Goresan Pencipta Resah


Rabu, 16 Mei 2012

Aku buka pintu kamar Fikri, mengambil ponselku yang tertinggal di kamarnya. Terlihat dua missed call dari soulmate ku, Kurniawan. Ah, dia pasti sedih membaca tulisan yang diposting Wahid, temanku. Dan mencoba menelponku untuk menghibur kesedihan yang aku derita saat ini.

Aku tak membalas telponnya, toh, cerita yang diposting Wahid bukan kisah nyata. Hanya imajinasi liar Wahid yang ingin diasah.

Aku berjalan menuju kamar Wahid dengan membawa ransel dipunggungku. Membawa ayam dan dua buah telur untuk dimasak malam ini. Aku meletakkan ranselku sejenak dan ponselku bordering. Kurniawan menelponku. Pasti bertanya tentang cerita menyedihkan itu. pagi tadi tepat jam delapan pagi dia mengirimiku e-mail, bertanya apakah cerita yang ditulis Wahid sungguhan? Aku katakan tidak. Namun nampaknya Kurniawan tidak mempercayainya begitu saja.

Ah, sungguh bahagianya diriku ini, dikelilingi teman yang mau peduli. Diriku terharu melihat tingkah Kurniawan. Menelpon menanyakan keadaanku. Ah, jarang sekali aku memiliki orang sepertinya. Jika tubuh ini sakit, ada Mbak Ayu yang menelponku. Dan jika masalah hati yang datang menghampiriku, ada Kurniawan yang menelpon.

Aku angkat telepon dari Kurniawan.
“Zai! Kalau galau jangan sendirian.!”
Ah, mungkin dia pikir aku sedang dilanda kesedihan sampai dua missed callnya tidak aku jawab. Dengan nada  tertawa aku membalasnya.
“Siapa  yang galau! Tadi ponselku tertinggal di kamar, jadi aku tak bisa membalas telponmu.”
Sepertinya Kurniawan tak juga mempercayaiku, mencoba menelisik lebih dalam apa yang terjadi padaku.
“Tadi dari mana?”
Aku menjawab, “dari kediaman Allah.”
“Tuh, kan! Menangis sendirian di dalam Masjid.”
Berkali-kali aku katakan, tidak usah bersedih hati. Tulisan yang ditulis Wahid itu bukan kisah nyata. Hanya imajinasi liar Wahid yang menjadi-jadi.

“Tapi itu, fakta kan?”

Aku katakan tidak. Namun dia masih saja belum percaya.
“Kamu besok tidak ada ujian kan? Temani aku ke suatu tempat. Tapi aku cek dulu kirimanku sudah sampai apa belum. Tinggu kabarku selanjutnya.”

Ah, dia pasti mengajakku ke suatu tempat untuk menghiburku. Sudah aku katakan berkali-kali aku baik-baik saja. Namun sepertinya orang-orang tak percaya.

Goresan tinta Wahid benar-benar  membuat sendu mata orang yang membacanya. Aku pun begitu. Saat aku membacanya perasaan sedih melanda sanubariku. Padahal aku tahu itu hanya kisah karangan. Namun tetap saja diri ini bergetar membacanya.

Menata Hati di Sakia el-Sawy
by Wahid on Monday, May 14, 2012 at 5:18pm ·
Zai sedang menunggu Nescafe yang dipesannya. Murah, hanya dua ponds. Segera ia merogoh saku dan memberi dua kepingan logam kepada pelayan. Aroma nescafe sulit digambar jika sudah bertemu malam dengan anginya yang sejuk. Sakia el-Sawy, selepas pertunjukan seni musik klasik penonton banyak pulang lebih awal. Pertunjukan yang hanya menampilkan  permainan musik; biola, piano klasik, gitar cembung, seruling, terumbuk, gendang, kecrek, dan alatmusik kecil lainnya membuat penonton bosan. Penonton seperti dibawa kemasa lalu dengan musik-musik kerajaan kuno. Musik yang tidak populer zaman sekarang. Namun diakhir pertunjukan ternyata piano klasik bermain indah bersama biola. Membawakan instrumen Richard Marx, Right here waiting for you.  Nada yang begitu sendu. Se-sendu hati Zai malam itu.

