Kamis, 8 Agustus 2013
Ini pertama
kalinya aku bisa melaksanakan sholat Eid di masjid Al-Azhar. Yaa, pertama kali.
Tahun lalu aku melaksanakannya di masjid asrama atau masjid lain.
Dan Ramadhan
ini, aku mengawalinya dengan sholat Tarawih di masjid Al-Azhar, dan mengakhiri
Ramadhan tahun ini pun dengan tarawih di sana.
Tiba-tiba aku teringat dua tahun silam. Selama Ramadhan, aku sekalipun
tak pernah sholat di masjid Al-Azhar. Karena perhatianku teralihkan dengan
masjid-masjid lain. Bagaimana mungkin, aku yang mahasiswa Al-Azhar tidak pernah sholat Tarawih di masjid
Al-Azhar. Tahun itu, aku sangat menyesalinya. Sangat!
Usai Sholat
Eid, terlihat banyak jamaah dari berbagai Negara. Mereka banyak mengambil
gambar. Dan ada anak kecil Turki lewat di depan kita, “LuuuccuuuuuUUUU!!* kita
tanpa sadar menarik anak itu dan berfoto bersamanya. Orang tuanya tertawa
melihat aksi kami, dan ikut mengabadikan momen itu dengan kameranya. Rasa bangga
memenuhi dada kami, kita serasa menjadi artis dadakan. Menjadi obyek kamera
beberapa orang asing.
Kami bergegas
kembali ke asrama, untuk berganti baju. Karena terlalu asyik berfoto ria,
karena sulit juga mencari kendaraan, kami sedikit terlambat sampai di asrama. Kami
akan menuju kedutaan Indonesia. Kunjungan rutin yang kami lakukan selama Idul Fitri
dan Idul Adha. Kami makan besar di sana. Bersama seluruh masyarakat Indo yang berjumlah
lebih dari 4000 orang dan para pejabat kedutaan.
Bis jemputan
menunggu di depan asrama. Aku dan teman sekamarku berjalan pelan menuju
gerbang. Aku memakai jubah abu-abu pemberian ibuku tiga tahun silam dengan sorban
yang aku lilit di leher. Penampilanku sama persis seperti Raja Iblis Piccolo.
Tahun
ini aku ingin tampil beda. Jika tahun lalu aku berpenampilan layaknya orang
kantoran dengan stelan kemeja yang necis. Kini aku ingin muncul di KBRI dengan jubah
dan sorban layaknya muslim golongan keras. Aku ingin tahu reaksi teman-teman di
sana. Aku yakin mereka tidak akan berhenti tertawa melihat penampilan “sholeh”ku.
Pintu gerbang
sudah mulai terlihat. Gerbang yang semula ramai oleh orang Indonesia, kini terlihat
sunyi. Hanya segelintir orang Indonesia yang nampak. Kami tertinggal bis. Bis tidak
mampu memuat kami semua. Sopir berjanji akan kembali dan memungut kita yang
tersisa.
Sepuluh
menit pertama kita masih sabar menunggu. Sepuluh menit kedua kita mulai
kehausan dan pergi ke kios depan membeli minum. Sepuluh menit ke-empat temanku
mulai ragu bis jemputan akan datang. Sepulu menit ke-lima beberapa orang
memutuskan untuk berangkat sendiri tanpa menunggu bis jemputan. Namun, aku dan
teman sekamarku, Fikri memutuskan untuk kembali ke asrama. Kita tidak mempunyai
gairah lagi untuk ke KBRI. Karena bisa dipastikan, saat kita datang orang-orang
pasti sudah pulang. Percuma bukan, mengunjungi KBRI tanpa bertemu orang yang
kita kenal.
Aku melirik
jam di ponsel, masih pukul 8 pagi. Aku dan Fikri membeli Indomie dan
sebotol air. dan tanpa kita sadari, bis jemputan sudah ada tepat di depan kita!
Orang Indonesia yang tersisa berlarian menuju bis. Kecuali kita.
“Fik, bagaimana? Ikut tidak?”
“Aduh, masa kita ke KBRI membawa mie bungkus seperti ini?”
Yup, kita tidak membawa ransel
maupun tas untuk memasukkan mie bungkus dan botol air besar. Kalau kita menaruh
barang itu ke kamar juga tidak mungkin, karena kamar kita jauh dari gerbang
utama. Dan terletak di lantai enam.
“Bagaimana?” Fikri bertanya kepadaku. Aku pun ragu dan
terdiam. Sangat memalukan berkunjung ke tempat para pejabat dengan membawa sebungkus
Indomie di tangan. Akhirnya kita memutuskan untuk kembali ke kamar dan
memasak mie instan.
Saat memasak,
kita terbayang teman-teman lain yang bisa memilih aneka makanan yang disediakan
KBRI. Kita berdua hanya memasak Indomie di kamar. Sendiri, tak ada
keramaian. Tidak ada canda tawa bertemu teman. Tapi . . . mengesankan! Baru pertama
kali ini aku cuma makan Indomie saat Idul Fitri. Tanpa dihiasi makanan
mewah apapun.
Posting Komentar