, aku dikagetkan oleh e-mail yang menetap sunyi di inbox-ku sejak 5 Mei. Karena disibukkan oleh ujian dan beberapa hal lainnya, aku tak bisa mengecek satu persatu e-mailku.

Aku mempunyai mungkin sekitar 5 buah alamat e-mail. Bahkan lebih. Satu khusus untuk keluarga dan teman-teman Indonesiaku, satu untuk sahabat luar negeriku, satu untuk orang luar negeri yang ku anggap membahayakan dan harus jauh-jauh dari kehidupanku, dan lain-lain.

Sebuah E-mail dari Dovi. Mungkin orang-orang belum tahu siapa itu Dovi, termasuk keluargaku. Saat aku masih di Yogyakarta, aku dikirim ke sebuah desa terpencil untuk “berda’wah” *Fuufuufuu gaya banget bahasanya*

Sebenarnya aku paling tidak suka memberi ceramah atau mengajari orang-orang dengan orasi. Toh, aku banyak kekurangan, aku tak berhak mengajari mereka, apalagi rata-rata ibu-bapak yang sudah dewasa dan lanjut usia. Siapa aku? kenapa berani-beraninya menceramahi mereka.

Berat batin ini menerima tugas ini, namun aku harus berbuat apalagi? Aku di kirim ke desa ini. mereka juga meminta aku. masa aku harus berdiam diri saja tanpa membuat perubahan? Aku tak ingin mengecewakan banyak pihak.

Aku harus pandai-pandai memilih kata, harus cermat memilih bahan. Aku tidak ingin dibenci Allah, aku juga tidak ingin dibenci orang-orang karena memberi orasi yang berbeda seratus delapan puluh derajat  dengan sikap keseharianku.

Tentu banyak kontroversi, beberapa orang mencelaku karena aku hanyalah anak ingusan di mata mereka. Namun banyak juga yang menyukai kepolosanku. Sebagian diriku merasa sangat nyaman di sana, seolah menemukan keluarga baru. Di jalanan orang-orang menyapaku, terutama nenek yang sering berjualan di depan masjid. Selalu menantikan kehadiranku, dan sering memberiku buah tangan. Dan tentu aku paling tidak enak hati jika diberi sesuatu karena orasiku. Hal yang paling pantang aku lakukan. Aku lebih suka mendapatkan uang dari pekerjaan kasar lelaki.

Dan saat aku tinggal di desa terpencil itu, tentu ada sebuah keluarga yang mengasuhku. Dan itulah keluarga Dovi. Aku masih mengingat dengan jelas suasana rumah itu. kamarku di lantai dua, dengan kamar mandi yang tak berkramik dan dapur dengan atap terbuka di sebelahnya. Dan masih bisa aku cium aroma kayu bakar saat memasak sesuatu.

Aku sering melihat ibu duduk di kursi kecil, memasukkan kayu dan dedaunan kelapa untuk menyalakan api. Masakan yang di masak dengan cara itu mempunyai aroma yang menggoda untuk disantap. Sangat berbeda dengan masakan yang menggunakan kompor gas ataupun kompor listrik.

Televisi besar terletak di ruang keluarga yang sempit, namun cukup untuk menampung hampir sepuluh orang penonton, dengan berdesakan tentunya. Para tetangga sering menumpang untuk menonton televisi di sini. tidak cuma muslim, namun tetanggak Katolik pun ikut nimbrung di sini. dan sesekali aku melihat Ayah sedikit demi sedikit melempar pertanyaan pada si Katolik, pertanyaan santai yang mungkin menggoyahkan imannya. Pertanyaannya dikemas sedemikian rupa sehingga tak terkesan menggurui, mengintrogasi maupun menyakiti hati. Begitu mengalir.

Ayah yang satu ini, sudah mengislamkan beberapa orang Katolik di desa ini. aku sama sekali tidak menyangka sebelumnya, begitu hebatnya guru olahraga yang berpenampilan biasa ini.


***

Dan untaian kata aku tulis di e-mail Dovi, bertanya berbagai hal yang aku lewatkan beberapa tahun ini. bertanya keadaan Ayah, ibu dan adiknya, Yulham. Juga bertanya keadaan masjid beserta isinya serta warga kampung.

