Kilau Hangat Seorang Kakak

Selasa, 14 Desember 2011

Tuut…..Tuuut……

Suara nada tunggu masih terdengar di gendang telinga kananku. Aku menelpon seseorang. Seseorang yang sangat dekat denganku akhir-akhir ini. kali ini, aku ingin meminta bantuannya.

Klek

Teleponku diangkat olehnya, sebelum aku memulai pembicaraan, dia langsung berteriak.

“Zaaayyy…!!!!!!!!!!!!!! Wihistany Awy,,,,,!!!!!!”
(Zaaaayyy…!!! Aku kangeeeeen banget ma kamu…!!!!!”)
Itulah Mbak Ayu, kalau lebih dari satu minggu aku tidak menelpon atau bertemu dengannya, dia pasti berteriak seperti itu kepadaku.
Usai teriakannya selesai, dia langsung tertawa, tertawa khas mbak Ayu. Aku langsung membalas teriakan mbak Ayu.

“Mbak Ayuu…!!! Jijik…!!! Hoeek..!! apaan sih pake teriak kangen segala.” Tertawa mbak Ayu semakin keras.
Yaa…begitulah aku, aku cepet illfeel kalau orang bilang “kangen” kepadaku. Entah orang itu laki-laki atau perempuan.

“ada apa Zay?”
“mbak…temani aku beli jilbab Mesir. Buat ibu dan mbak-ku. Karena tanggal 31 Desember, ada temanku yang pulang ke Indonesia. Aku tidak tahu masalah Jilbab. Mbak ada waktu kapan?”
“Ya Allah Zay….!! Romantis banget sih kamu, Ibu dan Mbak-mu pasti seneng kamu beliin. Aku kosong Zay. Kalau mau cari bareng, tinggal telepon saja.”

>M<>M<>M<

Pada awalnya, aku ingin meminta bantuan Kheloud, teman Mesir-ku. Tetapi aku mengurungkan niatku. Karena saat ini dia sedang berjuang mengalahkan ujiannya. Aku tidak enak hati jika mengganggunya. Dan juga aku ragu, apakah selera orang Indonesia sama dengan orang Mesir?.

Aku membelikan Jilbab itu dar hasil peluhku sendiri. Dan aku merahasiakan hal ini dari mbak Ayu dan teman-teman reporterku. Aku tidak ingin mereka tahu, terutama mbak Ayu. Mata mbak Ayu pasti berkaca-kaca menahan sedih jika melihat aku bekerja.

Kami berdua berjalan di daerah pasar Husein. Sebelumnya aku menjemput mbak Ayu terlebih dahulu di depan kuliah putri usai Ashar menampakkan sua-nya.

Banyak jilbab bertebaran di mana-mana. Membuatku ragu, mana yang harus aku pilih. Beruntungnya ada mbak Ayu di sampingku saat ini. tetapi mbak Ayu pun ragu karena banyaknya ragam jilbab yang dijual di sini.

Akhirnya kami menemukan Jilbab yang imut, meski harganya “lumayan”. tiga jilbab berwarna pink, coklat muda dan biru muda, dengan bunga sebagai motifnya. Serta satu jilbab bersisi dua. Dan kami membeli gantungan kunci khas Mesir.

Kemudian kami mencari bross, sudah sekian kali kita melewati pasar Husein. Tetapi tak juga kutemui penjual bross. Lelah kami berjalan dan di saat lelah itu menghampiri. Letih itu sedikit demi sedikit mulai menguap saat deretan penjual bross terpampang di depan kami.

Kami masuki satu persatu deretan toko bross, namun wajah cerah tak juga menghiasi wajah kami. Kebanyakan toko mensyaratkan pembelian secara grosir. Kami memulai menghela nafas panjang. Hanya tinggal satu toko bross yang tersisa. Namun aku sudah pesimis terlebih dahulu, karena bentuk tokonya yang kecil dan kurang meyakinkan.

