Tiga bulan lalu, kita pertama kali bertemu,
tepatnya saat cosplay event. Kemudian kita berteman di internet. Namun tak
saling sapa. Dan beberapa hari lalu aku memutuskan untuk memulai pembicaraan.
Dan tak disangka orangnya asyik
diajak bicara. Selalu membalas dengan deretan kata yang panjang. Kita sama-sama
tak kenal nama, hanya kenal wajah. Dan mulailah kita saling tukar nama. Saat dia
menyebutkan namanya Alaa, ada perasaan aneh yang menghinggapiku.
Sebelum keanehanku membuncah. Dia dengan
sigap berkata, “Aku sangat bersyukur jika kamu tidak memanggilku nama itu,
karena aku benci nama itu.” Dan perasaan aneh itu terjawab sudah.
Seorang gadis yang terlahir dengan nama
lelaki. Sempat aku berpikir dan canggung, “Alaa kan nama lelaki di Mesir,
kenapa perempuan ini bernama Alaa?” aku mengerti alasan ketidaksukaannya pada
nama itu. Tentu sejak kecil banyak teman yang mengejek. Menyakiti hatinya. Menyayat
sanubarinya.
Di kehidupan nyataku, hal itu
terjadi. Mulai TK sampai SMA selalu ada hal seperti ini. aku melihat teman
perempuan menangis karena menyandang nama lelaki. Bertubi-tubi disakiti teman
sebayanya. Begitu juga sebaliknya. Hal serupa terjadi pada teman lelakiku yang
menyandang nama perempuan.
Saat itu aku tak bisa berbuat
banyak. Aku tak bisa menjadi seseorang sok pahlawan yang ingin menghapus air
mata itu. Terkadang membiarkan seseorang sendiri itu hal yang bijak. Aku hanya
memandangnya di balik dinding. Mendengarkan isak tangisnya. Saat bibir tak bisa
lagi mengeluarkan kata, dengan air matalah kata itu berbicara.
Gadis berbola mata biru itu
melanjutkan berbicara,“Lebih buruknya lagi, saat aku membayar kuliah, membayar
biaya internet, dan membayar beberapa biaya di masing-masing tempat, yang
tertulis di sana adalah ‘Tuan Alaa’.”
“Dan lagi, saat aku melamar
pekerjaan, pihak perusahaan menelponku, mendengar suaraku pihak perusahaan
berkata,” Apakah Anda istrinya?”
“Tidak, saya belum menikah kok.”
“Kami mencari tuan Alaa yang
mengirim surat lamaran.”
“Bukan tuan tapi nyonya. Bukankah tertulis
di surat lamaran itu kalau saya seorang perempuan?
“Oh, maaf. Kami kira Anda seseorang
lelaki.”
Dan mulai saat itulah, aku sangat
membenci nama ini.
Aku sangat mengerti perasaannya,
karena melihat sebagian temanku di Indonesia mengalami hal serupa. Aku merasakan
sedihnya memiliki nama itu. Mungkin saat itu para orang tua tak berpikir hal
ini sangat berdampak besar pada anak mereka.
Dan Seandainya lingkungan lebih
mengerti perasaan. Air mata gadis pirang itu mungkin tak akan menetes. Di balik
sosok cantik, selalu ada rasa sakit yang tersimpan. Dan kini, aku memanggilnya
Juvia. Aku ingin membantunya melupakan nama Alaa yang dibencinya.
Note : Kok aku tahu kalau dia
berambut pirang, padahal dia berjilbab? Hayoo . . . eits.. jangan salah paham
yaa. Aku melihat foto masa kecilnya. Sosok gadis mungil dengan mata biru dan
rambut pirang. Memang keindahan rambut pirangnya tertutupi oleh jilbab, namun
dengan itu wajahnya kian bercahaya.
Posting Komentar