Dua Pilihan


Kamis, 19 April 2012

Dua gadis Mesir menunggu keputusan yang akan keluar dari bibirku. Saat itu, suasana Metro (Stasiun Bawah Tanah) begitu ramai. Namun aku merasa begitu senyap. Suara berisik dan ramai tak lagi kudengar di benakku. Aku berperang di dalam hatiku. Memilih di antara mereka berdua.

***

Dari sore, aku melangkahkan kakiku menuju Japan Foundation. Ada acara di sana. Kuliah umum tentang “Seni dan Psikologi”, lebih tepatnya cara mengetahui kecacatan mental seseorang dari gambar yang dia buat.

Hari ini aku mengundang Kheloud bersamaku, namun kita berangkat dari tempat yang berbeda. Aku berangkat dari asramaku, sedang Kheloud berangkat dari rumahnya, Zahra’.

Ini pertama kali aku mengajaknya bersama ke Japan Foundation. Dia cemburu, melihat fotoku bersama salah satu gadis Mesir, Mariam.

Aku pertama kali bertemu Mariam saat mengerjakan Origami (seni melipat kertas khas Jepang) bersama. Saat itu, aku satu tim dengan Mariam. Dan dari situ kita mengambil foto bersama dan kemudian diupload.

Melihat foto itu, Kheloud terkadang berkomentar, kecemburuan mulai meronakan hatinya. Terkadang aku berpikir. Bukankah kita cuma sahabat? Pacar bukan, tunangan juga bukan, suami-istri juga bukan? Lantas kenapa harus cemburu?

Setiap bertemu aku terkadang dengan nada kesedihan dia berkata, “kamu kelihatan imut di foto itu Zein.” Seolah menyesali bahwa dia tidak pernah berfoto berdua bersama. Seperti itulah Kheloud. Dia tidak ingin difoto. Apalagi dengan laki-laki. Kalaupun dia ingin difoto pasti harus foto dengan sesame perempuan.

***

Aku menunggu Kheloud sampai awan petang sudah menggelayuti angkasa. Sosok Kheloud tak juga datang. Setiap ada orang yang membuka pintu ruang, aku pasti menolehkan kepalaku, berharap sosok Kheloud yang membuka pintu itu.

Sampai akhir, aku tak melihat sosok gadis berkacamata itu. aku melangkah keluar, namun ada seorang pemuda Mesir yang mengajakku mengobrol. Di tengah obrolan kami, ada seseorang yang menyentuh punggungku. Kheloud…!! Saat itu juga Mariam menyapaku, mengajakku pulang bersama.

Aku memperkenalkan Kheloud kepada Mariaam. Dan kubiarkan mereka saling mengobrol. Aku hanya menjaga diamku. Tak ingin banyak kata. Aku takut, jika aku berbicara dengan salah satu dari mereka, yang lain akan merasa sendiri dan tak diperhatikan.

Aku melihat garis muka Kheloud, seolah kesedihan menggelayut di wajahnya. Ada apakah? Apa karena aku juga mengajak Mariam bersamaku?

Jika aku perhatikan, Mariam lebih sopan dari Kheloud. Meski mereka sama-sama sopan. Ada senyum yang berbeda yang menghiasi wajah Mariam. Senyum yang menenangkan.

Mariam kuliah di jurusan dokter gigi. Mungkin itu pekerjaan yang cocok dengan dirinya. Senyumnya pasti mampu menenangkan pasiennya. Menghilangkan kekhawatiran dalam benak, menghempaskan kegundahan dalam jiwa.

Perangai Mariam begitu lembut. Saat Kheloud kehabisan kata karena kesedihan, Mariam tetap bisa mencairkan suasana. Menjaga obrolan dengan Kheloud.

Kita menuruni tangga bawah tanah. Aku beli tiket tiga buah. Dan di sinilah kebimbangan mulai menghinggapiku. Siapa yang harus aku antar? Melihat suasana Mesir yang berbahaya akhir-akhir ini. aku tak mungkin membiarkan mereka berjalan sendiri.

Mungkin aku bisa mengantar mereka sekaligus jika mereka tinggal di satu jalur yang sama. Namun, merka tinggak berjauhan dan saling berlawanan arah. Mariam tinggal di Haram ( nama lokasi dekat Piramid ) sedangkan Kheloud tinggal di Zahra’.

Melihat wajah Kheloud yang dilanda kesedihan, akhirnya aku memilih mengantar Kheloud. Aku mengucapkan salam kepada Mariam. Sebelum berpisah, calon dokter gigi itu mengucap sepatah kata kepadaku, “Zein, akahkan kamu hadir Kamis besok?” Mariam mengharapkan kehadiranku, aku tersenyum tipis kepadanya. aku menangis di dalam hati, menyesal meninggalkan Mariam sendiri. Namun Kheloud sedang dilanda kesedihan, aku ingin menghiburnya selama perjalanan. Aku meninggalkan Mariam dengan tetesan air mata di hatiku. Semoga kamu mengerti keadaanku Mariam.

Zhie
0 Responses

Posting Komentar

abcs