Tapi mbak Ayu tetap meyakinkanku untuk masuk terlebih dahulu. Dan tanpa kuduga sebelumnya. Bentuk luar toko tidak mewakili isinya. Di toko ini, dijual bros yang jauh lebih bagus daripada toko-toko yang lain. Ada bentuk aneka bunga, kupu-kupu, burung merak dan lain-lain. Dan harganya pun lebih mahal dari toko lain. Satu buah harganya sekitar 25 pound ke atas.

Kita mencoba untuk menawar, tetapi si penjual tetap tak bergeming. Bukan sambutan hangat yang kami dapati, tetapi ejekan merendahkan yang kami terima. Allah…beginikah perlakuan mereka terhadap pembeli? Aku langsung mengajak mbak Ayu keluar. Mungkin agak mending jika aku yang mereka rendahkan, aku bisa membalas dan memutar balikkan ucapan mereka. Tetapi jika mbak Ayu juga ikut direndahkan. Aku tidak enak hati. Aku yang meminta dia menemaniku, tidak seharusnya aku membawanya dalam keadaan ini.

“kita nyari kemana lagi Zay? Ini toko yang terakhir…”
“Kita pulang saja Mbak, aku tidak minat lagi masuk ke toko itu.”
“Terus bagaimana bros untuk ibu dan kakakmu? Biar aku sendiri saja yang masuk Zay, aku merelakan harga diriku demi kamu dan keluargamu”

Sungguh mulia kakak yang satu ini, mau berkorban demi temannya. Tetapi aku langsung mencegahnya sebelum mbak Ayu mulai melayangkan kakinya kembali ke toko tersebut.

“jangan Mbak, biar itu menjadi pelajaran bagi mereka juga. Agar mereka tidak terus-trusan mengejek pembeli. Kalau ingin dagangannya dibeli, bersikaplah yang baik pada pembeli. Lagian aku yakin bros seperti itu di Indonesia juga dijual kok Mbak. Dan lagi sempat aku lihat, bros tadi buatan Cina.”

>M<>M<>M<

Langit mulai menunjukkan kelamnya. Beberapa jam berputar di pasar Husein, menambah letih persendian kaki kami. Aku pun mengantar mbak Ayu berpulang ke kediamannya. Beruntungnya kami mendapat bis kosong. Sehingga kita tak perlu lagi capek berdiri.

Di dalam bis, mbak Ayu bercerita tentang Ayahnya yang sudah meninggal. Tentu kesedihan yang mendalam menyelimuti dirinya. Dan lahirlah sebuah tulisan wujud kesedihannya di Facebook. Dan secara kebetulan salah satu temannya membaca tulisan itu. Teman itu mengatakan kepada mbak Ayu kalau dia bertemu seorang pengusaha Mesir di salah satu Mall yang ingin memberikan bantuan tiap bulan kepada Mahasiswi Yatim yang masih semangat belajar.

“Zay…kok bisa ya….mungkin do’a ibu banter kali yaa…..jadi dapat rizky seperti ini.”

Kami berhenti untuk makan bakso di kawasan Hay Asheer. Aku berniat untuk membelikan sesuatu kepada mbak Ayu, sebagai wujud terima kasihku karena menemaniku belanja, tetapi mbak Ayu menolak. Dia hanya ingin dibelikan bakso,  makanan favoritnya di Mesir ini. Aku akui, bakso di sini sungguh enak, dan beraneka ragam. Belum pernah aku makan bakso seenak ini di Indonesia.

Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah semakin larut. Aku mengantar mbak Ayu di depan gedung flat-nya. Terakhir, kuucap rasa terimakasihku yang kesekian kalinya. Aku menunduk sedih karena hari ini membuat mbak Ayu direndahkan. Dan meski dia menutupi keletihannya, aku masih bisa melihat gurat kelelahan yang tergambar di wajahnya.

Namun….lagi-lagi….celetuk ringannya begitu menghangatkan.

Zhie
0 Responses

Posting Komentar

abcs