Perjalanan ke Pasar Husein

Sabtu, 12-Februari-2011

Hari ini teman sekamarku Dana ulang tahun, dia berencana ingin membuat Syukuran untuk teman-teman Al-Masry[1].



Sejak pukul sebelas kita berangkat ke Husein. Aku, Dana, Hanif dan Yaqin sudah mempersiapkan barang-barang untuk belanja.



Awalnya kita berencana untuk berangkat jam sepuluh, tapi karena air di Bu’uts[2] habis sejak tadi subuh, terpaksa kita undur sampai airnya hidup.



Di perjalanan kami membeli sayur-sayuran, ada beberapa penjual sayur di sana, tapi Yaqin menuju ke tempat “langganan”, toko sayur yang penjaganya seorang gadis mesir, Hanif tertawa, targetnya selalu toko ini, kalau Yaqin beli sayur.



Gadis mesir dengan balutan Jalabiyah[3] hitam dan kerudung yang ditata sembarangan memberikan kesan aneh bagiku, bagaimana tidak? Masih terlihat olehku rambut pirang di keningnya. Tidak cantik aku pikir, karena aku pernah melihat yang jauh lebih cantik dari ini. Tapi aku yakin kalau orang lain dimintai komentar tentang dia, mereka pasti bilang, “ dia cantik ”.



Ku lihat di wajahnya begitu tebal Make-Up yang dia pakai, aku ancungi jempol gaya Make-Up para wanita mesir, setebal apapun bedak yang mereka pakai, mereka tidak kelihatan menor, malah terkesan anggun dan memperindah wajahnya.



Tanpa sengaja ku lihat jemarinya mangambil barang-barang pesanan kami, dan ku bedakan dengan wajahnya, kontras sekali. Tangan dan warna kulit wanita pedesaan di satukan dengan gaya wajah gadis metropolitan. Mmmm….jadi agak illfeel.



#######



Kami melanjutkan perjalanan, menelusuri setiap jengkal pasar Husein bagian dalam, mata kami tertuju pada satu toko, Toko ikan. Aneka ikan dipamerkan di luar toko.



Dan…sesuatu yang tak terduga terjadi, Perkelahian di Pasar, seorang pemuda datang secara tiba-tiba sambil mengomel ke arah penjual ikan, entah siapa pemuda itu, mungkin saingan bisnisnya.



Si penjual ikan pun tak mau kalah, mereka saling menarik kerah baju dan terjadi aksi hantam, aku yang berdiri di belakang pun terkena dorongan tubuh kekar mereka, Yaqin dan Hanif menghindar, aku pun juga begitu, Dana juga menghindar tapi ke arah yang berlainan, kami mengurungkan membeli ikan disana, kami ingin mencari tempat lain.



Sebelum kita melangkah jauh ke luar, mencari toko lain, sejenak aku melihat ke belakang, orang-orang di pasar ramai mengerumuni kedua pemuda tersebut, melerai dan mendinginkan aksi kekanakan itu.



Belum beberapa langkah kita menjauh, secara mendadak teman-teman kembali lagi ke tempat tersebut, aku tidak tahu ada apa, mungkin karena di tempat lain harganya mahal, atau satu-satunya penjual ikan hanya ada di sana. Karena yang benar-benar faham dengan keadaan serta tata letak kawasan Husein hanya Hanif, sebelum pindah ke Bu’uts[4], Hanif beberapa bulan tinggal di sana.



Kami lihat keadaan di sekitar, konflik terlihat sudah aman, kami berniat untuk membeli ikan dan menanyakan harga masing-masing ikan.



Adu mulut menyeruak kembali, terdengar sangat memekikkan telinga, hati pemuda penjual ikan memanas, dan mengambil pisau besar pemotong ikan, Yaqin dan Hanif melihat hal itu langsung keluar, aku dan Dana pun mengikuti mereka. Ku lihat si pemuda berdiri penuh emosi sambil menggenggam pisau yang dia sembunyikan di bawah meja.



Menuju ke tempat penjual daging, kami bepikir sejenak sebelum memutuskan membeli daging, bemusyawarah.



Memutuskan untuk kembali ke pasar ikan tersebut, kita tidak mungkin menggantinya dengan daging atau ayam, karena hampir setiap hari kita makan kedua hal itu.



Kita kembali menapakkan kaki ke penjual ikan, sambil berharap konflik tidak terjadi lagi, kita membeli ikan Tuna tiga kilogram, setiap kilonya seharga 12 Pound. Kami melanjutkan langkah kami menuju masjid Al-Azhar.



Sebelum menuju masjid Al-Azhar, Dana mentraktir kami Tha’miyah, dulu aku sering berpikir tentang komposisi Tha’miyah yang lezat dengan sensasi kriuk-nya, tapi tak juga ku temukan. tapi disini, aku menemukannya.



Di dalam toko yang sempit itu, pelayannya tidak hanya cuma menggoreng bahan yang sudah jadi layaknya di luar, tapi di dalan sini, aku melihat mereka juga menyiapkan komposisinya, sayur-sayuran yang tampak seperti Seledri, di potong kecil-kecil batangnya, sementara daunnya di buang, kemudian digiling bersama kacang kedelai dan tepung, tinggal digoreng deh.



Pantas ada sensasi kriuk-nya, ingat tempe yang di goreng kering? Bagaimana rasanya saat kamu memakannya? Ada sensasi kriuk-nya kan? Nah..!! dari sanalah sensasi kriuk di Tha’miyah, KACANG KEDELAI.



Ah…..tiba-tiba aku teringat pulang, aku bertekad untuk memasak Tha’miyah sepulangku nanti, bayangku serasa sudah sampai di rumah sambil memasak Tha’miyah untuk orang-orang rumah, ku sisakan sepiring untuk di letakkan di luar, untuk cak Ajis, cak Aly, dan cak Arif (galing) yang bekerja di bengkel.



Dan…..Tha’miyah Special kan ku buatkan untuk Afrah dan Rifky.






Zhie



[1] Nama jasa agen yang memberangkatkan kita, yang kemudian menjadi nama organisasi shilaturrahim.

[2] Sebutan asrama kita

[3] jubah

[4] Sebutan asrama kami.

0 Responses

Posting Komentar

abcs