Kesederhanaan Dalam Do'a

Kamis, 24-Februari-2011

Ponselku berdering, ibu…..suara ibu terdengar disana, Allah….

Beliau langsung menanyakan kesehatanku, aku katakana baik-baik saja, beliau menanyakan tentang dana yang di berikan pemerintah kepada kami, berapa banyak? Aku mengatakan kalau di rupiahkan sekitar lima ratus ribu rupiah, beliau senang mendegarnya, katanya lumayan, banyak. Allah…..

Aku terenyuh saat ibu mengatakan dana lima ratus ribu itu sudah banyak, menandakan sangat miskinnya kita saat ini. Dulu saat aku masih sekolah SMP, pasti ibu akan bilang, Lima ratus ribu? Kok sedikit sekali, sekarang kami tidak bisa bilang seperti itu lagi.

Manusia tidak selalu ada di atas, aku menyadarinya, maka dari itu, tidak ada perlunya kita menyombongkan diri.

Sejak lulus dari SMA, aku di tawari beberapa kali oleh keluargaku untuk kuliah di Indonesia, aku tidak mau. Melihat ekonomi keluargaku saat itu. Aku tidak ingin menguras uang keluargaku, meski demi pendidikan. Aku akan buktikan kalau kuliah di luar negeri itu lebih berkualitas dan lebih murah, meski harus menunggu lama.

Dan akhirnya, Allah memberikan secercah cahanya kepadaku. Aku bisa menapakkan kaki di negeri ini, tidak perlu membayar kos atau tempat tinggal, makanan gratis dan dapat beasiswa tiap bulan meski jauh dari cukup. Aku juga berusaha kerja part-time untuk menambal biaya kekuranganku.

Entah bisa atau tidak, aku ingin berusaha sampai akhir, sejak aku menapakkan kaki di tanah ini aku berharap tidak ada sepeser uang pun yang aku terima dari keluargaku, aku ingin mandiri, aku tidak ingin menyusahkan keluargaku lagi.

Terkadang ibu menyampaikan kata-kata kakak-ku, yang mengatakan aku disini niat belajar atau kerja? Aku katakan, keduanya. Aku disini tidak ingin mencari harta benda semata. Aku pilih kerja sambilan yang tidak mengganggu pelajaranku. Ini juga pembelajaran bagiku. Aku menyadari, setelah aku lulus nanti, aku pasti menikah dan memberi nafkah pada keluargaku. Jika tidak dimulai dari sekarang, selamanya aku tidak akan mandiri, dan aku tidak mau terus tergantung kepada keluargaku. Memalukan jika sebagai kepala keluarga, kita bersandar kepada orang lain, seharusnya kitalah yang menjadi sandaran.

*******

Ibu melanjutkan bicaranya lewat telepon, memberitahukan kepadaku Ayah mas Agus meninggal Senin lalu. Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji’un……..

Ayah beliau meninggal di pembaringan, usai mengimami sholat Isya’. Meninggal dengan tenang, sempat beliau mengucapkan dzikir sebelum beliau berbaring. Allah….. aku yakin beliau Khusnul Khotimah. Semoga….Amiiin….

Dan….berita menyedihkan lagi, dua keponakan kecilku, Rifky dan Afra jatuh sakit, Allah……amat berat cobaan yang di alami keluargaku di Indonesia, berikan mereka ketegaran dan kesabaran ya Allah….

Dan seuntai do’a aku lantunkan untuk dua mutiara kecilku, aku sangat berharap mereka bisa tersenyum kembali, berlari dan mengeluarkan celotehan lucu mereka, menerangi hati-hati yang tengah kelam.

Zhie

0 Responses

Posting Komentar

abcs