Senin, 16 Juli 2012
Ini mengenai kisah perjalananku dengan Mariam. Gadis Mesir
yang membuat pandanganku teralih. Aku tenang saat melihat wajahnya, aku
terhanyut menatap kesopanannya, aku terpesona memandang kedewasaannya.
Aku mengirim undangan “International Student Show” kepada
teman-teman Mesirku pagi ini. Sebuah
acara pagelaran seni dari berbagai belahan dunia, persatuan pelajar Indonesia
yang menyelenggarakannya. Sebenarnya aku terlambat menyebarkannya karena aku
baru mengetahui berita itu beberapa jam yang lalu.
Seperti yang telah kuduga sebelumnya, tak ada respon,
terlalu mendadak. Sebenarnya aku sudah bilang ke salah satu panitia untuk
memberikan undangan kepadaku jauh-jauh hari, untuk bisa kusebar. Namun karena
kesibukanku, aku tidak menyadari undangan itu telah tersebar. Hhh… cerobohnya
aku.
Aku sempat putus asa tak ada teman Mesirku yang hadir,
kecuali… Mariam.
Setelah dzuhur berkumandang. Aku menyempatkan waktu sejenak,
dan aku melihat Mariam pun sedang online. Entah saat itu siapa yang
mengawali pembicaraan. Yang aku ingat gadis yang kuliah di jurusan dokter gigi
itu menyapaku dan bertanya kepadaku apakah aku akan ikut ISS (International
Student Show)?
Tentu aku mengatakan iya. Dan aku balik bertanya. Gadis
berkulit putih itu pun ingin pergi ke sana namun belum tahu lokasinya. Dan aku
menawarkan untuk pergi bersama. Dia meminta izin ke orang tuanya terlebih
dahulu, dan mereka mengizinkan. Alhamdulillah.
Dan setelah mengobrol beberapa menit, aku menarik
kesimpulan, dia anak rumahan yang hanya tahu jalan ke rumah dan kuliah.
Universitas al-Azhar pun belum pernah dia kunjungi dan pasar Husein, pusat
souvenirs bagi turis dan penduduk sekitar pun jarang dia kunjungi, terakhir
kali dia mengunjunginya saat dia masih kecil (seingatku). Padahal, aku
mengunjungi pasar husein hampir setiap hari.
Dia ibarat katak dalam tempurung. Selalu terkurung di dalam
rumah, tak bisa melihat keindahan negerinya sendiri. Mengingatkan diriku yang
selalu terkurung di dalam rumah dan tak tahu apa-apa tentang kotaku sendiri. Aku
yakin banyak tempat bagus di Kairo yang belum pernah dia kunjungi, dan aku
berencana mengajaknya ke tempat-tempat itu suatu hari nanti..
Mariam: “Hey… siapa turis di sini?”
Perkataannya membuatku tertawa, aku memang pengunjung di
sini, dan bukan penduduk asli. Namun aku
sedikit tahu lebih banyak tempat-tempat di Kairo daripada dia (mungkin).
Aku : “Haha saat ini aku pemilik Kairo dan kamu turisnya”
Mariam : “Oke, Tuan guide… tunjukkan aku
tempat-tempat itu ^_^ ”
*******
Udara panas kembali menyengat, hari ini suhu udara mencapai
41 derajat celcius. Aku bergegas mencari tangga menuju masjid el-Fath
usai turun dari Metro Shohada. Kami berjanji bertemu di sana. Sebelumnya aku
mengiriminya SMS, memberitahukan kalau aku sedikit terlambat karena sampai jam
3 sore[1]
belum mendapatkan bis, dan jalanan macet.
‘’ Zain… Zain… “
Aku sempat tak mendengarkan suara lirih itu, namun saat
kedua kalinya suara itu memanggilku, aku menoleh ke belakang dan kutemukan
sosok Mariam menunggu di belakangku.
Suaranya lebih tegas daripada Kheloud. Karena seringnya
mendengar suara Kheloud, suara Mariam sedikit agak asing dan mulai membuatku
canggung. Kita sudah lama tidak bertemu, dan kecanggungan mulai menguasai kami.
Namun aku berusaha membuatnya mencair dan berhasil. Kini aku bisa membiasakan
diri dengan Mariam.
Kami sempat tersesat, sekali lagi itu karena penyakit buta
arahku yang belum juga hilang. Aku tak ingin mengecewakan Mariam, tak ingin
juga menghabiskan energi Mariam, karena gadis berhidung mancung itu tengah
berpuasa. Dia lebih relijius daripada yang aku kira.
Namun, rahmat Allah masih menaungi kami, mini bis melewati
kami dan segera meluncur ke Sholah Kamil, tempat acara diselenggarakan.