Malam sedih tanpa rembulan. Hanya sedikit kerlipan bintang yang  menghiasi gamangya malam. Zai duduk lemas diatas kursi tenda. Matanya menatap kosong. Pikirannya tengah berkecamuk. Memang kali ini kedatangannya di Sakia bukan untuk melihat pertunjukan. Setelah beberapa tempat yang dikunjungi tidak juga menghilangkan rasa gundah yang sedang ditanggungnya. Dan pertunjukan musik itu malah membuatnya semakin yakin kalau nasib tidak sedang bersahabat dengannya.

Nescafe sudah tidak hangat. Aromanya sedikit hilang. Ia meneguk semua tanpa sisa.
“Di tenda ini kita pertama jumpa!” Zai membatin sendirian.

Tenda kecil yang dibuat untuk menghiasi Sakia agar tampak indah.  Ada empat tenda yang berdiri mungil diatas beranda taman sebelum pintu masuk.

Jika untuk mengatakan takdir itu kurang sopan, maka nasib yang telah membuat Zai patah semangat menjalani hidup. Nasib yang harus mempertemukannya dengan seorang gadis cantik. Setelah komitmen untuk tidak bermain perasaan dengan mahasiswi Indonesia, ia akhirnya bertemu dengan Kheloud seorang mahasiswi Universitas Cairo. Kheloud adalah wanita mesir baik-baik. Jika ukuran baik wanita mesir adalah tidak glamor dan berdandan aneh. Maka Kheloud wanita yang tepat. Ia sungguh berbeda dengan kebanyakan teman sejawatnya. Siapa yang tidak jatuh hati, jika wanita mesir yang memiliki paras mempesona, berakhlak mulia dan berhati jujur. Juga cinta yang tulus pada Zai.

Setelah perjumpaan pertama. Mereka banyak mencuri waktu untuk bertemu. Zai yang seorang jurnalis harus rela berbohong untuk menolak tugas meliput. Atau ia memang meliput berita yang dibuatnya sendiri bersama Kheloud. Berita yang tidak perlu dipublikasikan. Cukup mereka berdua yang membacanya. Begitupun Kheloud harus rela jika sesekali bolos dari les melukisnya. Dan kali ini memang benar-benar melukis. Melukis kisah bersama Zai di Sakia.
Entah siapa yang lebihdulu mengutarakan rasa suka, yang jelas mereka seperti sepasang merpati yang  sedang tersesat dihutan belantara. Tersesat dalam ruangan hati dan perasaan mereka.

“Zai . . . I wanna see you!!. I can’t see the world without you. ^_^
May we meet in Sakia tomorrow??”

Begitu susunan kata yang paling disukai Zai di layar handhponenya. Maka ia akan menjawab dengan seruan yang lebih romantis. Bahkan  jikaperlu mengalahkan syair Majnun untuk Laila.

“I have just three angels in my life. The first my Mom, the second my Sister, and the last is you . . .^_^. . .  Hopefully I can take you fly to the moon. Yes, we can meet tomorrow at 18:00 pm.”

Kesenian juga yang harus mempertemukan mereka di Sakia. Keduanya amat menyukai dunia seni. Ternyata memiliki ideologi sama dalam carapandang hidup membuat seseorang merasa cocok dan nyaman. Di Sakia mereka lebih suka menunda kepulangan dengan  duduk santai dibawah  tenda. Berbincang hangat meski angin malam sebenarnya dingin. Jika sudah seperti itu, Zai merasa dibawa kemasa lalu saat Julius Caesar menaklukan Cleopatra. Perantaunnya dari Gresik tidak kalah dengan Caesar dari  Romawi.

Namun setelah kejadian itu Zai harus segera ambil tindakan. Ia tidak boleh gegabah memutuskan segala sesuatunya. Harus dengan otakmatang, bukan sekedar hati nurani semata. Karena cinta bukan sekedar logika dan pada akhirnya membutuhkan logika juga. Jika memang cinta harus menggunakan rumus matematika maka itulah saat yang tepat untuk Zai mengamalkannya.


