Sabtu, 8 Januari 2011
Hari ini ujian pertamaku di Al-Azhar. Berdebar, pasti. Teman satu jurusanku, Alwi mengatakan kalau sejak semalam dia tidak bisa tidur. Bisa aku maklumi, karena saat ini kita berdiri di universitas paling tua di dunia. Wajar jika kita tegang dan berdebar menghadapinya. Karena kita tidak tahu soal apa yang akan di keluarkan dan proses ujian seperti apa yang akan di laksanakan universitas bergengsi itu.
Dua minggu sebelum ujian dilangsungkan, aku mati-matian belajar, di kamar, aku berusaha membuang bantalku agar aku tidak tergoda untuk berbaring dan tertidur, di masjid aku menahan dinginnya lantai masjid dan udara musim dingin yang tertiup dari sela-sela pintu dan candela. Aku harus bertahan, aku tidak ingin pengorbanan kakak dan orang tuaku sia-sia. Saat belajar di keheningan masjid dan kesunyian malam, tanpa terasa dadaku sesak, menyesal karena aku tidak menggunakan waktuku dengan baik. Aku terlalu melalaikan muqarrar[1], aku selalu berpikiran, aku akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh besok, besok, dan lusa. Sampai akhirnya Allah memberi pelajaran kepadaku, dengan semakin cepatnya waktu ujian di hadapanku. Kenapa aku selalu seperti ini? Selalu menunda-nunda. Selalu lalai, tidak bisa belajar dari pengalaman kemarin. Allah……
Aku masuk di jurusan Dirasat Islamiyah, yang sistem ujiannya paling berbeda dengan jurusan-jurusan lain. Jika di jurusan-jurusan lain antara Maddah[2] satu dan Maddah lainnya ada selang tiga sampai empat hari untuk mengulang dan belajar, tapi di Dirasat Islamiyah tidak. Antara dua Maddah hanya selang satu hari, waktu untuk mengulang terbatas.
Tapi aku bersyukur, ada sisi positif selangnya satu hari di antara dua Maddah, setelah ujian kita tidak bisa bersantai ria, kita langsung pegang Muqorror untuk ujian selanjutnya. Tidak ada waktu berleha-leha. Berbeda dengan jurusan lain yang selang waktunya lama. Seperti yang aku lihat Selesai ujian pertama mereka berleha-leha, dengan alasan istirahat, mereka kebablasan. Untuk memulainya pun sangat berat, dan tanpa mereka kira, ujian sudah di depan mata, sedangkan bekal masih minim. Tapi tidak semuanya seperti itu kawan, hanya sebagian.
Hari ini aku ujian pukul sepuluh pagi, aku berangkat bersama Hariadi, Alwi sudah berangkat duluan, karena aku yang menyuruhnya, Alwi menunggu kami di Mahattah, terminal. sekitar jam setengah sembilan Alwi menelpon aku, dia menanyakan lokasiku dimana. Dia bilang sudah ada bis di Mahattah. Aku menyuruhnya berangkat duluan, karena aku menunggu Hariadi di kamarnya. aku tidak ingin menjadi penghambatnya, apalagi kita belum tahu dimana tempat ujian kita.
Saat berjalan menuju gerbang asrama, Hariadi menanyakan kesiapanku. Barang-barang apa saja yang sudah di bawa. Saat lisannya tertuju pada satu kata, Kerneh, kartu pelajar. Ya Allah….aku lupa..!! kita tidak akan bisa ikut ujian tanpa kartu itu. Aku langsung berlari dan berkata pada Hariadi agar menungguku di Mahattah. Dengan segenap tenaga aku kerahkan untuk mencapai Gedung Sya’rowi, asramaku. Dengan desiran angin lembut musim dingin yang menerpa wajah dan setiap bagian anggota tubuhku yang terbalut sweater, aku tetap berlari. Demi mengejar waktuku, meski haus dahaga mulai menggerogoti kerongkonganku, aku terus berlari. Dan sampailah aku di gedung Sya’rowi lantai satu. Perjuanganku belum usai. Kamarku terletak di lantai empat. Aku istirahat sejenak, ku hela nafas panjang, ku mulai mendaki dengan semangat. Lantai demi lantai ku lalui. Beberapa orang kulit hitam ku jumpai menuruni tangga dan berpapasan denganku. Ku ucapkan salam saat aku berpapasan dengan mereka. Mereka menjawabnya dengan senyum yang penuh keikhlasan.
Dan akhirnya sampai juga aku di kamar. Ku buka pintu, dan terlihat teman sekamarku, Boris dari
Aku menemukan kernehku di dalam dompet, sejenak pikiranku tertuju pada kenangan di dompet itu. Saat di jogja ibu rela menunggu aku mendaftar, tes sampai menunggu hasil pengumuman, berminggu-minggu, bayangkan. Kita hanya terdiam di kamar penginapan yang sempit, membosankan?, tentu. Aku hanya bisa melihat TV, waktu itu tiap sore ada film The Batman, serial kartun Batman yang terbaru. Dan malamnya ibu menonton sinetron religi Hidayat, waktu itu sedang gencar-gencarnya film seperti itu. Aku kasihan dan terenyuh saat itu, aku sudah banyak merepotkan ibu. Aku tidak ingin menyusahkan ibu. Aku lebih baik menyusahkan diriku sendiri daripada menyusahkan orangtuaku, karena hal itu membuatku bisa lebih tenang.
Kulitku gatal-gatal, ini sering terjadi di musim dingin. Apalagi sehabis aku lari tadi. Menurut analisaku, penyebab gatal-gatal itu karena keringat yang tidak bisa keluar melewati pori-pori, akibat udara dingin yang mempersempit pori-pori.
Aku ambil kernehku, aku bersiap kembali untuk berlari ke Mahattah depan asramaku. Aku kembali berlari. Aku cari Hariadi di setiap sudut Mahattah tapi aku tidak menemukannya. Ya Allah….benar-benar teman yang Individual, bukan teman yang cocok untuk di jadikan sahabat. Untuk kesekian kalinya aku di kecewakan seperti ini. Padahal dia yang menyuruhku berangkat bersama, dia yang menyuruhku menunggu dia mandi sejenak, Yaa Salam…..tahu begini aku berangkat bersama Alwi tanpa menunggu Hariadi. Aku terpaksa naik bis sendirian, untunglah bis yang menuju Madinatun Nasr langsung muncul, aku langsung menaikinya.
Aku turun di jembatan layang, di perjalanan menuju kuliah aku bertemu dengan orang hitam yang ternyata jurusannya sama denganku, Dirasat Islamiyah. Aly namanya. Seingatku dia dari
Suasana di luar sama sekali berbeda dari biasanya. Di waktu ujian ini, banyak madam[3] dan ammu[4] menggelar dagangan mereka di depan tembok-tembok depan kuliah. Mereka berjualan berbagai macam alat tulis dan sempat aku lihat juga mereka berjualam roti yang mungkin harganya Rub[5]’ atau Nush[6]. Aku berhenti di salah satu penjual laki-laki dan membeli penggaris dua buah. Satu untukku dan satu untuk Boris. Harganya satu Pound. Saat aku berjalan sedikit, aku baru menyadari kalau di sebelahnya ada Madam yang berjualan juga, dan sepi oleh pengunjung. Rasa sesal menghinggapi hatiku. Jika tahu sejak dari awal, aku tentu lebih memilih membeli di Madam itu. Tapi……. tentu semua ada hikmahnya. Untukku, juga untuk madam itu.
Zhie
Posting Komentar