Sepanjang perjalanan Mariam selalu melihat jam. Perasaan was-was mulai
menyelimutinya. “Zain… kita terlambat…” aku hanya tersenyum simpul
mendengarnya. Dia belum tahu kalau orang Indonesia memiliki jam karet. Acara
yang diselenggarakan pada jam 4 sore bisa molor beberapa jam.
*******
Kami memasuki ruangan. Lantunan indah lagu Maher Zain
terdengar memenuhi ruangan. “Zain aku suka lagu Maher Zain.” Ungkap Mariam.
“aku juga.” ungkapku.
“Namun aku lebih suka lagu Maher Zain yang memakai musik Bayati”.
Aku terbengong. “Musik Bayati itu musik ketimuran. Saya kurang begitu
suka dengan lagunya yang bermusik kebaratan.”
“Zain… kenapa begitu sepi?” sudah aku duga sebelumnya,
acaranya pasti molor. Aku malu jika menjelaskan kalau itu sudah kebisaaan
mahasiswa Indonesia di sini. Aku mencoba mengalihkan perhatian dan menjawab, “
ini baru di luar, masih ada lagi tempat di atas untuk pertunjukkan, seperti di
geduang teater.”
Dan di dalam, terdapa beberapa stand yang menunjukkan
beberapa ke-khas-an Negara. Mulai dari makanan, benda-benda, pakaian dan lain
lain. Dan ada beberapa stand yang masih kosong dan belum terisi seperti Stand
Thailand, Marocco, dan lain-lain. Dan aku menggunakan kesempatan itu untuk
mengalihkan pembicaraan, agar Mariam tidak menyadari keburukan budaya kami
dalam hal waktu. “Emmm… sebenarnya panitia “mungkin” ingin segera memulainya,
namun beberapa utusan dari Negara lain belum datang, jadi kita menunggu mereka.”
“Ah… aku lega, aku kira aku akan terlambat. Ternyata belum
dimulai. Ini lebih baik daripada terlambat.” Ungkap Mariam.
Gadis berhidung mancung itu berkeliling melihat stand
demi stand. Bertanya hal-hal yang baru. Dia berkata belum pernah melihat
orang-orang Afrika dan Asia sebanyak ini. Dia berfoto dengan mereka satu
persatu. Dari stand demi stand pasti tidak ketinggalan foto
Mariam dengan mereka. Aku hanya bisa tertawa. Mariam begitu imut dengan
tingkahnya. Gaya berfotonya juga lucu. Terkadang seperti seorang model,
terkadang seperti orang lugu dll. Kalau aku membandingkan dengan Kheloud,
kebanyakan dia begaya Victory dan senyumnya mengambang lebar.
Dan aku baru tahu kenapa dia begitu bahagia berfoto dengan
orang-orang Asia dan Afrika. Di universitasnya hanya ada orang Arab. orang Asia
dan Afrika tidak ditemukan di sana. Dan Mariam begitu terkejut saat aku
mengatakan kalau aku tinggal seatap dengan orang Rusia, Cina, Afrika,
Bangladesh dll.
Beberapa teman Indonesiaku menyapa, namun aku hanya bertanya
kabar dan tidak ingin berbicara lama, karena aku tak ingin membuat Mariam
menunggu. Aku tak ingin melihat Mariam hanya terdiam melihat aku dan
teman-teman Indonesiaku berbicara satu sama lainnya.
Dan respon yang sama sekali berbeda jika aku berjalan dengan
Kheloud. Mariam berkata kepadaku,” Zain… kalau ingin berbicara dengan
teman-temanmu, berbicaralah, tidak apa-apa.” Nampaknya dia tahu kalau aku
meminimalisir bicaraku dengan teman-teman demi Mariam. Berbeda dengan Kheloud,
dia pasti berkata, “ Zain… kamu kok gak gaul sama teman-temanmu sih?” Hhhh…
Kheloud tidak mengerti aku, dia tidak tahu kalau aku berbuat demikian
semata-mata untuknya, karena tak ingin membuatnya sendirian.” Terkadang aku
kecewa karena dia tidak bisa mengerti diriku.
*******
Adzan Maghrib mulai terdengar di telinga. Kami tunaikan
kebutuhan kami, sholat berjamaah. Kemudian mulai memasuki gedung.
Kami harus kecewa karena tulisan di atas pintu. Ruangan
bawah hanya untuk para undangan. Ruangan untuk non-undangan ada di atas. Aku sempat
melihat wajah kecewa Mariam. “maafkan aku Mariam, kamu sudah menunggu lama
sejak sore dan kita tidak bisa memasuki ruangan yang kita suka.” ungkapku dalam
hati.
Kami berjalan menaiki tangga, dan kekecewaan Mariam lenyap
seketika, “Hai Zain… tempat ini lebih bagus dan lebih nyaman untuk menonton.
