Si Peneduh Hati

Senin, 18 Februari 2013

                Aku terjaga sebelum teman-teman sekamarku terbangun. Aku bersyukur bisa terbangun tiga puluh menit lebih cepat dari teman-teman. Aku kibaskan selimut tebal berwarna biruku. Ku tak ingin berlama-lama dalam kenyamanan. dan bergegas mencuci mukaku. Aku sholat dan mulai membungkus kado.

                Aku sengaja mencari suasana hening untuk membungkus bingkisan-bingkisan itu. Aku tak ingin ditanya-tanyai oleh teman-temanku. Sebenarnya aku sudah merelakan diri begadang sampai lebih dari jam satu. Menunggu teman-temanku tertidur. Namun justru akulah yang tertidur lebih awal.

                Tanggal 20 Februari Salma ulang tahun. Dan tanggal 21 Februari Mariam ulang tahun. Mereka keluarga yang berarti bagiku. Setidaknya, selama aku di sini . . . aku ingin memberikan kenangan yang berkesan buat mereka. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi padaku nantinya. Akankah aku bisa bersama mereka selamanya? Hanya Allah yang tahu.

                Sudah beberapa minggu ini aku tak bertemu dengan Mariam. Suasana Mesir begitu kacau. Mariam tidak diizinkan keluar rumah oleh ibunya. Hanya dibolehkan ke tempat praktek. Dan beruntungnya dia praktek di rumah sakit Husein. Letak rumah sakit itu hanya beberapa kilometer dari asramaku.

                Meski dekat, aku tak pernah menjenguknya. Entah, aku tak mempunyai dorongan untuk menemui Mariam di sana. Aku hanya terlena dengan kenyamananku di asrama. Dan hari ini adalah hari pertama aku menemuinya di Rumah Sakit Husein.

                Rumah Sakit yang begitu ramai dan berisik. Entah kenapa Mariam pindah tempat praktek dari Rumah Sakit Qasr Aini yang mewah dan megah (meskipun aku belum pernah ke sana secara langsung, hanya mendengar saja) menuju Rumah Sakit Husein yang super kacau. Mungkinkah dia memilih Rumah Sakit itu karena dekat dengan asramaku? Entah. Aku begitu terkesan dia mampu bertahan di Rumah Sakit itu.

                Aku telusuri sudut-sudut rumah sakit itu, namun tak kutemukan sosok Mariam. Sampai adzan dzuhur berkumandang aku tak juga menemukannya. Aku memutuskan untuk sholat dzuhur di masjid Al-Azhar. Kulihat ada pesan singkat dari Mariam.

“Kamu tahu tempat pengobatan gigi?”

                Usai sholat aku kembali ke Rumah Sakit itu dan bertanya-tanya ke beberapa orang. Beberapa pemuda Mesir yang sok tahu asal menyebutkan arah dan berhasil membuatku tersesat. Jam menunjukkan pukul 12:30. Waktu dimana Mariam bergegas pulang. Aku tak henti-hentinya memasrahkan diri kepada Allah. Aku berdo’a agar jangan membuat Mariam menungguku. Seharusnya aku yang menunggu Mariam.

                Aku melewati sebuah pintu yang terbuka sebagian. Aku lihat sekilas lantas kuhentikan langkahku. Aku kembali membalikkan badanku dan mencoba memfokuskan pandanganku. Tidak salah lagi. Itu Mariam. Baru kali ini aku melihat Mariam menangani pasien. Baru kali ini juga aku melihat Mariam memakai baju dokter. Aku terkesima. Dia terlihat begitu cantik dengan jilbab pink dan jubah putih itu. Cantik nan elegan.

                Aku duduk di bangku yang tersedia. Aku mengotak-atik ponselku. Berniat membalas pesan singkatnya namun terlambat. Dia sudah ada di depanku. Dan terkejut dengan kehadiranku.

