Ahad, 20 Mei 2012
Kemarin, aku dikagetkan oleh e-mail yang menetap sunyi di
inbox-ku sejak 5 Mei. Karena disibukkan oleh ujian dan beberapa hal lainnya,
aku tak bisa mengecek satu persatu e-mailku.
Aku mempunyai mungkin sekitar 5 buah alamat e-mail. Bahkan
lebih. Satu khusus untuk keluarga dan teman-teman Indonesiaku, satu untuk
sahabat luar negeriku, satu untuk orang luar negeri yang ku anggap membahayakan
dan harus jauh-jauh dari kehidupanku, dan lain-lain.
Sebuah E-mail dari Dovi. Mungkin orang-orang belum tahu
siapa itu Dovi, termasuk keluargaku. Saat aku masih di Yogyakarta, aku dikirim
ke sebuah desa terpencil untuk “berda’wah” *Fuufuufuu gaya banget bahasanya*
Sebenarnya aku paling tidak suka memberi ceramah atau
mengajari orang-orang dengan orasi. Toh, aku banyak kekurangan, aku tak berhak
mengajari mereka, apalagi rata-rata ibu-bapak yang sudah dewasa dan lanjut
usia. Siapa aku? kenapa berani-beraninya menceramahi mereka.
Berat batin ini menerima tugas ini, namun aku harus berbuat
apalagi? Aku di kirim ke desa ini. mereka juga meminta aku. masa aku harus
berdiam diri saja tanpa membuat perubahan? Aku tak ingin mengecewakan banyak
pihak.
Aku harus pandai-pandai memilih kata, harus cermat memilih
bahan. Aku tidak ingin dibenci Allah, aku juga tidak ingin dibenci orang-orang
karena memberi orasi yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sikap keseharianku.
Tentu banyak kontroversi, beberapa orang mencelaku karena
aku hanyalah anak ingusan di mata mereka. Namun banyak juga yang menyukai
kepolosanku. Sebagian diriku merasa sangat nyaman di sana, seolah menemukan
keluarga baru. Di jalanan orang-orang menyapaku, terutama nenek yang sering
berjualan di depan masjid. Selalu menantikan kehadiranku, dan sering memberiku
buah tangan. Dan tentu aku paling tidak enak hati jika diberi sesuatu karena orasiku.
Hal yang paling pantang aku lakukan. Aku lebih suka mendapatkan uang dari
pekerjaan kasar lelaki.
Dan saat aku tinggal di desa terpencil itu, tentu ada sebuah
keluarga yang mengasuhku. Dan itulah keluarga Dovi. Aku masih mengingat dengan
jelas suasana rumah itu. kamarku di lantai dua, dengan kamar mandi yang tak
berkramik dan dapur dengan atap terbuka di sebelahnya. Dan masih bisa aku cium
aroma kayu bakar saat memasak sesuatu.
Aku sering melihat ibu duduk di kursi kecil, memasukkan kayu
dan dedaunan kelapa untuk menyalakan api. Masakan yang di masak dengan cara itu
mempunyai aroma yang menggoda untuk disantap. Sangat berbeda dengan masakan
yang menggunakan kompor gas ataupun kompor listrik.
Televisi besar terletak di ruang keluarga yang sempit, namun
cukup untuk menampung hampir sepuluh orang penonton, dengan berdesakan
tentunya. Para tetangga sering menumpang untuk menonton televisi di sini. tidak
cuma muslim, namun tetanggak Katolik pun ikut nimbrung di sini. dan
sesekali aku melihat Ayah sedikit demi sedikit melempar pertanyaan pada si
Katolik, pertanyaan santai yang mungkin menggoyahkan imannya. Pertanyaannya
dikemas sedemikian rupa sehingga tak terkesan menggurui, mengintrogasi maupun
menyakiti hati. Begitu mengalir.
Ayah yang satu ini, sudah mengislamkan beberapa orang Katolik
di desa ini. aku sama sekali tidak menyangka sebelumnya, begitu hebatnya guru
olahraga yang berpenampilan biasa ini.
***
Dan untaian kata aku tulis di e-mail Dovi, bertanya berbagai
hal yang aku lewatkan beberapa tahun ini. bertanya keadaan Ayah, ibu dan
adiknya, Yulham. Juga bertanya keadaan masjid beserta isinya serta warga
kampung.
Ah… seperti apa yaa Dovi dan Yulham sekarang. Ingin diri ini
kembali bertemu mereka, ingin kembali mengunjungi desa, ingin melihat anak-anak
TPA yang tumbuh dewasa. Namun aku tidak ingin jika harus kembali berceramah di
sana. Mengingat tiap melangkahkan kaki di desa itu, jadwal ceramah tak pernah
lepas dari diriku. Masih banyak yang lebih layak daripada aku. Diri ini jauh
dari sempurna untuk melakukan hal itu kembali.
Zhie
Posting Komentar