Aku lupa hari apa saat itu . . .
Sore
hari, aku tengah menyibukkan diri dengan cucianku. Menggantungnya di bangunan
lantai empat satu per satu. Dan terlihat jelas oleh mataku, Rais ditemani dua
temanku, Ulul dan Jadzam. Aku memanggil mereka dari atas, namun suaraku tak
terlalu jelas terdengar.
Aku
melihat Rais berjalan lemah menuju kamar. Wajahnya begitu pucat dan matanya
begitu kuning. Sudah berminggu-minggu temanku ini menderita Hepatitis A. Di ujian pertama, dia tidak bisa ikut karena kondisinya begitu
lemah. Pilihan yang sungguh bijak menurutku. Jika itu aku, mungkin tidak bisa
mengambil keputusan sebijak itu. Aku akan berangkat walau diriku nanti mati di
tengah jalan. Karena tidak aja ujian ulang bagi mereka yang sakit. Secara
otomatis mereka yang tidak bisa menghadiri ujian, dianggap tidak lulus dan harus
mengulang tahun depan.
Namun di ujian kedua kali ini,
Rais memaksakan diri untuk mengikuti ujian. Berhari-hari yang lalu dia
memintaku untuk membimbingnya belajar. Aku menyanggupi dan mencoba mengajarnya
dengan metode yang paling mudah. Karena dia sakit keras, tak bisa terlalu capek
berpikir.
Dia berbaring usai memasuki
kamar. Aku bertanya bagaimana ujian tadi? Dia berkata sempat terjatuh. Aku
miris mendengarnya. Saat memasuki ruangan ujian, dia tidak mendapat kursi.
Untung ada Ulul dan Jadzam yang menemaninya dan mencarikan kursi. Beberapa saat
kemudian Rais terjatuh dari kursi.
Mataku menyempit. Seolah ikut
merasakan penderitaannya saat itu. Aku menyuruhnya untuk beristirahat. Dan
dengan bibirnya yang bergetar dia berkata . . . “Makasih sudah mengajariku,
Jay. Itu menjadi amalmu. Allah pasti membalasnya.”
Saat itu, seolah sesuatu yang
besar akan segera terjadi. Doa itu, doa yang diucapkan bibir pucat itu. . . aku
akan terus menunggunya. Bisikan hatiku tak akan membohongiku. Bukankah doa
hamba yang sakit akan didengar Allah? Bukankah doa orang yang lemah
diperhatikan Allah? Dan doa orang sakit begitu tulus meluncur dari hati. Orang
sakit tidak akan bisa basa-basi dan menggombal.
Saat diri kita sakit keras,
bisakah kita basa-basi? Saat tubuh kita dalam keadaan lemah, bisakah bibir ini
menggombal? Tidak bisa bukan? Yang keluar dari mulut kita sesuatu yang penting.
Sesuatu yang murni dari hati. Pikiran kita tak lagi bisa membantu. Sanubari
kita yang menggerakkan lidah.
Dan dari bibir lemah itu, Aku
menunggu. Menunggu sebuah keajaiban besar yang Allah berikan untukku.
Posting Komentar