“Hey, Zain . . . tunggu sebentar ya”

                Saat itu, jantungku kembali berdebar. Sama seperti saat diri ini pertama kali bertemu dengan Mariam. Rasa suka itu membuncah. Dadaku begitu hangat seolah ikut menghangatkan tiap sudut jiwaku. Tak terpikirkan olehku mengambil fotonya. Foto saat mengenakan baju dokter. Wajahnya begitu bercahaya membuatku tak bisa berlama-lama menatap wajahnya. Aku tertunduk.

                Kami pulang menelusuri setapak Husein. Banyak orang Indonesia bertebaran. Nampaknya mereka baru pulang kuliah.

“Ada Zain, di mana-mana,” Ucap Mariam. Aku tersenyum. Begitu lugunya dia. Memanggil orang Indonesia dengan sebutan Zain.

“Mereka nampak seperti saudara-saudaramu Zain. Mirip.”

“Pernah suatu hari, ada seseorang yang mirip denganmu dari belakang. Kemudian aku bertanya, “Apakah Anda Zain?” ternyata bukan.”

Aku kembali tersenyum.

                Dan Mariam mengantarku sampai Metro Abbasea, Metro yang paling dekat dengan asramaku. Sebenarnya aku tak ingin dia mengantarku. Namun di sana ada tempat duduk nyaman berbentuk setengah lingkaran. Hanya tempat itulah yang cocok untuk memberikan hadiah. Hadiah yang aku simpan di dalam tas.

                 Kami duduk menunggu Metro. Aku segera mengeluarkan isi tasku. “Mariam, selamat ulang tahun”

“SubhanAllah, Zain . . . aku lupa dengan ulang tahunku sendiri.

                Aku tersenyum melihat rasa terkejutnya. Dan aku lihat tingkahnya sungguh mirip diriku. Rata-rata perempuan setelah menerima bingkisan kado pasti memangku kado itu atau mencoba melirik apa di dalam kado itu. Namun Mariam sama sekali beda. Hadiah itu tidak dia ambil di hadapanku. Tetap dia letakkan di sampingnya dan kedua tangannya melekat dan di letakkan di atas pangkuannya. Sebagian rasa, tidak sabaran ingin melihat isi bungkusan itu dan ingin segera memegangnya. Sebagian lain tidak ingin terlihat seperti perempuan matre di hadapanku.

                Seperti aku, jika ibu Mariam memberi sesuatu kepadaku. Aku senang, namun tak ingin menunjukkan sifat senangku. Atau tidak langsung memegang hadiah itu. Aku takut diriku terlihat seperti pemuda yang gila hadiah atau gila pemberian.

                Sungguh perempuan yang terjaga kehormatannya. Aku selalu berpikir bagaimana kedua orang tuanya mendidik. Begitu matang, begitu dewasa dan begitu elegan.

                Aku memasuki metro. Aku menyuruhnya pulang tanpa menunggu Metro berangkat. Karena perjalanan ke rumahnya sungguh jauh. Namun, dia tetap saja berdiri di depan Metro yang aku tumpangi. Berdiri sambil melukis senyum. Aku membalas senyumnya lewat jendela kecil di dalam Metro. Lama kami bertukar senyum dan berkomunikasi lewat tebaran senyum itu.

                JDUUK!!

                Metro bergoyang sekali. Seperti mobil yang melewati gundukan batu. Tanda metro akan segera berjalan. Samar-samar terdengar suara mesin yang mulai berjalan. Dan metro pun berjalan sedikit demi sedikit. Sosok Mariam mulai tak terlihat. Sedikit demi sedikit senyum itu pun hilang tertutupi gerbong kereta. Tiba-tiba . . . rindu yang membuncah mengisi relung hatiku. Rindu yang tak terbendung mengingat bayang Mariam. Yang rela berdiri lama menunggu kepergianku. Yang rela tersenyum lama agar aku tak kesepian di dalam Metro . . .


0 Responses

Posting Komentar

abcs