Cecap Kegagalan

Rabu, 21 Agustus 2012

               Seorang paman sibuk mencari kunci di rak meja. Kosong. Dia hampir menutup rak itu namun ada kunci yang terselip. Dia mengambil kunci itu dan membuka lemari di sampingnya. Mengambil sebuah buku yang entah ada angka sebagai judulnya. Aku tak melihatnya dengan jelas angka-angka itu. Atau lebih tepatnya aku tak begitu mepedulikannya.

                “Berapa nomor bangku ujianmu?” paman itu bertanya

                Aku tak begitu mengingat pasti nomor bangku ujianku. Kalau tidak salah, “4329, Paman.”

                “Nama kamu , Austchi Chlor?”

                Aku berpikir, nama bangsa mana itu? “Bukan,Pak. Tapi Muhammad Zainuddin.”

                “Kamu membawa 5 Mata Kuliah, dan ini mata kuliah yang kamu bawa . . .”

                Paman itu menyebut Mata kuliahku yang bernilai jelek. Pikiranku kosong mendengar pernyataan paman itu. Dan kakiku seakan tak bernyawa dan mulai limbung. Allah, apa aku tidak lulus tahun ini Ya Allah…

                Aku meminta paman itu mengulang mata kuliahku yang bernilai jelek. Aku merasakan sedikit heran saat paman itu mengucap. Mata kuliah yang aku anggap biasa, kenapa aku gagal. Sedangkan mata kuliah yang aku anggap sulit, malah lolos.

                Aku meninggalkan kuliah, berjalan tanpa adanya kesadaran di benakku. Aku tak berhasrat memberhentikan angkutan umum. Aku hanya melihat angkutan umum itu bersliweran sesuka hati. Aku tak memiliki daya untuk sekedar mengangkat tangan tuk menghentikan mobil.

                Hasil ujian fakultas lain sudah ditempel. Teman-teman Asramaku semuanya lulus. Dan tinggal fakultasku yang nilainya belum ditempel. Karena rasa penasaran terus memburuku, aku akhirnya bertanya pada paman yang bekerja di kuliah. Entah dia bekerja sebagai cleaning service atau tukang penjual teh. Sudah menjadi rahasia umum, kalau hasil ujian belum ditempel, kita bisa meminta paman-paman itu untuk memperlihatkan nilai kita.

                Aku sampai di asrama. Semua temanku berwajah ceria. Beban yang dulu menghimpit mereka akhirnya terlepas, berganti senyum bahagia. Namun, berbeda dengan aku. Aku memaksa topeng wajahku melukis senyum bahagia. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku menyimpan beban berat. Hatiku teriris.

                Aku tak ingin menangis di hadapan mereka. Aku juga tak ingin memasang wajah sedih pada mereka. Aku tak ingin membuat mereka sedih karena kepiluan yang aku alami. Menjadi lelaki itu begitu sulit, tak bisa menangis di depan orang banyak. Tidak bisa jujur pada kesedihan diri.

                Aku juga merasakan hal itu pada kakakku. Menyimpan semua kepiluan sendiri. Selalu bersikap tenang di hadapan kita. Karena dia sadar kalau dia adalah anak tertua. Jika si sulung saja goyah, bagaimana nasib adik-adiknya.

                Aku yang paling tua di antara teman asrama, dan hanya aku yang gagal. Memalukan bukan, aku tak bisa menjadi contoh yang baik.

                Saat ini, aku sudah mendapat beasiswa. Aku juga sudah tinggal di asrama yang makan dan tempat tinggal gratis. jika aku gagal, semuanya akan lenyap. Beasiswa dan asramaku terancam. Ya Allah, apa aku harus membebani keluargaku lagi?

                Dan tiba-tiba aku terbayang keluarga Mariam yang mendo’akan kelulusanku. Hatiku semakin teriris. Aku tak sanggup melihat bagaimana ekspresi wajah mereka melihat kegagalanku. Mereka pasti kecewa. Aku menghianati kepercayaan mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat kesedihan itu datang, yang ada dipikiranku hanyalah Allah, Allah dan Allah. Hanya dengan mengingatNya hatiku bisa tenang. Hanya dengan mengucap namanya, kesedihanku berangsur reda.

                Kadang aku berpikir, kenapa kegagalan itu datang saat aku mulai bisa berdiri. Kenapa saat aku tak lagi bersama keluarga dan mereka yang bisa mendorongku dan membangkitkanku kembali? Kenapa bukan saat sekolah menengah pertama atau di bawahnya?

