Sebenarnya, aku ingin menulis ini
secepat mungkin saat mendengar berita menyedihkan ini. Namun, entah kenapa
tangan dan jiwaku tak kuasa menulis ini. Dan sampai Ramadhan berakhir pun aku
sama sekali tak menulisnya, sampai suatu kejadian dating menghampiriku . . .
Hari kedua Idul Fitri, aku
menyalakan Radio Indonesia lewat internet. Aku request lagu namun tak
juga diputar karena mungkin antriannya banyak. Tak berapa lama, mereka menawarkan
untuk mengupload foto kumpul bareng saatIdul Fitri. Aku mengupload foto kita di
Piramid tahun lalu. Saat Muhammad masih bersama kita.
Aku menuliskan sesuatu di foto itu,
“Kenangan Idul Fitri tahun lalu di Piramida. Sepupu kita, Muhammad meninggal
dunia tiga minggu yang lalu.”
Aku tak menyangka Muhammad begitu
cepat meninggalkanku. Aku masih tak percaya. Sampai saat ini aku masih bisa merasakan
kehadirannya meski dia tak ada lagi di sini, di bumi ini.
Tanpa kusadari di Radio itu
menyabut nama Zhie, nama akun twitterku. Aku terbelalak dan cepat-cepat
mengeraskan volume speakerku dan menyuruh teman-temanku diam.
“Barusan kita menerima sebuah foto
keluarga dari akun yang bernama Zhie. Foto kenangan bersama sepupunya, Muhammad
yang meninggal tiga minggu yang lalu. Dia request sebuah lagu beberapa
waktu lalu, namun kita belum bisa mengabulkannya karena banyaknya antrian. Kita
akan memutar sebuah lagu sebagai ganti. Lagu yang cocok dengan keadaan Zhie
saat ini. Lagu untuk mengenang seseorang yang telah pergi. Untuk Zhie, semoga
kamu mendengar lagu ini.”
Si penyiar Radio mengatakan kata
itu dengan sedikit isak tangis. Aku membayangkan wajahnya saat ini sedang
berlinang embun kesedihan. Dari suara paraunya, seakan dia menyesali tidak bisa
memutar lagu yang aku pinta di awal.
Saat lagu diputar, tanpa kisadari,
dadaku sesak. Seakan udara tak mengizinkan aku tuk bernafas dengan leluasa. Hampir
memaksaku untuk mengeluarkan embun duka yang sama. Namun aku coba tahan. Aku tak
ingin embun itu keluar dengan leluasa di depan teman-temanku.
Ahad, 21 Juli 2013. Foto profil facebook
Mariam, Sundus, Salma dan Aly berubah menjadi foto Muhammad. Begitu juga sepupu
mereka yang lain. Kaki dan sebagian tubuhku seakan tak bernyawa saat mengetahui
realita kepergian Muhammad. Meninggalkan kita, selamanya.
Aku masih belum tahi secara pasti
penyebab meninggalnya. Aku ingin bertanya kepada keluargaku, namun aku tak enak
hati. Lidahku kelu dan jemariku lemas saat ingin bertanya kepadanya. Aku tak
ingin, pertanyaanku semakin membuat mereka berduka.
Dugaanku, meninggalnya Muhammad ada
sangkut pautnya dengan demo besar-besaran yang ada di Mesir. Ratusan orang
meninggal. Mungkinkah Muhammad salah satunya? Dan lagi, saat itu dia sedang
melaksanakan wajib Militer. Setiap lelaki yang terlahir di Mesir, wajib
memasuki dan bertugas sebagai tentara selama satu sampai 3 tahun, atau bahkan
lebih. Berbeda dengan Indonesia. Kita diberi kebebasan memilih.
Seperti baru kemarin aku bertemu
dengannya. Pergi ke Piramida bersama, tertawa dan berfoto ria bersama. Aku ingat
saat kita sholat berjamaah dan aku menjadi imamnya. Aku juga ingat saat-saat
dia menolongku dari polisi yang tak tahu diri. Juga saat dia mengantarku pulang
larut malam saat semua sudah kecapekan dan terlelap.
Saat dia mengantarku pulang dengan
mobilnya, aku melambaikan tangan kepadanya. Tak kusangka itu lambaian terakhir yang
aku berikan untuknya. Orang sehangat dan sebaik dia, kenapa pergi begitu cepat.
Beberapa hari status keluargaku berisi
tentang kesedihan. Dan selang beberapa waktu mereka mengganti foto profil dengan
warna hitam. Tanpa senoktah warna lain. Bisakah aku menghibur mereka Ya Allah? Bisakah
aku menjadi pelipur lara bagi mereka?
Lagu yang diputar masih terdengar. Aku
berusaha untuk tak menikmatinya, tak ingin terbawa suasana. Namun, usahaku
percuma. Jiwaku menolak. Lagu itu memberi bekas padaku. Mengingat memori yang
kita lukis, bersama Muhammad.
Posting Komentar