Ah… seperti apa yaa Dovi dan Yulham sekarang. Ingin diri ini kembali bertemu mereka, ingin kembali mengunjungi desa, ingin melihat anak-anak TPA yang tumbuh dewasa. Namun aku tidak ingin jika harus kembali berceramah di sana. Mengingat tiap melangkahkan kaki di desa itu, jadwal ceramah tak pernah lepas dari diriku. Masih banyak yang lebih layak daripada aku. Diri ini jauh dari sempurna untuk melakukan hal itu kembali.

Zhie
»»  Baca Selengkapnya...

Sunyi Dalam Gelisah


Kamis, 3 Mei 2012

Pukul setengah lima sore ponselku kembali berdering. Saat itu aku tengah melahap lembaran al-qur’an dan memasang ponselku ke sound tuk mendengarkan music. Nama Khloud kembali muncul di ponsel merahku.

Aku melihat sekelilingku, banyak teman. Aku tidak enak mengangkat telepon di hadapan mereka. Aku tidak ingin mereka menganggap aku sombong dan pamer, mentang-mentang digandrungi perempuan-perempuan luar negeri.

Aku pernah beberapa kali mengangkat telepon di hadapan mereka. Tentu wajah-wajah iri dan tidak suka Nampak di raut mereka. aku ingin menjaga hati mereka, tidak ingin merusak persahabatan.

Aku ingat masa laluku, saat teman-teman mengolok dan mencelaku karena tidak mungkin aku bisa menikah dengan gadis luar negeri (baru impian, hehe. Namun keputusan terbaik hanyalah di tangaNya), kenalan dan teman dekatpun tidak punya. Dan kini giliran mereka yang tertutup mulutnya. Melihat seringnya aku berjalan dan diundang ke acara-acara tertentu oleh banyak perempuan dari Negara lain.

Tentu mereka merasa terpukul karena menjilat ludah mereka, merasa terkalahkan oleh langkahku. Namun aku sekeras mungkin merendahkan diriku di hadapan mereka. aku tak ingin merusak tali itu.

Entah, aku hanya berpegang kepada hadits Qudsi yang kurang lebih penafsirannya, “ jika seseorang berpikiran baik kepada Allah (misal do’anya PASTI akan dikabulkan), pasti Allah melakukan apa yang hamba itu pikirkan (do’anya beneran terkabul).”

(Pernah baca buku The Secret kan? Setelah aku teliti ternyata teorinya sama betul dengan hadits Qudsi ini)

***

Karena lamanya aku merespon, akhirnya ponselku berhenti bordering. Aku ingin menelponnya balik, namun aku mengurungkannya. Aku akan menghubunginya via online malam atau sore ini, karena aku pikir lebih efektif.

 Tak berapa lama, ponselku kembali bergetar. Kali ini nada SMS yang berbunyi. Dari nomor yang sama. Kheloud.

Zein, ku harap kamu baik-baik saja dan tidak tinggal di Abbasea.
Tinggallah di Nasr City bersama teman-temanmu.

Seperti biasa, Kheloud terlalu mengkhawatirkan aku. Beberapa hari ini, di dekat asramaku, Abbasea kembali terjadi demo. Memakan banyak korban. Di internet bermunculan wajah para korban yang bersimbah darah. Tentu siapapun akan merasa takut melewati kawasan itu.

Beberapa pelajar dari Indonesia dan Bangladesh ditahan. Mungkin saat mereka berjalan, kebetulan tidak membawa paspor atau identitas lain. Aku dengar dari teman Bangladesh, plajar Indonesia yang di penjara satu sel selalu menangis sepanjang hari. Hhh.. riskan mendengar berita itu.

Sorenya, aku jelaskan kepada Kheloud keadaanku. Asramaku adalah tempat teraman di seantero Mesir. Di dalamnya banyak duta dari berbagai Negara. Jika satu orang saja terluka, tentu akan merusak hubungan kerja sama antar Negara, atau bahkan lebih parah.

Dengan sedikit penjelasanku, akhirnya Kheloud bisa menenangkan diri. Aku tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkan aku, khususnya gadis bersuara lembut itu. Di bulan ini dia menghadapi ujian terpentingnya, apa jadinya jika dia tidak fokus karena aku?

Entah di seberang sana, seperti apa perasaan Kheloud saat ini.
Allah, tenangkan hatinya…
Yakinkan kepadanya bahwa aku baik-baik saja di tanahMu ini…

Zhie
»»  Baca Selengkapnya...

