Kamis, 23 – Februari – 2012
Pendaftaran English Debate Contest ditutup saat adzan
berkumandang. Perasaan was-was masih meresahkanku. Aku menelpon Kheloud jam
setengah sebelas. “aku masih di Ramses, aku membawa temanku, mungkin satu jam
lagi akan tiba.”
Aku duduk sambil mendengarkan lagu. Dan sedikit membaca
majalah yang aku beli beberapa waktu yang lalu. Meski sudah setahun lewat,
majalah itu masih saja membahas tentang Revolusi. Meski begitu, isi majalah itu
sedikit membantuku. Karena teman babak penyisihan kita tentang revolusi.
Jam sebelas lebih, ponselku bordering, “Zein kami sudah di
Rab’ah, mungkin lima menit lagi kami sampai. Bisa tidak menunggu di depan
tempat pendaftaran?” aku menyanggupi dan segera aku bangunkan tubuhku dari
tempat duduk. Dan segera menuju gerbang. Lima menit aku menunggu, aku
perhatikan kedua persimpangan jalan yang mengarah ke tempat pendaftaran. Tetapi
tak juga aku temukan sosok mereka. Sepuluh menit pun terlewat, aku mulai
khawatir mereka tersesat. Aku telepon lagi Kheloud. “Zein maaf lama, tunggu
saja di depan gerbang, kami tahu kok jalannya.”
Aku mulai tak memperhatikan jam lagi, karena semakin dilihat
perasaan khawatir semakin menderu. Aku biarkan anginberhembus melewati waktu.
Berjalan tanpa ada perasaan khawatir menunggu.
Sosok dua gadis berjilbab berjalan menghampiriku. Aku
menghampirinya. Atau lebih tepatnya, Kheloud yang memintaku menghampiri mereka.
Dia memperkenalkan aku dengan teman Taiwan-nya, Echo Lin namanya. Wajahnya masih tertutup masker putih dan
matanya masih memakai kacamata hitam besar. Awalnya Kheloud ingin mengajak teman
Jepangnya, tapi entah kenapa tidak jadi. Digantikan oleh teman Taiwan-nya.
Tak lama, dia membuka kacamata dan maskernya.
Allah…kecantikannya memancar, membuat bunga-bunga iri tuk menatapnya. Kulit
putih yang dibalut dengan jilbab putih semakin menambah keanggunannya. Mata dan
wajah sayu-nya menambah kehormatannya sebagai seorang perempuan. Sepanjang aku
bersamanya dia selalu mencoba menjaga dan menundukkan pandangannya,
Aku menemani mereka ke meja pendaftaran. Di sepanjang
perjalanan, semua orang terheran-heran melihat ke arah kami. Aku tak menghiraukan.
Dan aku yakin Kheloud dan Lin pun tak memperdulikannya.
Masih di dalam ruang pendaftaran. Beberapa perempuan melihat
ke arahku. aku tak menyadarinya, saat aku bertemu pandang dengan mereka, aku
alihkan pandanganku ke arah lain. Mungkin mereka masih heran dan takjub,
bagaimana bisa aku berjalan bersama orang Taiwan dan Mesir.
Salah seorang panitia bertanya kepada mereka, darimana
mereka mengetahui lomba ini, “apa dari temanmu? (sambil menunjuk ke arahku) “
dengan senyuman Kheloud berkata “Dia Teman TERBAIKKU”. Hampir semua orang
menyoraki kami. Mereka berpikir “teman terbaik” itu “kekasih”. Aku Cuma
tersenyum.
Malam
Menjelang
Kheloud menelponku. Bertanya tentang peraturan perlombaan.
Karena saat Technical Meeting Kheloud sakit kepala dan meminta izin
kepadaku. Di tengah pertemuan aku memintakan izin kepada panitia. Kembali beberapa teman terheran dan menanyakan
kepadaku perihal mereka.
“Zein…saat aku bilang kamu teman terbaikku, kenapa mereka
tertawa.?”
Aku tesentak, jawaban apa yang harus aku beri kepadanya?
“emm…soalnya tidak biasa seorang berkebangsaan Indonesia
mempunyai teman dari luar negeri”, karangku.
“tapi kamu benar-benar teman Indonesia terbaikku Zein…”
Aku tersenyum mendengar ungkapan itu di balik telepon.
Usai menerjemahkan peraturan lomba, aku kirim k e-mail
Kheloud dan facebook Echo Lin. Sempat aku melihat profil Lin. Dia sedang berusaha
menerangkan islam kepada keluarganya. “aku ingin memberi cahaya kepada
keluargaku. Mereka jauh dari reliji.
Mungkin itu alasannya selalu menatap sayu. Banyak hal
terkandung dalam diamnya. Apa keluarganya menjauhinya? Atau jangan-jangan dia
muallaf dan diusir keluarganya? Allah…semoga tidak. Aku turut memberi do’a
kepadamu Lin. Balasan-balasannya yang santu semakin membuatku kagum kepadanya.
Allah…lindungilah saudaraku ini Ya Allah….
Zhie
Posting Komentar