Kamis, 26 April 2011
Kepalaku kembali pening, aku tak bisa lagi berbuat leluasa
pagi ini. di saat mataku kembali terjaga pagi ini, rasa pening tiba-tiba
menyergapku. Aku paksakan diriku keluar kamar, mencari terik matahari dan
melahap lembar demi lembar buku diktat kuliah. Namun mataku tak kuasa melihat
lama lembaran putih itu. aku kembali ke kamar dan kembali meletakkan kepala di
kasur.
Mungkin sudah tiga hari ini aku tinggal di kamar Wahid.
Jenuh, sungguh jenuh selalu berdiam diri di kamar sendiri. Aku ingin mencari
suasana baru untuk belajar.
Rabu lalu, kami berdua melepas penat sejenak mengunjungi Babu
Sya’riyah. Menelusuri komplek bersejarah dan mencicipi kopi Perancis di
malam yang rindang.
***
Malam ini, kami memutuskan untuk mencicipi makanan di
restoran Cina. sebenar nya bisa saja kami memasak sendiri, namun karena perut
kami yang sangat melilit disertai kami yang terlalu letih untuk memasak hari
ini, ditambah rasa peningku yang kian tak tertahankan, kami memutuskan untuk
makan di resto itu.
Angin berhembus sangat kencang, menembus pori kulit kami.
Rasa sesal hinggap di benak kami, melupakan baju hangat tuk menutupi diri.
Aku mencoba menerawang awan yang gulita. Mencoba mencerna
alasan sakitku, namun aku tak menemukan alasan yang logis. Sejak kemarin aku
tidak memakan makanan aneh, juga tak mungkin aku masuk angin, karena aku memakai pakaian yang
cukup hangat kemarin.
Benakku masih bergerak mencari alasan yang memuaskan hati.
Apa karena sakitku karena Kheloud juga sakit? Sore hari aku mengatakan berita
sakitku padanya, namun seperti yang kuduga sebelumnya, dia juga mengalami sakit
yang sama. Entah apa yang terjadi dengan kita, saat aku sakit, pasti dia juga
sedang mengalami sakit.
Kita seperti satu jiwa yang terbelah menjadi dua. Bagian
satu bisa merasakan bagian yang lainnya. Di satu sisi dia berkata sangat sedih
dengan deritaku, di sisi lain dia berkata sangat senang mempunya belahan jiwa
yang bisa merasakan apa yang dia rasakan. Dan tidak sekali-dua kali kita
merasakan ini. namun berkali-kali.
Aku kembali merasakan terpaan dinginnya malam di tengah
lahapku memakan mie Cina. Mengingatkan memoriku saat pertama menyentuhnya saat
itu. aku tak mampu menghabiskan porsi besar mie Cina saat pertama kali
mencobanya. Akupun tak bisa menikmati rasanya.
Namun sejak aku bekerja di resto Cina, aku terpaksa harus
memakannya setiap hari. Sedikit demi sedikit lidahku mulai terbiasa, merasakan
kelezatan di balik rasa hambar itu. aku pun mulai bisa menghabiskan porsi besar
masakan Cina, bahkan terkadang aku masih merasa kurang.
Angin masih menghempaskan diri kami, menghempaskan ujung
pakaian dan helaian rambut kami. Kami merencanakan singgah sejenak di warnet
Cina, karena koneksi modem kami teramat jongkok. Namun kita harus dikecewakan,
karena semua warnet itu penuh, tak ada tempat untuk kita singgah.
Kulewati koridor warnet yang berdinding putih itu. ada
sebuah ruangan baru yang sebelumnya tak aku temui. Dan sosok pria yang berbadan
gemuk sedang memukul adonan membuat mie. Sosok yang sepertinya aku kenal.
Dia berbalik, dan menyapaku. Mengmbangkan senyum yang belum
pernah aku lihat sebelumnya. Senyum seolah bertemu sahabat dekat yang sudah
lama tak berjumpa. Itu Sholeh, mantan bos Cinaku. Teringat saat-saat bersamanya
yang sungguh menyiksa. Bukan hanya aku, seluruh orang Indonesia dan orang
Afrika yang bekerja dengannya pasti pernah merasakan emosi kekanakannya. Emosi
tanpa kedewasaan yang tak kenal tempat dan waktu. Mungkin karena alasan itu
banyak orang yang tak tahan berlama-lama bekerja di sana.