Ketegaran Bunda


Selasa, 8 Mei 2012

Aku menyelesaikan ujian lisan hari ini. beberapa temanku memberi SMS yang membuat semangatku terpompa. Nunny dan Ray yang satu hari sebelumnya memberi do’a dan SMS. dan di saat ujian pun (tepat jam sepuluh pagi), Ray kembali mengirimiku SMS.
“Semangaaaaaaaaat! Henshin! :D”
sebuah pesan singkat yang sangat bodoh. Aku tertawa dibuatnya. Dan seketika itu, kegugupanku pun mulai lenyap sedikit demi sedikit. Ah, aku harus berterima kasih kepadanya.

entah, aku ragu dengan ujian lisanku, seperti apa nilanya nanti. Memang beberapa pertanyaan sudah aku jawab. Namun aku tidak tahu jawabanku memuaskan si dosen atau tidak. Dan penyesalan yang teramat dalam adalah. Aku tidak menjawab satu pertanyaan yang seharusnya bisa aku jawab. Lidahku kelu, karena kegugupan yang saat itu menguasaiku. Aku hanya bisa pasrah kepada Allah. Aku berharap Dia memberiku nilai terbaik.

***

Sore hari, aku mengabarkan pada Bunda perihal ujianku. Aku senang ada orang yang setiap saat mendengar keluh kesahku kapanpun, dan dimanapun.

Bunda yang aku maksud bukan ibu kandungku di Indonesia. Dia adalah seseorang yang aku anggap ibu di sini. saat ini dia tinggal di New York City. Dia seorang muallaf, Allah memberinya hidayah setahun yang lalu. Dia selalu ada kapanpun aku butuhkan, kami sering berkomunikasi lewat internet.

Aku anak lelaki pertamanya, karena anak-anak kandungnya semuanya perempuan. Sarah yang berumur 12 tahun, dan Sophia yang berumur 8 tahun.

Aku mengabarkan keadaanku dan ujianku. Dan dia kembali bertanya, “How’s everything else?” pertanyaan yang tidak biasa, mungkin bunda ingin mendengar ceritaku lebih banyak. Aku bercerita panjang lebar tentang suasana ruang ujianku sedetailnya. Aku juga bercerita tentang teman-temanku. Dan mengatakan aku harus belajar lagi untuk menghadapi ujian tulisku. Dan saat itu, pesanku tak terjawab. Ah, mungkin bunda sedang sibuk bekerja.

Rabu, 9 Mei 2012

Esoknya, aku baru mengetahui kalau bunda ada masalah. Aku langsung menghubunginya tanpa berpikir panjang. Dan bertanya langsung kepada bunda. Saudari-saudarinya menyakitinya, bukan hanya dia, Sarah dan Sophia juga.

Allah, aku menyalahkan diriku yang tidak peka. Seharusnya aku menyadari maksud pertanyaan bunda “How’s everything else”. Dia ingin aku juga bertanya hal yang sama, dia ingin bercerita kabarnya, namun tak enak hati. Karena ibu mana yang tega membuat anaknya ikut sedih. Dia tetap merahasiakan penderitaannya sampai si anak tersebut bertanya langsung kepadanya. Bunda yang baik. Aku beruntung mempunyai bunda seperti dia. Rata-rata seorang ibu langsung tanpa malu dan segan menceritakan keluh kesahnya, jelas sekali bukan kalau dia ingin dikasihani. Namun, bunda yang satu ini tidak.

Aku tak tahan lagi mendengar ceritanya, perasaan marah dan kasihan bercampur menjadi satu.
 “Bagaimana kabar adik-adikku perempuanku bunda? Bagaimana kabar Sarah dan Sophia?”
“aku sekarang di sini menemaninya, Nak…”

Allah, Sarah dan Sophia beruntung mempunyai bunda yang tegar seperti dia. Aku juga, beruntung telah mengenalnya dan menjadi anaknya. Aku banyak belajar banyak hal dari dia. Allah, terima kasih telah mempertemukan aku dengan bunda. Begitu tegarnya dia mempertahankan agamaMu Ya Allah. Aku tahu Engkau sangat mencintainya, sehingga memberinya cobaan yang membuatnya kian kukuh.