                Semenjak TK sampai SMA, aku selalu menyabet peringkat atas. Dan aku sama sekali tak mengira saat aku sudah sampai di atas, kini aku jatuh terperosok ke lubang yang dalam. Dalam dan gelap. Apakah Allah ingin mengajari aku tentang kegagalan? Kenapa harus sekarang, saat resiko besar akan menimpaku. Kenapa bukan saat aku masih belia, saat resiko-resiko masih kecil dan belum berkembang.

                Kegagalan saat kita berada di atas jauh lebih menyakitkan.

                Kini, aku tak mempunyai muka menghadapi wajah teman-teman, Mariam dan keluargnya. Ayahnya seorang akademisi, pasti dia kecewa berat denganku. Dan Mariam akan bekerja tahun ini, tentu tak mungkin baginya menungguku terlalu lama. Aku juga tak mungkin memaksanya.

                Namun, aku teringat kata seseorang, “Untuk bisa memiliki hati seseorang, tak perlu meminta orang tersebut. Kita hanya perlu meminta kepada Allah, Sang Pemilik Hati.”


                Dan sebagaimana firman Allah yang entah terletak di surat mana (aku lupa), “Jangan berputus asa dengan Rahmat Allah.” Selama nilai ujian belum ditempel, aku tak ingin berputus asa. Allah juga melarangku untuk berputus asa. Aku mencoba menyimpan secercah asa di hatiku. Mungkin saja yang dilihat paman itu bukan namaku, atau mungkin itu bukan nilai akhir yang kemungkinannya bisa berubah. Aku masih menggantungkan harapan kepadaMu Ya Allah. Dan Menanti keajaibanMu datang menyapaku.

»»  Baca Selengkapnya...

Kenangan Lalu

           
    Ramadhan 2013 ini, Yusuf tak lagi bersama kami. Dia berlibur ke Indonesia. Tiba-tiba, kenanganku bersamanya begitu merebak, memenuhi momoriku.

                Saat itu, aku teringat dia menjadi salah satu Kru Informatika. Di awal Ramadhan, aku menemaninya shalat Tarawih di al-Azhar. Dia ada janji dengan kru lain di tempat itu. Aku masih bisa merasakan dinginnya lantai masjid AL-Azhar saat itu. Aku duduk di bangku panjang dan memandangi gemintang yang bertaburan.

                Di Ramadhan lain, aku menemaninya Sidang Redaksi. Kami terlambat. Atau lebih tepatnya, kami sengaja memperlambatkan diri. Karena kami tahu, acaranya pasti molor. Kami sholat Maghrib di masjid kawasan Rab’ah yang saat ini begitu ramai dan terkenal karena terjadinya demo dan pembunuhan. Memikirkan suasana tahun lalu, kawasan ini begitu damai. Di masjid itu, ada seorang dermawan yang mengajak kita berdua berbuka. Kami tak menolaknya, karena kami belum berbuka sama sekali. Dan mungkin itu hari keberuntunganku, selama bertahun-tahun di Mesir baru kali itu aku memakan Bebek.

                Ramadhan tahun lalu, aku habiskan tunggal di lantai lima, tempat tinggal Yusuf dan teman-teman lain. Merepotkan penduduk sana. Sahur dan berBuka di sana.

                Aku juga ingat masa-masa itu, saat kita beberapa kali pergi ke Restoran Cina, yang selama Ramadhan buka setelah Ashar sampai Subuh. Saat itu, kita mencoba menu-manu baru yang belum pernah kita pesan sebelumnya.

                Dan beberapa kali kita pergi ke SIC (Sekolah Indonesia Cairo). Saat Ramadhan tiba, para pejabat KBRI mengundang para mahasiswa untuk shalat Tarawih berjama’ah. Dan setelah itu akan dihidangkan makanan Indonesia seperti Bakso, Soto, Pempek, Siomay, Mi Ayam, dan lain-lain.

                Saat itu, yang ada di pikiran (Kebanyakan)Mahasiswa, adalah menu makanannya. Kalau menurut aku, aku lebih nyaman sholat Tarawih di masjid Mesir karena bacaannya panjang dan lebih menenangkan.