Dan dari dapur itu, ku lihat sosok istrinya. Ibu yang selalu
baik kepada kami. Yang selalu berusaha melindungi kami dari sosok kejam Sholeh.
Sering dia menitikkan air wajah iba kepada kami saat emosi Sholeh kian tak
terkontrol. Saat melihat kami terlalu letih, dia begitu baiknya menyuruh kami
untuk menggendong Basmalah (nama anak perempuannya), dan menggantikan pekerjaan
kami. Dengan begitu si Sholeh hanya bisa diam dan tidak akan menyuruh kami
berbuat ini-itu. sangat berbeda dengan pria gemuk itu yang tak kenal nurani yang tidak mengizinkan kami
duduk sejenak untuk melepas lelah. Kadang aku sempat hampir mau pingsan, aku
terjatuh tidak sadarkan diri karena begitu letihnya tubuh ini. beruntungnya
cuma beberapa menit dan saat itu aku
tengah di dapur sendirian. Keadaan seletih itu, dia tetap tidak mengizinkan
kami tuk duduk.
Namun senyum yang mengembang di wajah Sholeh saat ini,
sedikit menghilangkan kenangan buruk bersamanya. aku dengar beberapa bulan yang
lalu dia dan keluarganya kembali ke negeri Cina dan menjual semua saham resto
ke orang lain. Saat kembali dari Cina, dia keteteran dan mencoba mengelilingi
resto-resto untuk membeli sahamnya, namun tak ada yang mau. Dan bisa kutangkap
sekarang dia bekerja di sini. bersama istrinya, sendiri tanpa ada koki dan
pekerja yang membantu.
Kepalaku masih sakit saat itu, entah bagaimana caraku untuk
mengobati. Aku teringat bahwa hari ini aku sama sekali belum mengeluarkan
sedekah. Sedekah adalah obat kesehatan bukan? Beberapa kali aku sakit, dan
penyakit itu brangsur-angsur sembuh karena aku bersedekah. Dan beberapa hari
yang lalu Wahid juga sakit, dan dia memberi nasi goreng ke salah seorang
temannya, dan tanpa di duga penyakitnya langsung sembuh seketika.
Ku lihat tiga orang pengemis berjejer di tembok asrama kami.
Menunggu santunan dari penduduk asrama. Saat aku aku dilanda perasaan galau,
pengemis mana yang harus aku pilih? Ibu-ibu yang duduk tak bergerak di ujung
kiri, bapak-bapak yang juga tak bergerak di bagian tengah, atau ibu yang
ditemani anak perempuannya di bagian paling kanan.
Dan aku memilih bapak pengemis yang duduk di tengah. Dengan
pertimbangan, orang-orang pasti lebih menyantuni kedua ibu itu dari pada si
bapak, apalagi si ibu yang ditemani anak perempuannya yang masih kecil. Secara tidak
langsung kedua ibu itu yang mendapat santunan lebih banyak dari si bapak. Dan
di tangan lemah itulah aku memberi uang.
Bapak yang awalnya terdiam tanpa kata, seketika mendongakkan
kepala, merasakan butiran logam menyentuh telapak tangannya. Berbagai do’a
keluar dari bibir renta itu, sempat kudengar sayup-sayup doanya untuk
kesuksesanku. Aku mengucapkan “Amin” dengan lirih. Semoga Allah memudahkan
ujianku, dan memberikan aku kesuksesan.
Dan usai pemberian sedekah itu, tubuhku serasa begitu
ringan. aku merasakan kesehatanku berangsur-angsur pulih. Dan aku sempatkan
diri ini mengunjungi teman yang sudah
lama tak kujumpai di gedung lain. Dan karena kunjungan itu, sisa-sisa rasa
sakitku lenyap. SubhanAllah, Alhamdulillah. Sakitku terobati dengan sedekah dan
shilaturrahim.
Zhie