Hari ini
pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat kuliah, setelah libur panjang. Meminta
tanda bukti kuliah untuk pengurusan visa. Bertemu lagi bapak Syu’un (bagian
kemahasiswaan) yang acuh, keras dan tak mau mendengarkan alasan. Begitu sakit
hati ini. Dia langsung membalikkan muka, badan dan kursi. Tak mau mendengarkan
keluhan mahasiswa, tak mau repot. Tak lupa dia meluncurkan ejekannya saat kita
pergi.
Bapak itu
juga yang tak mau memberikanku surat izin untuk Umroh. Bapak jangkung kurus
dengan rambut tipis keputihan. Yang sangat terkenal dengan kecuekan dan
keacuhannya.
Entah inikah
yang namanya trauma atau apa, hatiku berat untuk melangkahkan kaki kembali ke
tempat kuliah. Tahun pertama dan kedua aku trauma karena selalu diejek dan disiksa
mahasiswa Mesir. Mereka sungguh tak beradab memperlakukan mahasiswa asing. Membuatku
jarang masuk kuliah. Dan di tahun itu, aku terlalu sibuk dengan organisasi di
luar kuliah, membuat pikiranku terpecah dan tidak bisa fokus kuliah. Namun, di
tahun-tahun itu, Allah masih mengizinkan aku untuk lulus.
Tahun ketiga,
aku mulai bosan menjadi orang biasa. Aku ingin ingin meraih predikat Mumtaz (Cumlaude).
Di tahun itu, aku menanggalkan semua organisasi. Aku tak lagi disibukkan dengan
kegiatan di luar. Dan frekuensi kehadiranku ke tempat kuliah semakin meningkat.
Tahun ajaran baru, aku menjadi
orang Asia pertama yang hadir di kuliah, mahasiswa masih sedikit yang hadir
saat itu, dosen pun tak semua hadir, mungkin atmosfer liburan masih membekas di
jiwa mereka. Meski begitu, aku tetap setia menunggu meski kelas kosong.
Di tahun ketiga, aku lebih sering
mencatat perkataan dosen dibanding tahun-tahun sebelumnya. Saat itu, pertama
kalinya diri ini merasakan cinta pada Al-Azhar dan Universitasku. Begitu menyenangkan
melangkahkan kaki ke kuliah, begitu damainya mendapat ilmu baru.
Saat teman-teman dan ibuku
berangkat Umroh, tak lupa aku titip do’a kepada meraka. Untaian doa untuk
akademisku. Aku ingin meraih Mumtaz di sisa tahun ini.
Saat ujian berlangsung, aku
terlihat agak santai dari tahun sebelumnya. Karena buku diktat kuliah sebagian
sudah aku habiskan. Aku sudah mempelajarinya jauh-jauh hari. Saat masa ujian
aku mengulangi beberapa bab yang mungkin terlupa. Aku melihat sekelilingku,
teman-teman seperti kesulitan karena tak terlalu siap menghadapi ujian.
Hari itu, saat ujian berlangsung,
masjid asrama tiba tiba penuh sampai keluar. Di hari-hari biasa begitu sepi. Mungkin
hanya terisi beberapa shaf, tak sampai keluar masjid. Di hari itu, aku
tak lupa mendoakan teman-temanku agar lulus ujian. Karena malaikat akan
mendoakan kita hal yang serupa saat kita mendoakan orang lain.
Dan hasil ujian pun keluar, aku
tak lulus. Hatiku perih. Aku tanya kenapa, namun aku belum menemukan jawabannya
sampai sekarang. Logikaku saat ini tak mampu memecahkan “arti” di balik semua
ini.
Di tahun pertama dan kedua, saat
aku jarang masuk kuliah, jarang mencatat penjelasan dosen, dan tak pernah
belajar kecuali malam sebelum ujian, namun, Allah memberikan aku kelulusan.
Namun, saat ini, saat aku
berkorban menanggalkan semua organisasi, saat aku sering ke kuliah dan mencatat
penjelasan dosen, saat aku mulai menyukai universitasku, saat aku dengan tulus
mendo’akan kelulusan teman-temanku, saat aku mempunyai tujuan untuk meraih
nilai sempurna. Allah mengujiku.
Begitu berat aku menerimanya. Kenapa
begitu terbalik? Kenapa saat aku berusaha lebih, Allah malah berkata
sebaliknya?
Hari ini, saat aku mengunjungi
kuliah, aku tak lagi merasakan kesenangan yang aku alami sebelumnya. Mungkin,
aku mengalami trauma. Melangkahkan kaki di kuliah begitu memberi beban bagi
mentalku.
Entah apa yang Allah ingin
tunjukkan kepadaku, kali ini . . .
Posting Komentar