Allah, jarak sangat memisahkan kita. Aku tak bisa berbuat banyak untuknya saat ini. di bawah naungan langitMu yang teduh ini, aku memohon kepadaMu. Jaga Bundaku dan kedua adikku. Jagalah kemurnian hati mereka, dan berilah mereka ketegaran.

Zhie
»»  Baca Selengkapnya...

Goresan Pencipta Resah


Rabu, 16 Mei 2012

Aku buka pintu kamar Fikri, mengambil ponselku yang tertinggal di kamarnya. Terlihat dua missed call dari soulmate ku, Kurniawan. Ah, dia pasti sedih membaca tulisan yang diposting Wahid, temanku. Dan mencoba menelponku untuk menghibur kesedihan yang aku derita saat ini.

Aku tak membalas telponnya, toh, cerita yang diposting Wahid bukan kisah nyata. Hanya imajinasi liar Wahid yang ingin diasah.

Aku berjalan menuju kamar Wahid dengan membawa ransel dipunggungku. Membawa ayam dan dua buah telur untuk dimasak malam ini. Aku meletakkan ranselku sejenak dan ponselku bordering. Kurniawan menelponku. Pasti bertanya tentang cerita menyedihkan itu. pagi tadi tepat jam delapan pagi dia mengirimiku e-mail, bertanya apakah cerita yang ditulis Wahid sungguhan? Aku katakan tidak. Namun nampaknya Kurniawan tidak mempercayainya begitu saja.

Ah, sungguh bahagianya diriku ini, dikelilingi teman yang mau peduli. Diriku terharu melihat tingkah Kurniawan. Menelpon menanyakan keadaanku. Ah, jarang sekali aku memiliki orang sepertinya. Jika tubuh ini sakit, ada Mbak Ayu yang menelponku. Dan jika masalah hati yang datang menghampiriku, ada Kurniawan yang menelpon.

Aku angkat telepon dari Kurniawan.
“Zai! Kalau galau jangan sendirian.!”
Ah, mungkin dia pikir aku sedang dilanda kesedihan sampai dua missed callnya tidak aku jawab. Dengan nada  tertawa aku membalasnya.
“Siapa  yang galau! Tadi ponselku tertinggal di kamar, jadi aku tak bisa membalas telponmu.”
Sepertinya Kurniawan tak juga mempercayaiku, mencoba menelisik lebih dalam apa yang terjadi padaku.
“Tadi dari mana?”
Aku menjawab, “dari kediaman Allah.”
“Tuh, kan! Menangis sendirian di dalam Masjid.”
Berkali-kali aku katakan, tidak usah bersedih hati. Tulisan yang ditulis Wahid itu bukan kisah nyata. Hanya imajinasi liar Wahid yang menjadi-jadi.

“Tapi itu, fakta kan?”

Aku katakan tidak. Namun dia masih saja belum percaya.
“Kamu besok tidak ada ujian kan? Temani aku ke suatu tempat. Tapi aku cek dulu kirimanku sudah sampai apa belum. Tinggu kabarku selanjutnya.”

Ah, dia pasti mengajakku ke suatu tempat untuk menghiburku. Sudah aku katakan berkali-kali aku baik-baik saja. Namun sepertinya orang-orang tak percaya.

Goresan tinta Wahid benar-benar  membuat sendu mata orang yang membacanya. Aku pun begitu. Saat aku membacanya perasaan sedih melanda sanubariku. Padahal aku tahu itu hanya kisah karangan. Namun tetap saja diri ini bergetar membacanya.

Menata Hati di Sakia el-Sawy
by Wahid on Monday, May 14, 2012 at 5:18pm ·
Zai sedang menunggu Nescafe yang dipesannya. Murah, hanya dua ponds. Segera ia merogoh saku dan memberi dua kepingan logam kepada pelayan. Aroma nescafe sulit digambar jika sudah bertemu malam dengan anginya yang sejuk. Sakia el-Sawy, selepas pertunjukan seni musik klasik penonton banyak pulang lebih awal. Pertunjukan yang hanya menampilkan  permainan musik; biola, piano klasik, gitar cembung, seruling, terumbuk, gendang, kecrek, dan alatmusik kecil lainnya membuat penonton bosan. Penonton seperti dibawa kemasa lalu dengan musik-musik kerajaan kuno. Musik yang tidak populer zaman sekarang. Namun diakhir pertunjukan ternyata piano klasik bermain indah bersama biola. Membawakan instrumen Richard Marx, Right here waiting for you.  Nada yang begitu sendu. Se-sendu hati Zai malam itu.