Namun, menu makanan yang disediakan pejabat KBRI menggiurkan. Aku dan Yusuf pun ikut terlena. Saat mendengar menu hari itu Pempek atau Siomay, dengan semangat “Tukang Becak” kita langsung mengikuti rombongan yang pergi ke SIC. (Derita Mahasiswa Mesir -_-)

Saat kepulangannya ke Indonesia, dia sengaja tak memberitahukan orang banyak. Dan memilih untuk pulang tengah malam. Dan saat itu, Aku ketiduran. Aku terbangun, dan Yusuf lenyap. Di kamarnya tak ada koper besar, tak ada lagi laptop tempat kita menonton Kamen Rider bersama. Ya Allah, aku membayangkan betapa kesepiannya dia saat itu. Pergi tengah malam tanpa ada yang menemani. Kenapa dia tak membangunkan aku saat itu.

                Dan Ramadhan 2012, aku pertama kalinya berkunjung ke Rumah Mariam dan bertemu kedua orang tuanya secara langsung. Aku melakukan persiapan yang matang sebelum pergi ke sana. Beberapa hari sebelumnya, aku mencari masjid yang Tarawihnya dua jam. Persiapan kalau Tarawih di rumah Mariam lebih lama dari itu. Sangat memalukan jika aku tidak kuat berdiri selama itu. Memalukan bagiku yang seorang Muslim, juga memalukan bagiku sebagai satu-satunya orang Indonesia.

                Dan Ramadhan itu juga aku mengalami penyesalan yang mendalam. Saat itu, mungkin seorang temanku di Indonesia sedang membutuhkanku. Namun, karena koneksi internetku yang lemot, juga karena saat itu aku pergi bersama Yusuf, entah kemana. Ke Saraj mall atau ke SIC, aku lupa.

                Saat Idul Fitri menyapa, dia sudah menikah dan mengundangku ke acara resepsi pernikahannya. Saat itulah aku mengalami penyesalan yang mendalam. Mungkin Ramadhan itu, dia ingin berkonsultasi padaku. Namun, aku kurang peka. Dia dilamar saat Ramadhan dan menikah saat Idul Fitri. Di awal, dia ragu tentang kesetiaan suaminya. Namun, sekarang keraguan itu hilang. Dan dia terlihat bahagia sekarang. Aku turut merasa tentram.

                Di Ramadhan 2012 juga, seorang teman berbagi keluh kepadaku. Bertanya apa yang mesti dilakukan untuk membuat “Matahari”nya bisa turut memberi kehangatan bersama keluarganya. Aku tak tahu, apa untaian kataku memberi guna. Aku sangat senang jika aku bisa melakukan sesuatu untuknya.

                Yup, aku bertemu dengannya beberapa tahun yang lalu. Aku pun tak ingat tanggal dan tahun berapa kita pertama kali bertemu. Persahabatan kita begitu mengalir. Dia memanggilku Onta, aku memanggilnya Cumi-Cumi. Kita belum pernah bertatap muka. Selalu berkomunikasi lewat dunia maya. Namun, aku harus meminta maaf padanya karena saat dia membutuhkanku untuk Chatting, untuk bertanya beberapa hal. Aku tak ada di sana.


Kadang aku berpikir, apa mereka bahagia bersahabat denganku? Aku tak bisa selalu ada saat mereka membutuhkanku. Sekali lagi, maaf teman-teman. Namun, aku harus berterima kasih atas kenangan yang kalian berikan. Kalian sungguh memberi kesan bagi perjalananku.

»»  Baca Selengkapnya...

Satu Sayap yang Memudar


Sebenarnya, aku ingin menulis ini secepat mungkin saat mendengar berita menyedihkan ini. Namun, entah kenapa tangan dan jiwaku tak kuasa menulis ini. Dan sampai Ramadhan berakhir pun aku sama sekali tak menulisnya, sampai suatu kejadian dating menghampiriku . . .

Hari kedua Idul Fitri, aku menyalakan Radio Indonesia lewat internet. Aku request lagu namun tak juga diputar karena mungkin antriannya banyak. Tak berapa lama, mereka menawarkan untuk mengupload foto kumpul bareng saatIdul Fitri. Aku mengupload foto kita di Piramid tahun lalu. Saat Muhammad masih bersama kita.

Aku menuliskan sesuatu di foto itu, “Kenangan Idul Fitri tahun lalu di Piramida. Sepupu kita, Muhammad meninggal dunia tiga minggu yang lalu.”

Aku tak menyangka Muhammad begitu cepat meninggalkanku. Aku masih tak percaya. Sampai saat ini aku masih bisa merasakan kehadirannya meski dia tak ada lagi di sini, di bumi ini.

