Birokrasi yang Mengesalkan



Senin, 17 September 2012

Tanganku memilin helain kertas yang masih hangat. Mesin berbentuk kubus bernama photo copy membuat benda tipis keputihan itu terasa hangat. Hari ini aku mengurus visa, dan menyiapkan beberapa berkas untuk syarat perpanjangan.

Suasana ruang jawazat(kantor pengurusan Visa) tidak seperti bisaanya, begitu sepi dan hening. Mungkin ini salah satu karunia Allah kepadaku, visaku habis awal bulan Oktober. Hari dimana kantor jawazat begitu senyap.

Aku memandang miris teman-teman yang visanya mati di bulan Desember. Kantor jawazat begitu membludak. Mereka harus rela mengantre mulai jam 12 malam di depan kantor berpintu gerbang besi itu.

Keluhan demi keluhan kerap kali kudengar dari bibir teman-temanku. Mereka yang sejak pagi mengantre harus rela pulang dengan hati teriris karena panjangnya antrean.

Hhhh… hal ini yang aku benci dari Mesir. Birokrasi yang begitu lamban dan kekanakan. Para pegawainya tidak begitu memperhatikan perasaan para pengunjung. Terkadang kita sudah lama mengantre si pegawai dengan santainya makan dan membuat teh di luar jam istirahat. Mending kalau mereka makan sambil kerja, lha ini pengurusan diberhentikan secara tiba-tiba. Masa kita harus menunggu mereka makan?.

Belum lagi di tengah pekerjaan mereka bercanda bersama pegawai di sampingnya. Mereka tidak tahu apa antrean sudah panjang sampai di luar kantor jawazat? Mending kalau bercanda sambil bekerja, lha ini seluruh anggota tubuhnya fokus kepada bualan gombal mereka. Tentu kita yang mengantre sakit hati. Pegawai macam apa ini? Bagaimana Mesir bisa maju kalau orang-orangnya seperti ini? Mereka tidak kasihan apa kepada para pengunjung yang sudah mengantre sejak sebelum subuh?

Sering teman-temanku yang tinggal di luar menginap ke asrama kami demi mengantre di Jawazat. Dan mereka yang tidak punya kenalan di asrama, tidur berselimut dingin di luar kantor jawazat. Apa para pegawai Mesir tidak punya hati melihat itu semua? Mentang-mentang tidak pernah mengurusi visa mereka bekerja begitu lamban. Terkadang pengurusan diberhentikan tanpa alas an yang jelas. Mereka yang sudah mengantre sejak lama terpukul karena harus mengantre kembali hari berikutnya.


Ku langkahkan kaki ini ke ruangan bersekat kaca. Kaca bertuliskan Khazinah 6 itu terlihat cukup bersih. Aku bisa melihat para pekerja lewat kaca transparan itu. Ada yang mengobrol, ada yang fokus kepada kertas-kertas dan ada yang mondar-mandir.  Cuma dua orang Indonesia yang Nampak hari ini, aku dan seorang lelaki yang mungkin dari kota Madura, karena aku sempat melirik profil yang dia tulis di lembaran kertas permohonan perpanjangan visa.


Saat pemuda dari Madura itu pergi, aku maju selangkah dan menyodorkan berkas-berkas ke lubang kecil yang ada di dinding kaca itu. Dengan isyarat sang pegawai memintaku untuk menunggu dia makan. Untung aku bisa bersabar karena antrean Cuma sedikit dan suasana begitu sunyi.

Aku pandangi wajah pegawai itu. Dengan muka tanpa bersalahnya dia melahap roti kasar isy yang berisi ketang goring dan sayur-sayuran mentah. Tiba-tiba aku teringat ibu-ibu gendut yang bisaa mengurusi di pintu pojok. Aku sempat melihat di pintu pojok namun tak bisa aku temukan sosok berbadan gemuk itu. Aku mencoba mengintip ke dalam ruangan namun ada beberapa ibu-ibu berbadan gemuk. Aku lupa seperti apa wajahnya.

Aku teringat si ibu berbadan gemuk itu sering memanfaatkan posisinya di hadapan kita. Terkadang dia tidak mau mengurusi visa kita sampai kita membelikannya makanan untuknya. Sahabat dekatku, Rijalul Fikri salah satu korbannya. Sakit hati ini melihatnya. Kalau visa bukan hal yang sangat penting bagi kita, tentu kita akan menolak mentah-mentah dan menceramahi habis-habisan para pegawai itu.

Hhh… begitu kolotnya Negara ini. Aku baru menyadari ada hal semacam ini di dunia yang elok ini.

Zhie
0 Responses

Posting Komentar

abcs