Embun di Tanah yang Gersang



“kakak….minta beliin minum donk kak…!!” dua gadis kecil itu memeluk lenganku dengan manja, saat diriku tengah duduk menunggu pelayan di Ashab Gami’. Dengan senang hati aku mempersilahkan mereka berdua mengambil tempat duduk.

Dua pengemis kecil yang menggemaskan, aku bisa menebaknya dari dandanannya yang agak lusuh. Mereka berdua memakai jilbab, meski belum sempurna. Masih bisa aku tangkap rambut depannya yang terurai. Yang satu berambut pirang keemasan, yang satu lagi berambut hitam. Dandanannya yang lusuh, tertutupi oleh celotehan dan wajahnya yang imut menggemaskan.

Pelayan lewat di depan kami, aku memanggilnya untuk memesan Tamr Hind tiga gelas. Celotehan kedua gadis kecil itu memburu, pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut mungil mereka. Hhhh…..kata-kata lucu mereka sungguh membuat hatiku terhibur.

Pelayan datang menyodorkan segelas Tamr Hind. Aku terheran, kenapa cuma satu gelas? Si pelayan melarangku memberi minum kepada dua gadis kecil itu, dan mengusirnya. Aku marah, aku tidak terima dengan perlakuan si pelayan. Dan tidak hanya si pelayan, orang-orang yang duduk di Ashab Gami’ pun memberi isyarat kepadaku agar tidak membelikan mereka minum. Ada apa ini? Kenapa menjadi begini? Aku memberikan uang 1 Pound kepada penjaga, aku pergi. Aku kecewa.

Aku mencoba mencari dua gadis kecil itu, tapi tak kutemukan sosok mungil itu lagi. Aku berjalan dengan perasaan teriris berbalut amarah. Hak-ku bukan?! membelikan dan mentraktir orang. Itu kan uangku sendiri. Tidak ada ruginya bagi mereka. Sehina itukah para pengemis di mata mereka, sampai menyentuh gelas pun tak diizinkan.

Berkali-kali aku melihat pengemis dilakukan sehina itu di sini, kecuali…..satu teman Mesirku yang memanusiakan pengemis. Dia benar-benar menghormati semua kalangan. Tidak ada kasta di benaknya. Teman itu bernama Kheloud.

Pernah suatu malam, aku berjalan berdua dengannya. Saat kami melewati Ashab Gami’, aku menawarinya untuk singgah sejenak. Aku menawarinya jus Mangga atau Strawberi, tetapi ia menolak. Dia lebih memilih minum Tamr Hind. Gadis yang baik, berbeda dengan gadis Mesir kebanyakan yang matre. Jika bersamaku, dia memilih sesuatu yang paling murah. Seperti Tamr Hind yang baru saja dia pesan, yang hanya seharga 1 Pound. Padahal aku tahu, minuman favoritnya adalah jus Mangga dan Strawberi yang harganya 3 Pound.

Beberapa orang Indonesia yang kebetulan di tempat itu, menatap tak berkedip ke arah kita. Aku bisa memaklumi hal ini. Mungkin mereka jarang dan bahkan tidak pernah melihat sosok pemuda Indonesia menggandeng gadis Mesir.

Minuman yang kami pesan telah tersaji. Aku meminumnya setengah gelas, lantas di belakangku muncul ibu-ibu pengemis dan anak bayinya mengambil minumanku yang tergeletak di atas meja. Mengambil tanpa sepatah katapun yang terucap.

“Zein…..kamu tidak marah?” gadis mesir berkacamata itu menegurku keheranan. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Kheloud mengatur nafas sejenak lantas berdiri memanggil pengemis itu.

Alangkah terkejutnya aku, pemandangan yang baru pertama kali aku lihat, Kheloud menegur si pengemis dengan tutur kata yang teramat sopan dan lembut. Kata-katanya pelan dan halus. Tidak terkesan menggurui.

Selama pengamatanku, gadis Mesir yang parasnya secantik bidadari akan dengan mudahnya berubah menjadi nenek sihir jika marah. Tetapi Kheloud berbeda. Emosinya stabil.

Dan…si pengemis tersenyum karena malu mendengar teguran-teguran sopan dari bibir Kheloud. Hal yang aku alami untuk pertama kalinya di Mesir ini. Mayoritas, jika orang Mesir ditegur, akan terjadi adu mulut tak terelakkan. Meski kita menegurnya dengan sopan.

Di akhir….Kheloud meminta maaf kepadaku, atas kejadian yang terjadi malam ini. Sebagai orang Mesir, dia merasa tidak enak karena insiden ini. Ah…begitu baiknya kau Kheloud…..di tengah masyarakat Mesir yang keras, ada kamu yang berhati lembut. Ibarat setitik cahaya di kekelaman jiwa. Dan setetes embun di tanah yang gersang.
0 Responses

Posting Komentar

abcs