Kita bisa melihat jelas dari atas!” paras wajahnya begitu bahagia, aku lega dan
bahagia mendengarnya. Terima kasih Ya Allah Engkau memberi kebahagian kepada
Mariam.
Di sela-sela sambutan yang membosankan, dia berkata alangkah
terkejutnya dengan imam perempuan di mushala tadi. Suaranya bergitu merdu dan
seolah mudah sekali membacanya, tajwidnya begitu tepat.
Dia bertanya beberapa hal tentang pembelajaran Islam di
Indonesia, tentang pembelajaran al-Qur’an yang ditanamkan sejak kecil. Dia
sangat menyukai hal-hal yang berbau da’wah. Dia berkata akan masuk kuliah
da’wah usai kelulusannya di kuliah kedokteran gigi.
Sejak sore tadi, dia bercerita berbagai macam hal kepadaku.
Tentang keluarganya, tentang hal-hal yang disukainya. Aku pun senang
mendengarnya. Hasil riset mengatakan, jika perempuan sudah berbicara panjang
lebar mengenai dirinya kepada seorang lelaki, artinya dia sudah merasa nyaman
berada di dekat lelaki itu.
*******
Acara sudah di mulai, kedua pembawa acara keluar dengan gaya
kocaknya. Kata-kata Amiyah[2]
yang diucapkan sungguh meledakkan tawa orang-orang hadir. Aku lihat di
sampingku, Mariam juga sedang tertawa, namun aku sangaaat suka gaya tertawanya,
mirip dengan diriku.
Saat aku tertawa aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak
tertawa terbahak, aku tahan sebisa mungkin sehingga hanya membentuk senyum
simpul. Aku ingin menjaga kesopananku dan itupun yang dilakukan Mariam saat
ini. Aku sungguh sangat menyukai caranya menjaga kehormatannya. Sangat berbeda
dengan Kheloud jika tertawa tidak ditahan sama sekali. Namun menurutku itu
bagus, menunjukkan ekspresi aslinya, jujur dalam berekspresi. Masing-masing
mempunya gaya dalam tertawa, namun di antara keduanya aku lebih suka dengan
cara Mariam.
Berkali-kali aku memandang wajah Mariam yang duduk di
sampingku. Ekspresi terkejut, takjub, tersenyum, tergambar indah menghiasi
wajahnya yang putih. Dan seringkali mata kita bertatapan dan saling melempar
senyum.
Kalau dipikirkan lebih jauh, Mariam penyabar dan lebih
dewasa daripada Kheloud. Meskipun dari segi umur Kheloud lebih tua dua tahun
daripada Mariam. Dari caranya berbicara yang tenang dan lembut terpancar
kesabaran dan kedewasaan. Aku belum pernah sekalipun melihat Mariam marah.
Kalau Kheloud, sudah beberapa kali aku melihat ekspresi marahnya.
Terkadang aku berpikir bagaimana nanti jika aku menikah
dengan Kheloud? Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku tak ingin menikahinya.
Sikapnya yang terkadang tempramen mungkin akan sedikit menyulitkanku nantinya.
Sensasi saat berjalan dengan mereka berdua pun berbeda. Saat
aku berjalan dengan Kheloud, seolah banyak kecacatan yang muncul dari dalam
dirinya, namun aku berusaha menutupinya dengan kesempurnaan. Aku belajar
darinya bagaimana menutupi kekurangan orang lain.
Saat aku berjalan dengan Mariam, kesempurnaan yang selalu
nampak. Caranya bersabar, caranya menjaga kehormatan dan kesopanan, dan yang
paling penting, dia memahamiku. Tak henti-hentinya diri ini bersyukur kepada
Allah saat berada di dekatnya. Aku belajar banyak darinya.
*******
Acara selesai pukul sebelas malam, sebenarnya ada tiga
Negara lagi yang belum menampilkan budayanya; Turki, Filipina dan Indonesia.
Namun karena sudah terlalu larut terpaksa tidak ditampilkan.
Aku menawari Maria untuk makan, karena hari ini dia puasa
dan belum ada secuil makanan pun yang mengisi perutnya, dia hanya minum air dan
jus Guava[3]
hari ini. Dia berkata tidak lapar, namun kalau ada makanan Indonesia dia ingin
mencoba.
Kami turun ke bawah untuk mencari masakan Indonesia, namun
kami kurang beruntung hari ini. Semua makanan sudah habis.
*******
Kami berjalan di bawah naungan malam. “Cuaca malam hari
tidak begitu panas ya Zain… juga tidak dingin.” Aku mengiyakan perkataan
Mariam, malam ini tidak bagitu panas, namun juga tidak begitu dingin. Tidak ada
angin malam yang berhembus.