Namun Zai merasa bersalah jika harus menjauh seperti itu.  Kenyataanya memang hanya itu yang  bisa ia lakukan. Menjauh dari Kheloud secepat mungkin dan bilaperlu segera melupakannya. Walau Zai tahu itu tidak akan pernah bisa!
Semilir angin malam yang sendu kembali menyapa rautwajahnya yang muram. Kedua bola matanya menguning setelah dua malam tidak tidur. Bukan karena begadang untuk tugas tapi kegelisahan itu membuatnya sulit memejamkan mata.
Tatapanya kini beralih pada ruasjalan yang menghubungkan antara Tahrir dan Zamaleek. Lampu yang berdiri tegak dipinggir jalan saling menembak satu sama lain. Membuat jalanan semakin eksotis. Dan akan lebih eksotis bahkan erotis jika sudah berhenti diatas jembatan Nil. Jembatan yang sudah menjadi legenda di bumi mesir.


Suasana malam memang indah di negri piramid ini daripada siang yang penuh keributan. Pertamakali Zai melewati jembatan Nil ia tidak melepas pandangannya kecuali pada hamparan air sebagai saksi Musa dihanyutkan. Dan pada ketika ia sedang duduk berdua di kursi Bus maka pandangannya beralih pada wajah Kheloud yang mengalahka ke-eksotisan Nil.

Sungguh kenangan lagi-lagi hadir disetiap kejadian yang pernah ia alami. Kenangan yang tidak membuatnya tersenyum, kini dengan kenangan itu malah  semakin tersiksa. Kenapa seseorang harus terjebak dalam kenangannya sendiri? Bukankah kenangan itu hanya untuk dikenang bukan untuk diingat-ingat? Zai semakin mengutuk dirisendiri.

Kejadian pilu itu terjadi ketika langit Zahro mendadak suram. Mendung yang tidak hujan ternyata lebihsakit ditanggung. Zai tidak sempat menangis sore itu, dan Kheloud tidak sedang melukis kisah. Setelah badai ombak yang menghantam mereka berdua. Adalah keputusan sang Ayah membuat Kheloud kembali mengutuk adat. Adat yang baginya adalah racun kehidupan wanita mesir dalam presepktifnya. Dia memang wanita berbeda yang meyakini jika kebahagian tidak mesti diukur dengan pundi-pundi uang.

Maka ketika sang Ayah menawarkannya pada Zai agar segera dipinang ia shok. Entah bagaimanapun Zai hanyalah seorang mahasiswa. Dia mungkin akan melamarnya jika sudah selesai kuliah dan sudah bekerja. Namun orangtua Kheloud menginginkan segera putrinya di pinang. Jika tidak maka mereka akan segera menerima lamaran dari seorang pengusaha muda. Saat itulah Zai yakin jika kebiasaan buruk orang mesir adalah menawarkan hal-hal mustahil untuk tujuan yang sebenarnya. Mungkin Ayahnya sudah melihat keadaan Zai sebagai orang asing yang tidak berduit. Ia sekedar mahasiswa yang belum berpenghasilan. Maka dengan bulat ia akan menerima tawaran dari pengusaha mesir dengan mempertimbangkan uang yang akan didapatnya.

Setelah kejadian itu Zai dilarang  lagi bertemu  Kheloud. Ia harus menjauhinya. Karena sesegera mungkin Kheloud akan dilamar. Maka Zai memang sudah bukan pemilik hati Kheloud yang seperti buah delima. Namun keduanya mengerti betapa bukan kuasa mereka sedikitpun memutuskan hubungan itu.

Bukan hanya langit yang suram. Angin pun tak lagi bersiul. Kisah tak seindah dulu. Zai merangkul tas meninggalkan Zahro dengan sejuta rasa kecewa. Membawa hati yang remuk berkeping-keping. Hancur lebur.

***

Maka di Sakia el-Sawy ia hanya bisa menata hati. Malam yang gamang tanpa kebahagiaan harus terus dilalui dengan tenang. Seperti hati adalah bangunan roboh yang harus ditata ulang dengan pondasi yang lebih kuat. Ia mematung sendirian dibawah tenda. Mencoba menerjemahkan malam sendiri. Dan sesekali mengububungkan dengan kisahnya bersama Kheloud. Menghitung bintang adalah mustahil namun ia bisa mencuri pelangi jika hujan benar-benar telah reda.

Cairo, 14 Mei 2012.


0 Responses

Posting Komentar

abcs