Dering Pembawa Kehangatan


Selasa, 2 April 2013


Pagi ini aku terbangun agak siang dan tertinggal tuk shalat di masjid. Sebenarnya alarm ponsel temanku sudah berdering saat adzan subuh berkumandang. Namun di dalam hatiku berkata, “Ah, baru adzan. Tidur lima menit lagi.” Dan ini lah hasilnya. Aku harus merugi karena tak melaksanakan ibadahku di masjid. Namun beruntungnya fajar belum meninggalkanku. Aku bergegas keluar kamar dan berwudlu.

Aku memasuki kamar usai membasahi diri dengan air wudlu. Kamarku kecil. Memasuki pintu di samping kanan ada lemari berjejer tiga. Lemarinya terbuat dari tembok, bukan kayu. Di samping kanan ada rak kayu buatan  kita sendiri. Dua tahun lalu kita membeli  bahan kayu dan membuatnya ala kadarnya. Jadilah rak bertingkat lima memanjang. Rak paling atas aku tempati buku berbahasa inggris dan buku berbahasa indonesia. Rak kedua aku penuhi dengan majalah. Mulai majalah berbahasa arab sampai berbahasa inggris. Mulai majalah remaja, politik sampai majalah hijab fashion. Haha aku sengaja beli majalah hijab fashion untuk menunjukkan model berjilbab orang timur tengah kepada mbak, sepupu dan bibiku di Indonesia nanti. Rak ketiga berisikan buku diktat kuliah. Rak keempat buku berbahasa arab. Rak keempat berisi makalah, koran dan arsip-arsip yang pernah ku anggap penting.

Aku gelar sajadah berwarna hijau dan kulaksanakan shalat dengan takzim. Kupanjatkan do’a pelan di dalam sanubari. Lantas berdiri mengambil buku di dalam rak ke tiga di samping kananku. Aku mengambil pensil di dalam tasku, tasku tergelatak di atas kursi samping rak.

Aku mulai duduk di atas lantai dan meletakkan buku diktatku di atas meja kayu bulat berwarna coklat. Aku membuka laptopku yang sedari dulu mendekam di atas meja ini. Aku buka satu dua lembar kemudian tanpa terasa ada suara ponsel berbunyi. Suaranya khas, itu suara ringtone ponselku! Aku mencari tahu asal suara itu, ternyata ponselku tergeletak di belakang laptop. Kulihat kaca ponsel yang pecah separuh itu, tak ada nama yang muncul. Kemungkinan ini nomor baru. Mungkinkah dari keluarga Indonesia. Karena setiap keluarga dari Indonesia menelpon selalu muncul nomor baru.

Aku membuka ponsel itu tanpa ragu, terdengar suara lelaki Mesir bernada tinggi. “Assalamu’alaikum Zain”

Jantungku tiba-tiba berdegup keras dan bertanya di dalam hati, “siapa ini? Kenapa tahu namaku?”
“Ini Abdul Halim.”

Pikiranku mencoba mencari seperti Abdul Halim ini. Karena aku mempunya beberapa teman bernama yang sama. Kemudian, melihat kualitas suara dari si penelpon, rasa cemas itu berubah. Ini Baba!
Kemudian bapak itu melanjutkan, “Ini Papanya Mariam.”

Benar dugaanku, aku langsung bertanya kabar. Namun dipikiranku masih bertanya, ada apa gerangan menelponku sepagi ini. Aku melihat jam di laptop, masih setengah enam pagi.

Ternyata Baba hanya menanyakan kabarku. Setelah mendengar jawabanku, terdengar suara lirih, “Ambil telepon ini, Mariam.”

Kemudian besar Baba berganti suara Mariam yang sangat lembut. “Bagaimana kabarmu, Zain?” aku membayangkan wajah Mariam sedang tersenyum malu-malu di balik telepon itu. “Saya hanya ingin tahu kabarmu.” Ah, hatiku langsung menghangat.

Pagi ini begitu indah, mendapat telepon dari Mariam dan keluarganya. Mungkin ini pertama kalinya mereka menelpon sepagi ini setelah beberapa bulan yang lalu. Mungkin mereka sedang mengujiku apakah aku terbangun di pagi buta, atau masih terlelap di atas kasurnya. Memastikan cocokkah aku menjadi keluarganya.

Aku beruntung ponselku tidak aku silent. Karena aku terbiasa mensilent ponsleku di kuliah dan lupa mengembalikannya pada setting normal. Beruntung juga aku masih terbangun dan melaksanakan sholat subuh sebelum matahari terbit. Semuanya berjalan mulus, seperti sudah disetting oleh Allah. Terima kasih Ya Allah.


0 Responses

Posting Komentar

abcs