Rabu, 8 Agustus 2012
Saat membaca judul ini, mungkin sebagian orang akan berpikir
aku sudah mengkhitbah atau melamar Mariam. Sebelum rasa kecewa menghinggapi
diri pembaca, aku katakan bahwa tulisan ini bukan bercerita tentang hal itu.
Aku hanya ingin menumpahkan kekecewaanku kepada orang-orang terdekatku
yang terkadang belum mengerti aku. Saat aku berbicara lewat telepon salah satu
keluargaku berkata, “Bagaimana Mariam? Sudah ditembak?” seketika itu juga aku
muak dan jijik mendengar kata-kata itu(maaf).
Hal itu pun terjadi sebelumnya, saat aku dekat dengan
Kheloud tiba-tiba ada sms dari salah seorang keluargaku, “Kheloud sudah
ditembak?” aku langsung melempar ponselku ke kasur dan aku hapus segera.
Kata-kata itu sungguh membuatku jijik(maaf). Bagaimana mungkin prinsip
keluargaku sudah seperti ini? Bukan prinsip islami yang kini menghiasi kami.
Mereka menghalalkan pacaran yang sudah jelas-jelas dilarang
agama. Bukankah ayat al-qur’an dan hadits nabi melarang keras untuk berpacaran?
Jika kedua hal itu saja mereka tinggalkan, kepada apa lagi mereka berpedoman
menjalankan agama ini.
Aku teringat kejadian beberapa tahun yang lalu saat aku
masih di Indonesia. Ibu berkata,” ini dari siapa, dari pacarmu ya din?” Astaghfirullah..!!
ingin rasanya aku menegur orang yang membesarkanku itu, namun kenapa aku tak
mampu?
Ibu seolah-olah menghalalkan pacaran dan begitu senang jika
aku mempunyai pacar. Aku sedih. Bahkan ibu pun mempunyai pikiran seperti itu. Seolah
perjuanganku untuk tidak pacaran tiada artinya.
Jika aku mau, aku sudah pacaran berkali-kali dan mantanku
sudah tersebar dimana-mana. Sudah banyak perempuan yang PDKT denganku mulai
mengirimi salam sampai secara terang-terangan mengatakan suka lewat sms dan
surat. Namun aku tetap teguh menjaga prinsipku, aku tidak ingin pacaran
sekalipun. aku tidak ingin melawan syariat Allah.
Aku akui sungguh berat untuk tidak pacaran. Saat melihat
orang pacaran kita juga ingin merasakannya. Saat mengetahui perempuan-perempuan
dihadapan kita secara terang-terangan menyatakan suka. Tinggal satu langkah
lagi kita bisa pacaran namun aku menolak dengan alasan syariat. Rasa menyesal
ini… pasti akan digantikan oleh Allah nantinya dengan keindahan.
Apa yang membuatku bertahan untuk tidak berpacaran sampai
saat ini? Tentu saja karena istri masa depanku. Aku ingin orang yang menjadi
kekasih pertamaku adalah istriku, aku ingin menyerahkan seluruh diriku hanya
untuk istriku.
Aku tak ingin suatu hari nanti tiba-tiba aku mulai
merindukan mantan, dan membanding-bandingkan antara istri dan mantan-mantanku. Kalian tahu?
Hal itu sungguh menyakitkan hati perempuan. Aku tak ingin melakukannya. Maka satu-satunya
cara menghindari hal itu adalah TIDAK PACARAN. Jika kita tidak pernah pacaran
bagaimana mungkin kita membanding-bandingkan istri kita dengan mantan-mantan
kita?
*******
“Lha terus kalau belum ditembak statusnya belum jelas
donk?” lagi-lagi pertanyaan membuat diriku muak.
Di dalam agama kita status itu ada tiga: Lajang, menikah,
dan duda/janda. Tidak ada dalam kamus agama kita status berpacaran.
Jika mereka berpikir tanpa adanya status, orang yang kita
kasihi akan lenyap atau lari ke pelukan orang lain, toh meski dengan pacaran
tidak menutup kemungkinan pasangan kita akan lari ke pelukan orang lain bukan?
Perasaan cinta kepada Mariam ini, aku tak ingin menodainya. Aku
tak ingin mengotorinya dengan pacaran, dengan sesuatu yang dilarang al-qur’an
dan hadits. Aku ingin mensucikan rasa cinta ini. Aku ingin mencintainya dengan
cara benar, dengan cara yang dihalalkan oleh Allah, yaitu dengan mengkhitbahnya
dan menikahinya.
*******
Sekarang aku baru mengetahui bagaimana rasanya menjadi
seorang lelaki yang ingin melamar perempuan. Selalu terbayang wajah “mengerikan”
kedua orang tuanya. Dan selalu terbayang penolakan dari kedua orang tuanya. Hal
ini yang membuat si lelaki selalu menunda berkunjung ke rumah orang tua si
perempuan.
Dan beruntungnya Mariam memperkenalkan aku dengan
keluarganya. Sehingga rasa takut menghadapi orang tua lenyap sudah. Aku tidak
tahu secara mendetail bagaimana kronologi keluarganya sampai mau meluangkan
waktunya untukku. Apa mungkin Mariam cerita panjang lebar tentang diriku kepada
orang tuanya? Sehingga mereka penasaran dengan sosokku?
Untuk cuprit (jika membaca
tulisan ini), mungkin S juga mengalami apa yang aku rasakan. Takut membayangkan
sikap dan penolakan dari orang tuamu, padahal belum tentu kan orang tuamu
seperti itu.
Mungkin kamu bisa memakai cara
Mariam. Kamu cerita tentang S kepada orang tuamu. Sedikit banyaknya orang tuamu
pasti penasaran dan ingin melihat sosok S.
ini salah satu cara untuk
menanamkan kepercaya diri kepada S dan cukup membantu S menentukan langkah
selanjutnya dengan segera. Kalau rasa nyaman sudah terjalin antara S dan
keluargamu, dia akan semakin mudah
menentukan langkah. Insha Allah.
*******
Dan… saat satu keraguan musnah, timbul keraguan yang lain. Saat
bayang wajah dan penolakan dari orang tua Mariam lenyap di benakku, timbul
keraguan yang lain. Apakah orang tuanya rela melepas anaknya kepadaku?
Meski mereka begitu ramah kepadaku dan mereka menganggapku
sebagai anak mereka, namun apakah mereka rela menjadikan aku sebagai suami
Mariam? Orang seperti aku yang pengetahuan agamanya masih rendah, yang menghidupi
diri sendiri saja masih sulit. Mereka pasti tidak tega melihat Mariam hidup
dalam kemiskinan. Apalagi Mariam adalah seorang calon dokter gigi, tentu aku
sebagai seorang suami harus mensupport dia, harus bisa mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya, harus menyekolahkan dia sampai jenjang yang
paling tinggi.
Rasa percaya diriku sedikit memudar, namun aku tetap pasrah
kepada Allah. Dia yang maha membolak-balikkan hati. Dia yang Maha Pemberi
Rizky. Jika Mariam adalah perempuan yang terbaik menurutMu Ya Allah, jika dia perempuan
yang membuatku dekat kepadaMu Ya Allah. Jadikanlah dia pasangan hidupku ya
Allah… terangilah jalan pernikahan kami. Amiin.
Zhie