Dari pinggir jalan, teman-teman berteriak dari dalam Tramco
(mini bus) , “Jay..! mau pulang ke bu’uts tidak? Bareng!”
“Tidak bro..! ane mau mengantar ‘dia’ dulu!” teriakku.
“Zain… itu temanmu kan? Pulang saja bersama mereka.”
“sudah aku bilang kan… aku akan mengantarmu pulang?”
“Oh.. Zain. Kamu tidak usah mengantarku, aku bisa pulang
sendiri.”
“eh… kamu daerah sini saja tidak tahu, bagaimana kamu akan
pulang?”
“aku bisa tanya Zain…”
Saat kami beradu argumen, mobil yang ditumpangi teman-teman
sudah berjalan meninggalkan kami.
“Zain… mobilnya sudah berangkat. Kamu membuatku mencaci
diriku sendiri, kamu ditinggal teman-temanmu.”
“aku lebih akan mencaci diriku sendiri jika membuat seorang
perempuan pulang sendirian di tengah malam.”
Akhirnya Mariam luluh dan aku mengantarnya pulang. Namun aku
tak mengantarnya sampai di depan rumahnya. Kami berpisah di Shohada. Mariam
memaksa aku, dia tak ingin lebih merepotkan aku. Minimal dia sudah sampai di Metro, karena
setelah ini perjalanan akan lebih mudah.
Selama perjalanan di dalam mini bus, dia berbicara dan
bertanya panjang lebar. Aku sempat melihat senyumnya sekilas yang diiringi gerakan
tangan. Gerakan tak sadar yang dilakukan perempuan saat menemukan seseorang
yang membuatnya nyaman.
*******
Pagi pukul enam aku kembali online. Dan kulihat Mariam
sedang online juga.
“Salam Zain… bagaimana tidurmu? Nyenyak kah?”
“tentu saja. Bagaimana denganmu?”
“aku belum tidur. Belum bisa tidur.”
“sejak tadi malam, sudahkah kamu makan, Mariam?”
“belum, bagaimana denganmu?”
“aku belum makan juga, karena kebanyakan minum, jadinya
tidak lapar. Kemarin kamu pulang jam berapa?”
“12:40 . Ayah marah.”
“kasihan kamu, Maryam. *Wajah Menangis*”
“Namun tidak begitu marah. Zain… aku ingin bertemu kamu
segera saat Ramadhan. Kita sahur bersama.”
“sahur bersama? Berarti usai tarawih kita berjalan sampai
pagi?”
“Haha kamu ke rumahku, aku sudah bilang kepada ibu”
Hhhh… sekali lagi perbedaan Mariam dan Kheloud. Aku tak
pernah di ajak masuk ke rumahnya dan bahkan aku belum pernah berkenalan dengan
kedua orang tuanya. Berbeda dengan Mariam. Aku sungguh nyaman bersamanya.
“aku sedikit malu, Mariam”
“tidak apa-apa, Zain.”
“aku ke sana jam berapa? menjelang subuh?”
“bisa juga. Atau kamu datang ke rumah kami Maghrib. Nanti
kita tarawih bersama ke tempat yang aku katakan.”
Saat perjalanan pulang menaiki mini bus malam itu, dia
berkata kepadaku kalau sangat suka Ramadhan. Terutama karena suasana
tarawihnya. Ada masjid favoritnya, yang diimami imam kesukaannya. Memang
sholatnya lama karena membaca satu juz tiap harinya, namun dia sangat suka
sholat di sana.
“oke, aku akan kesana. Mungkin saat pertengahan Ramadhan.”
“oke, karena awal Ramadhan kami akan ke rumah nenek. Aku akan
memberitahumu jika kami sudah datang.”
“aku pamit dulu ya Mariam. Semoga Allah menjaga kesehatanmu.
Salam”
“terima kasih. Doakan untuk si kasihan Mariam ini ya Zain.
Aku juga ingin istirahat. Salam.”
Zhie
Kamu tahu kawan… aku menulis tulisan ini dengan perasaan
yang masih bergejolak di dada. Sudah beberapa hari ini, sejak pertemuan
terakhirku dengan Mariam. Perasaan ini belum pudar. Perasaan yang belum pernah
kurasakan saat aku bersama Kheloud. Saat bersama dengan Kheloud… mungkin tidak
ada rasa sebesar dan sekuat ini, dan akan hilang sehari setelah pertemuan
terakhir dengannya. Namun saat dengan Mariam berbeda.
Saat itu, aku hanya bisa berdo’a jika Allah sengaja membuat
perasaan ini condong ke Mariam, ikatlah kami dengan ikatan suciMu Ya Allah. Aku
tak ingin memendam dosa karena terlalu sering memikirkannya.