Sebutir Cahaya di Ruang Ujian


Ahad, 12 Mei 2013


"Permisi, tahukah dimana tempat ujian takhalluf?" seorang pria berkulit hitam berkaos putih bertanya. saat itu aku tengah duduk di bawah tangga, bergumul dengan buku diktat kuliahku. aku memberhentikan bacaanku dan menggelengkan kepala pada pemuda itu.

di sinlah aku bersama pelajar lainnya. melaksanakan ujian. yang kami hadapi saat ini bukan ujian formal. namun ujian ulang mata kuliah yang bernilai di bawah standar. tahun kemarin aku tertinggal dua mata kuliah. hampir saja. kalau aku tertinggal tiga mata kuliah, aku harus mengulang di tahun yang sama.

entah apa yang terjadi waktu itu kenapa sampai nilaiku serendah itu. sakitkah? sehingga tak mampu belajar dengan baik. ataukah karena aku terlalu melalaikan waktuku?

di mata kuliah itu, dosenku  hanya memberi kelululusan pada 15% mahasiswanya. keren dan serem bukan? dan akulah salah satu korbannya. dan hanya empat orang mahasiswa Indonesia yang lolos. orang Mesirpun banyak yang tak lulus di mata kuliah itu.

dan di sinilah untuk pertama kalinya berada di tempat ujian takhalluf. sebelumnya aku tak pernah merasakan hal seperti ini. duduk bersama orang-orang yang sama-sama mengalami kegagalan. jika di ujian formal, ruang antara pelajar Mesir dan pelajar asing dipisah. namun kali ini, aku duduk di antara para pelajar Mesir.

dan aku mendapat pengalaman baru saat duduk bersama orang Mesir. saat aku khusyuk mengerjakan ujianku, aku sempat melirik lembar jawaban pelajar yang duduk di samping kiriku. bukan untuk menyontek lho, aku anti dengan menyontek. sejak TK sampai ke bangku kuliah, sekali pun aku tak pernah menyontek. orang tuaku menanamkan paham anti-menyontek itu sejak kecil, sehingga terbawa sampai sekarang.

aku melirik dari jauh lembar jawaban pemuda di sampingku. aku ingin tahu sudah berapa lembar dia mengerjakan soal. karena hal itu bisa memberi motivasi padaku. jika aku merasa tertinggal jauh, otakku akan berpikir semakin cepat untuk tak mau ketinggalan. dan aku terkaget, pemuda itu baru menulis beberapa baris, sementara aku hampir menyelesaikan essay satu halaman besar. aku melirik pelajar Mesir di depanku ternyata lebih parah dari orang di sebelahku. lembar jawabannya diloncati satu baris dengan tulisan besar berjarak renggang. memberi kesan tidak niat menulis dan ingin lembar jawabannya terlihat penuh.

awalnya aku kira, orang Mesir lebih bagus dalam mengerjakan ujian. karena bahasa Arab adalah bahasa mereka sehari-hari. namun ternyata tidak. justru pelajar asing lah yang lebih bagus.

aku kira, para pemuda Mesir begitu baik dalam hal Nahwu Sharaf (ilmu tata bahasa dalam bahasa Arab). namun ternyata tidak. terkadang pertanyataan-pernyataan mudah (tingkat anak SMP di Indo) mereka tak tahu dan bertanya pada dosen. membaca kitab gundul pun mereka masih belepotan (aku juga sih sebenarnya, Ahahaha). para pelajar Mesir malah sering bertanya Nahwu-Sharaf kepada kita.

dan aku kira tulisan orang Mesir begitu bagus karena sudah terbiasa menulis bahasa Arab. ternyata tidak. tulisan mereka seperti cakar ayam. para dosen terkejut melihat tulisan sederhana kami. "Wah! tulisannya bagus sekali? seperti tulisan keyboard komputer!" kami tersenyum.


*******


seorang pemuda berwajah ke-Arab-an masuk. ada seseorang memeganginya. aku terheran. dia selalu memendang ke atas. dia selalu tersenyum.

awalnya dia duduk di belakangku, namun tanpa kau sadari dia sudah duduk di depanku di kursi khusus ditemani seorang pemuda. saat pertama kali, aku tak begitu mempedulikannya, karena perhatianku terfokus pada lembar ujianku. namun di saat terakhir, saat lembar jawabanku hampir semua terisi, aku menyadari bahwa pemuda itu buta. pemuda yang duduk di sampingnya membacakan soal. dan dia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu yang kemudian ditulis oleh si pembaca soal.

pemuda itu memiliki keinginan yang begitu kuat. ingin tetap menghadiri ujian walau dengan keadaan itu. selalu memandang gelap tiap harinya. dan selalu merindukan cahaya. namun tak pernah mengutuk keadaan. dan selalu tersenyum.

0 Responses

Posting Komentar

abcs