Tanpa kusadari di Radio itu menyabut nama Zhie, nama akun twitterku. Aku terbelalak dan cepat-cepat mengeraskan volume speakerku dan menyuruh teman-temanku diam.

“Barusan kita menerima sebuah foto keluarga dari akun yang bernama Zhie. Foto kenangan bersama sepupunya, Muhammad yang meninggal tiga minggu yang lalu. Dia request sebuah lagu beberapa waktu lalu, namun kita belum bisa mengabulkannya karena banyaknya antrian. Kita akan memutar sebuah lagu sebagai ganti. Lagu yang cocok dengan keadaan Zhie saat ini. Lagu untuk mengenang seseorang yang telah pergi. Untuk Zhie, semoga kamu mendengar lagu ini.”

Si penyiar Radio mengatakan kata itu dengan sedikit isak tangis. Aku membayangkan wajahnya saat ini sedang berlinang embun kesedihan. Dari suara paraunya, seakan dia menyesali tidak bisa memutar lagu yang aku pinta di awal.

Saat lagu diputar, tanpa kisadari, dadaku sesak. Seakan udara tak mengizinkan aku tuk bernafas dengan leluasa. Hampir memaksaku untuk mengeluarkan embun duka yang sama. Namun aku coba tahan. Aku tak ingin embun itu keluar dengan leluasa di depan teman-temanku.

Ahad, 21 Juli 2013. Foto profil facebook Mariam, Sundus, Salma dan Aly berubah menjadi foto Muhammad. Begitu juga sepupu mereka yang lain. Kaki dan sebagian tubuhku seakan tak bernyawa saat mengetahui realita kepergian Muhammad. Meninggalkan kita, selamanya.

Aku masih belum tahi secara pasti penyebab meninggalnya. Aku ingin bertanya kepada keluargaku, namun aku tak enak hati. Lidahku kelu dan jemariku lemas saat ingin bertanya kepadanya. Aku tak ingin, pertanyaanku semakin membuat mereka berduka.


Dugaanku, meninggalnya Muhammad ada sangkut pautnya dengan demo besar-besaran yang ada di Mesir. Ratusan orang meninggal. Mungkinkah Muhammad salah satunya? Dan lagi, saat itu dia sedang melaksanakan wajib Militer. Setiap lelaki yang terlahir di Mesir, wajib memasuki dan bertugas sebagai tentara selama satu sampai 3 tahun, atau bahkan lebih. Berbeda dengan Indonesia. Kita diberi kebebasan memilih.

Seperti baru kemarin aku bertemu dengannya. Pergi ke Piramida bersama, tertawa dan berfoto ria bersama. Aku ingat saat kita sholat berjamaah dan aku menjadi imamnya. Aku juga ingat saat-saat dia menolongku dari polisi yang tak tahu diri. Juga saat dia mengantarku pulang larut malam saat semua sudah kecapekan dan terlelap.

Saat dia mengantarku pulang dengan mobilnya, aku melambaikan tangan kepadanya. Tak kusangka itu lambaian terakhir yang aku berikan untuknya. Orang sehangat dan sebaik dia, kenapa pergi begitu cepat.

Beberapa hari status keluargaku berisi tentang kesedihan. Dan selang beberapa waktu mereka mengganti foto profil dengan warna hitam. Tanpa senoktah warna lain. Bisakah aku menghibur mereka Ya Allah? Bisakah aku menjadi pelipur lara bagi mereka?


Lagu yang diputar masih terdengar. Aku berusaha untuk tak menikmatinya, tak ingin terbawa suasana. Namun, usahaku percuma. Jiwaku menolak. Lagu itu memberi bekas padaku. Mengingat memori yang kita lukis, bersama Muhammad.
»»  Baca Selengkapnya...

Sebungkus Indomie di Hari Raya

Kamis, 8 Agustus 2013
                Ini pertama kalinya aku bisa melaksanakan sholat Eid di masjid Al-Azhar. Yaa, pertama kali. Tahun lalu aku melaksanakannya di masjid asrama atau masjid lain.

                Dan Ramadhan ini, aku mengawalinya dengan sholat Tarawih di masjid Al-Azhar, dan mengakhiri Ramadhan tahun ini pun dengan tarawih di sana.  Tiba-tiba aku teringat dua tahun silam. Selama Ramadhan, aku sekalipun tak pernah sholat di masjid Al-Azhar. Karena perhatianku teralihkan dengan masjid-masjid lain. Bagaimana mungkin, aku yang mahasiswa Al-Azhar  tidak pernah sholat Tarawih di masjid Al-Azhar. Tahun itu, aku sangat menyesalinya. Sangat!

