Yang Terlahir


Ahad, 14 oktober 2012

Allah... mendengarnya membuatku ingin segera memilik bayi. kisahnya saat mendengar suara tangis bayinya untuk pertama kali. kekhawatiran saat melihat  sosok bayi di hadapannya, pertama kali sosok mungil itu tampil dihadapannya dia langsung mengecek jumlah semua jari kaki dan jari tangannya, dan rasa syukur tak terkira saat semua jemari itu lengkap. bagaimana hati sang ayah saat darah dagingnya cuma berjari empat? aku tak bisa membayangkan perihnya.

malam ini aku dan teman-teman menjenguk senior kita yang melahirkan jum'at lalu. bercerita panjang lebar tentang pengalamannya. membandingkan rumah sakit Indonesia dan rumah sakit Mesir. dia berkata, "rumah sakit Indonesia terlalu lebay, harus bayar ini-itu, bayar penginapan yang berhari-hari, bayar biaya persalinan, biaya konsultasi, dan lain-lain. mungkin jika ditotal habis lebih dari sepuluh juta. kalau di Mesir, semua biaya cuma satu setengah juta."

"keluarga saya di Indonesia kaget, "Haaah!! Rumah sakit apa itu?" saya hanya tertawa dan berkata kalau rumah sakit di Mesir lebih murah dan peralatannya lebih canggih, ungkap pemuda asal Sulawesi itu."

"saat sudah memiliki anak, ingin rasanya cepat-cepat pulang kerja, ingin melihat si bayi. kalau dibilang khawatir juga iya, senang juga iya saat melihat bayi kita sendiri. dan istri nomor kesekian. prioritas utama dalah si bayi. mungkin hampir semua ayah mengalami perasaan seperti itu."

dan beruntung mbak Ambar melahirkan anaknya secara lancar. dua jam setelah sampai di rumah sakit si bayi langsung terlahir. ini tidak lebih karena jasa suaminya juga. dia berkata, kalau di Indonesia mungkin surga di telapak kaki ibu memang ungkapan yang cocok. karena ada si nenek yang akan mengurus si bayi. atau ada bantuan dari keluarga si istri.

"namun di Mesir ini aku rasa surga ada di telapak kaki bapak juga. kita jauh dari orang tua, tak ada yang membantu, sangat berat. empat bulan pertama aku harus ada di sisi Ambar (istrinya), karena bulan pertama sampai bulan keempat adalah rawan keguguran."

"dokter tidak mengizinkannya untuk terlalu berat berjalan atau berbuat sesuatu yang membuat dirinya capek. tentunya dia harus sering-sering di kamar. aku harus membuat suasana di mana dia tidak bosan ada di rumah."

"terkadang di pagi buta dia menginginkan ubi bakar. di Mesir hampir tidak ada tukang ubi keliling di pagi buta. aku berlari dari ujung ke ujung mencari penjual ubi. aku tak ingin membuat Ambar lama menungguku. aku ingin segera kembali di sampingnya. namun setelah sekian lama berlari tak kutemukan juga si penjual ubi. dan beruntungnya ada satu penjual ubu mentah. aku beli dan aku rebus sendiri."

"menginjak bulan lima ke atas, aku sering-sering mengajaknya berjalan untu memperlancar persalinan. karena bulan-bulan itu adalah titik aman, jadi aku mulai memberanikan diri mengajaknya berjalan. dan alhamdulillah proses bersalinnya begitu lancar."

tangan berotot itu masih menimang bayi mungil seberat tiga kilo itu. saat melihat bayi itu ditimang, pikiranku kemana-mana. aku juga ingin memiliki bayi, bayi dari rahim Mariam. mendengar kisah dan pengalamannya begitu berat, namun seolah aku sudah siap mental untuk menjaga Mariam dan bayi kita sepenuh hati.

seorang pengunjung bertanya, "bagaimana anda mempersatukan dua budaya yang berbeda? anda yang dari Sulawesi sementara Ambar dari Ponorogo, Jawa?"

"itu yang menjadi salah satu kendala saat itu. keluargaku menolah, 'mengapa sih harus orang jawa? padahal di sini banyak sepupumu dari Bugis.' ingin rasanya aku menjawab dengan dalil agama, namun aku rasa percuma jika menjelaskan dalil agama kepada mereka. aku harus menjawab pertanyaan mereka dengan logika. ' Jika kalian takut rumah tangga kita akan rusak karena perbedaan budaya. lihat keluargaku yang menikah dengan sepupu-sepupunya, toh mereka malah dari suku yang sama, namun tetap juga rumah tangga mereka ada yang cacat."

"aku kemudian ke rumah Ambar di Ponorogo. si Ambar bertanya 'apa yang akan kamu bicarakan saat bertemu orang tuaku nanti?' aku akan memperkenalkan diriku, sudah. kalau mereka menyuruh aku duduk ya aku duduk. Toh Allah akan mempermudah jalan kita Insha Allah.' "

"orang-orang di sekitarku berkata, 'menikah itu tidak main-main lho.' aku berkata kepada mereka bahwa untuk urusan menikah aku tidak pernah main-main. dalam hal ta'arruf dan melamar memang tidak aku rencanakan. aku langsung bertindak. kalau direncanakan lama-lama akan berat di otak dan berat juga di tenaga."

mendengar perkataannya jantungku berhenti berdetak. seolah aku menemukan jawabanku. akan lebih berat jika aku berlama-lama merencanakan kapan waktu yang tepat untuk melamar Mariam. mungkin akan semakin berat di mentalku jika aku terlalu lama menunggu. tinggal melakukan dengan segera dan memasrahkan diri kepada Allah.

Zhie
0 Responses

Posting Komentar

abcs