Malam sedih tanpa rembulan. Hanya sedikit kerlipan bintang yang  menghiasi gamangya malam. Zai duduk lemas diatas kursi tenda. Matanya menatap kosong. Pikirannya tengah berkecamuk. Memang kali ini kedatangannya di Sakia bukan untuk melihat pertunjukan. Setelah beberapa tempat yang dikunjungi tidak juga menghilangkan rasa gundah yang sedang ditanggungnya. Dan pertunjukan musik itu malah membuatnya semakin yakin kalau nasib tidak sedang bersahabat dengannya.

Nescafe sudah tidak hangat. Aromanya sedikit hilang. Ia meneguk semua tanpa sisa.
“Di tenda ini kita pertama jumpa!” Zai membatin sendirian.

Tenda kecil yang dibuat untuk menghiasi Sakia agar tampak indah.  Ada empat tenda yang berdiri mungil diatas beranda taman sebelum pintu masuk.

Jika untuk mengatakan takdir itu kurang sopan, maka nasib yang telah membuat Zai patah semangat menjalani hidup. Nasib yang harus mempertemukannya dengan seorang gadis cantik. Setelah komitmen untuk tidak bermain perasaan dengan mahasiswi Indonesia, ia akhirnya bertemu dengan Kheloud seorang mahasiswi Universitas Cairo. Kheloud adalah wanita mesir baik-baik. Jika ukuran baik wanita mesir adalah tidak glamor dan berdandan aneh. Maka Kheloud wanita yang tepat. Ia sungguh berbeda dengan kebanyakan teman sejawatnya. Siapa yang tidak jatuh hati, jika wanita mesir yang memiliki paras mempesona, berakhlak mulia dan berhati jujur. Juga cinta yang tulus pada Zai.

Setelah perjumpaan pertama. Mereka banyak mencuri waktu untuk bertemu. Zai yang seorang jurnalis harus rela berbohong untuk menolak tugas meliput. Atau ia memang meliput berita yang dibuatnya sendiri bersama Kheloud. Berita yang tidak perlu dipublikasikan. Cukup mereka berdua yang membacanya. Begitupun Kheloud harus rela jika sesekali bolos dari les melukisnya. Dan kali ini memang benar-benar melukis. Melukis kisah bersama Zai di Sakia.
Entah siapa yang lebihdulu mengutarakan rasa suka, yang jelas mereka seperti sepasang merpati yang  sedang tersesat dihutan belantara. Tersesat dalam ruangan hati dan perasaan mereka.

“Zai . . . I wanna see you!!. I can’t see the world without you. ^_^
May we meet in Sakia tomorrow??”

Begitu susunan kata yang paling disukai Zai di layar handhponenya. Maka ia akan menjawab dengan seruan yang lebih romantis. Bahkan  jikaperlu mengalahkan syair Majnun untuk Laila.

“I have just three angels in my life. The first my Mom, the second my Sister, and the last is you . . .^_^. . .  Hopefully I can take you fly to the moon. Yes, we can meet tomorrow at 18:00 pm.”

Kesenian juga yang harus mempertemukan mereka di Sakia. Keduanya amat menyukai dunia seni. Ternyata memiliki ideologi sama dalam carapandang hidup membuat seseorang merasa cocok dan nyaman. Di Sakia mereka lebih suka menunda kepulangan dengan  duduk santai dibawah  tenda. Berbincang hangat meski angin malam sebenarnya dingin. Jika sudah seperti itu, Zai merasa dibawa kemasa lalu saat Julius Caesar menaklukan Cleopatra. Perantaunnya dari Gresik tidak kalah dengan Caesar dari  Romawi.

Namun setelah kejadian itu Zai harus segera ambil tindakan. Ia tidak boleh gegabah memutuskan segala sesuatunya. Harus dengan otakmatang, bukan sekedar hati nurani semata. Karena cinta bukan sekedar logika dan pada akhirnya membutuhkan logika juga. Jika memang cinta harus menggunakan rumus matematika maka itulah saat yang tepat untuk Zai mengamalkannya.


