Aku mengantar kepulangan salah seorang yang amat berjasa
dalam kehidupanku. Seseorang yang menghargai kekuranganku. Seseorang yang menjadikan
kekuranganku sebagai daya dan kelebihan. Seseorang yang mampu memapahku saat
mulai terhuyung.
Aku . . . tidak menyangka berpisah dengannya secepat ini. Hari-hariku
kupenuhi dengan canda tawa dengannya. Melupakan kalau akan ada sebuah perpisahan di setiap pertemuan. Sepertinya aku belum
berbuat sesuatu yang berkesan untuknya.
Tahukah kalian
sobat, di negara ini, aku ada masalah dengan almamaterku. Aku memang melepaskan
diri dengan mereka. Karena jika aku ada di bawah naungan mereka, aku tak
mungkin bisa berkembang sejauh ini. Tidak bisa menulis buku, tidak bisa
berorganisasi dengan orang-orang luar negeri, dll. Aku merasa terkekang jika
bersama mereka.
Sebenarnya mungkin
mereka bisa memaklumi keputusanku, tetapi karena pengaruh satu orang, semua
orang jadi ikut terpengaruhi. Aku dikucilkan. Begitu sakit hati ini. Namaku juga
tercemar. Beginikah rasanya difitnah?
Namun, karena
jasa Bang Jauhar, menjelaskan sana-sini siapa diriku sebenarnya. Beberapa dari
mereka mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Namun, tetap saja masih banyak
yang terpengaruh oleh lidah liar “seseorang”.
Memang yaa . . .
hidup tak selamanya menyenangkan. Ada saja kerikil kecil yang membuat kita
tersandung, jatuh terselungkup.
*******
Aku tak menyangka
banyak yang mengantar kepergian Bang jo. Bis pun tak muat mengantar kepergian
sosok mungil itu. Saat kenal dengannya pasti kita tertawa ataupun kesal
mendengar kenarsisannya. Namun kenarsisannya tertutupi karena keilmuan dan kemampuannya.
Ternyata begitu
sedih berpisah dengan sosok mungil itu. Seolah ada yang hilang jika tak ada
ocehan kocaknya. Gambar kenangan di benakku seolah berputar kembali. Memperlihatkan
slide yang aku alami bersamanya.
Saat aku tak bisa
menulis, dia orang pertama yang mengajariku merangkai kata. Saat diriku
menghadapi masalah dalam kuliah, ia yang membantuku memberi solusi .
Dan banyak
perempuan yang tak kukenal menangis melepas kepergiannya di Bandara. Mungkin mereka
murid-murid Bang Jo. Selepas menjadi Pimpinan Redaksi, dia mendirikan sebuah kajian,
dan anggota yang mendaftar lumayan banyak.
Mereka menyesal
karena tidak bisa menjadi yang terbaik. “Jikalau kami cepat menyadari kalau ada
perpisahan seperti ini . . . kami pasti berusaha lebih baik lagi.” Terdengar seorang
perempuan menangis sesenggukan dengan mengucapkan kata-kata itu. Bang Jo lantas
mengusap kerudungnya dan memandang ke arah lain mencoba menahan tangis.
Baru kali ini aku
melihat sosoknya sebagai orang yang bijak. Padahal di asrama kami selalu saling
mengejek dan bertingkah laku seperti anak kecil.
Posting Komentar