                Usai Sholat Eid, terlihat banyak jamaah dari berbagai Negara. Mereka banyak mengambil gambar. Dan ada anak kecil Turki lewat di depan kita, “LuuuccuuuuuUUUU!!* kita tanpa sadar menarik anak itu dan berfoto bersamanya. Orang tuanya tertawa melihat aksi kami, dan ikut mengabadikan momen itu dengan kameranya. Rasa bangga memenuhi dada kami, kita serasa menjadi artis dadakan. Menjadi obyek kamera beberapa orang asing.

                Kami bergegas kembali ke asrama, untuk berganti baju. Karena terlalu asyik berfoto ria, karena sulit juga mencari kendaraan, kami sedikit terlambat sampai di asrama. Kami akan menuju kedutaan Indonesia. Kunjungan rutin yang kami lakukan selama Idul Fitri dan Idul Adha. Kami makan besar di sana. Bersama seluruh masyarakat Indo yang berjumlah lebih dari 4000 orang dan para pejabat kedutaan.

                Bis jemputan menunggu di depan asrama. Aku dan teman sekamarku berjalan pelan menuju gerbang. Aku memakai jubah abu-abu pemberian ibuku tiga tahun silam dengan sorban yang aku lilit di leher. Penampilanku sama persis seperti Raja Iblis Piccolo.

                Tahun ini aku ingin tampil beda. Jika tahun lalu aku berpenampilan layaknya orang kantoran dengan stelan kemeja yang necis. Kini aku ingin muncul di KBRI dengan jubah dan sorban layaknya muslim golongan keras. Aku ingin tahu reaksi teman-teman di sana. Aku yakin mereka tidak akan berhenti tertawa melihat penampilan “sholeh”ku.

                Pintu gerbang sudah mulai terlihat. Gerbang yang semula ramai oleh orang Indonesia, kini terlihat sunyi. Hanya segelintir orang Indonesia yang nampak. Kami tertinggal bis. Bis tidak mampu memuat kami semua. Sopir berjanji akan kembali dan memungut kita yang tersisa.

                Sepuluh menit pertama kita masih sabar menunggu. Sepuluh menit kedua kita mulai kehausan dan pergi ke kios depan membeli minum. Sepuluh menit ke-empat temanku mulai ragu bis jemputan akan datang. Sepulu menit ke-lima beberapa orang memutuskan untuk berangkat sendiri tanpa menunggu bis jemputan. Namun, aku dan teman sekamarku, Fikri memutuskan untuk kembali ke asrama. Kita tidak mempunyai gairah lagi untuk ke KBRI. Karena bisa dipastikan, saat kita datang orang-orang pasti sudah pulang. Percuma bukan, mengunjungi KBRI tanpa bertemu orang yang kita kenal.

                Aku melirik jam di ponsel, masih pukul 8 pagi. Aku dan Fikri membeli Indomie dan sebotol air. dan tanpa kita sadari, bis jemputan sudah ada tepat di depan kita! Orang Indonesia yang tersisa berlarian menuju bis. Kecuali kita.

“Fik, bagaimana? Ikut tidak?”

“Aduh, masa kita ke KBRI membawa mie bungkus seperti ini?”

Yup, kita tidak membawa ransel maupun tas untuk memasukkan mie bungkus dan botol air besar. Kalau kita menaruh barang itu ke kamar juga tidak mungkin, karena kamar kita jauh dari gerbang utama. Dan terletak di lantai enam.

“Bagaimana?” Fikri bertanya kepadaku. Aku pun ragu dan terdiam. Sangat memalukan berkunjung ke tempat para pejabat dengan membawa sebungkus Indomie di tangan. Akhirnya kita memutuskan untuk kembali ke kamar dan memasak mie instan.


                Saat memasak, kita terbayang teman-teman lain yang bisa memilih aneka makanan yang disediakan KBRI. Kita berdua hanya memasak Indomie di kamar. Sendiri, tak ada keramaian. Tidak ada canda tawa bertemu teman. Tapi . . . mengesankan! Baru pertama kali ini aku cuma makan Indomie saat Idul Fitri. Tanpa dihiasi makanan mewah apapun.
»»  Baca Selengkapnya...

abcs