Namun Zai merasa bersalah jika harus menjauh seperti itu.  Kenyataanya memang hanya itu yang  bisa ia lakukan. Menjauh dari Kheloud secepat mungkin dan bilaperlu segera melupakannya. Walau Zai tahu itu tidak akan pernah bisa!
Semilir angin malam yang sendu kembali menyapa rautwajahnya yang muram. Kedua bola matanya menguning setelah dua malam tidak tidur. Bukan karena begadang untuk tugas tapi kegelisahan itu membuatnya sulit memejamkan mata.
Tatapanya kini beralih pada ruasjalan yang menghubungkan antara Tahrir dan Zamaleek. Lampu yang berdiri tegak dipinggir jalan saling menembak satu sama lain. Membuat jalanan semakin eksotis. Dan akan lebih eksotis bahkan erotis jika sudah berhenti diatas jembatan Nil. Jembatan yang sudah menjadi legenda di bumi mesir.


Suasana malam memang indah di negri piramid ini daripada siang yang penuh keributan. Pertamakali Zai melewati jembatan Nil ia tidak melepas pandangannya kecuali pada hamparan air sebagai saksi Musa dihanyutkan. Dan pada ketika ia sedang duduk berdua di kursi Bus maka pandangannya beralih pada wajah Kheloud yang mengalahka ke-eksotisan Nil.

Sungguh kenangan lagi-lagi hadir disetiap kejadian yang pernah ia alami. Kenangan yang tidak membuatnya tersenyum, kini dengan kenangan itu malah  semakin tersiksa. Kenapa seseorang harus terjebak dalam kenangannya sendiri? Bukankah kenangan itu hanya untuk dikenang bukan untuk diingat-ingat? Zai semakin mengutuk dirisendiri.

Kejadian pilu itu terjadi ketika langit Zahro mendadak suram. Mendung yang tidak hujan ternyata lebihsakit ditanggung. Zai tidak sempat menangis sore itu, dan Kheloud tidak sedang melukis kisah. Setelah badai ombak yang menghantam mereka berdua. Adalah keputusan sang Ayah membuat Kheloud kembali mengutuk adat. Adat yang baginya adalah racun kehidupan wanita mesir dalam presepktifnya. Dia memang wanita berbeda yang meyakini jika kebahagian tidak mesti diukur dengan pundi-pundi uang.

Maka ketika sang Ayah menawarkannya pada Zai agar segera dipinang ia shok. Entah bagaimanapun Zai hanyalah seorang mahasiswa. Dia mungkin akan melamarnya jika sudah selesai kuliah dan sudah bekerja. Namun orangtua Kheloud menginginkan segera putrinya di pinang. Jika tidak maka mereka akan segera menerima lamaran dari seorang pengusaha muda. Saat itulah Zai yakin jika kebiasaan buruk orang mesir adalah menawarkan hal-hal mustahil untuk tujuan yang sebenarnya. Mungkin Ayahnya sudah melihat keadaan Zai sebagai orang asing yang tidak berduit. Ia sekedar mahasiswa yang belum berpenghasilan. Maka dengan bulat ia akan menerima tawaran dari pengusaha mesir dengan mempertimbangkan uang yang akan didapatnya.

Setelah kejadian itu Zai dilarang  lagi bertemu  Kheloud. Ia harus menjauhinya. Karena sesegera mungkin Kheloud akan dilamar. Maka Zai memang sudah bukan pemilik hati Kheloud yang seperti buah delima. Namun keduanya mengerti betapa bukan kuasa mereka sedikitpun memutuskan hubungan itu.

Bukan hanya langit yang suram. Angin pun tak lagi bersiul. Kisah tak seindah dulu. Zai merangkul tas meninggalkan Zahro dengan sejuta rasa kecewa. Membawa hati yang remuk berkeping-keping. Hancur lebur.

***

Maka di Sakia el-Sawy ia hanya bisa menata hati. Malam yang gamang tanpa kebahagiaan harus terus dilalui dengan tenang. Seperti hati adalah bangunan roboh yang harus ditata ulang dengan pondasi yang lebih kuat. Ia mematung sendirian dibawah tenda. Mencoba menerjemahkan malam sendiri. Dan sesekali mengububungkan dengan kisahnya bersama Kheloud. Menghitung bintang adalah mustahil namun ia bisa mencuri pelangi jika hujan benar-benar telah reda.

Cairo, 14 Mei 2012.


»»  Baca Selengkapnya...

abcs