Dering Telepon dari Bapak

Rabu, 2 Februari 2011

Hari ini jaringan internet menyala sejak kematiannya jum’at lalu, bukan hanya internet, jaringan telepon pun di putus oleh pemerintah mesir. Mungkin untuk mencegah para pendemo berkomunikasi, dan untuk mencegah perekrutan masa secara besar-besaran.

Tapi untunglah diputusnya sambungan telepon tidak selama diputusnya internet. sehingga sejak dua hari yang lalu, keluargaku bisa menelponku, menanyakan kabarku, bertanya kepastian keadaan sekelilingku. Senin lalu kakak menelponku, dengan nada yang sama sekali berbeda dari biasanya. Rendah, lirih. Seolah banyak beban yang menghimpit di jiwanya. Aku katakan kepada kakak, aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Disini aku tinggal di asrama. Para tentara dan pendemo Insya Allah tidak ada yang berani membuat keributan disini, Meskipun kerap kali ku lihat tawuran, dan tank yang lewat di dekat candela kamar. Kakak mengatakan juga kalau bapak menghawatirkan aku, selalu menanyakan kabarku.

Selasa, teleponku kembali berdering, nomor IM3 menelpon di HP ku, aku segera angkat telpon itu, suara bapak yang terdengar, beliau menanyakan kabarku. Ini kedua kalinya aku di telpon bapak semenjak aku tiba di mesir. Pertama sejak aku pertama kali tiba di mesir. Beliau menanyakan kabarku dan tinggal dimana? Beliau juga menyarankan aku untuk membali Magic Jar di kos2an. Saat itu aku masih tinggal di luar, di Hay Ashir, Nasr City.

Bapak menelpon, Pak Ghorib menyuruh Bapak berkali-kali untuk menelponku, menanyakan keadaanku. Aku bisa memaklumi, karena di keluarga kami jarang bahkan hampir tidak pernah melihat berita di televisi. Aku bisa memaklumi jika keluargaku terlambat mendengar berita ini.

Mendengar bahwa WNI yang berada di Kairo akan dipulangkan. Rona wajah teman-temanku berubah, sebagian merasa senang karena mendapat kesempatan berjumpa kembali dengan keluarga tercinta. Sebagian lagi merasa tidak siap. Karena kita baru setengah tahun disini. Ilmu yang mulia belum menghiasi diri kami secara sempurna. Apa kata orang di sekitar kami nanti, jika mereka begantung dan mengandalkan kami sementara kami masih belum bisa apa-apa.

Sebagian teman-teman merasa berat tuk meninggalkan kota Kairo ini, bagaimanapun juga, Kairo sudah menjadi bagian dari diri mereka, meski Cuma singgah sejenak, tapi kenangan tak terlupakan sudah terukur di hati mereka. Sedih memang, iya, aku tahu itu. Aku pun merasa demikian. Aku mendapat banyak teman disini. Teman-teman yang sulit aku tinggalkan. Reda Aly yang sudah menganggapku saudara sendiri, dia selalu melindungi aku dari anak-anak mesir yang Shoye’[1], yang selalu mengajariku pelajaran yang belum aku ketahui dari dosen, yang selalu setia menungguku sampai aku keluar di tempat ujian, yang selalu mencariku jika aku tidak hadir di kuliah.

Dan…Musthafa Atef, pemuda mesir yang mengagumkan dan begitu baik kepadaku, saat pertama kali mengenalnya, dia selalu ingat namaku. Di pertemuan kedua dia menghadiahkan aku CD Qari’nya. Suaranya begitu menggetarkan hati saat pertama kali aku mendengarnya di komputer Hariadi, tetangga kamarku. Mustafa yang sendirian tidak punya teman, yang selalu duduk di deretan paling belakang tanpa ada teman yang mengajaknya mengobrol. Aku terenyuh mendengarnya. Padahal dia anak yang paling tampan dan rapi di kelas. Tidakkah teman-teman mengetahui kalau dia imam masjid besar di Abbasiah ramadhan lalu? Tidakkah teman-teman tahu jika dia sering di undang untuk menjadi tamu di beberapa stasiun TV? Hatiku terharu jika melihat seseorang yang sendirian dan tidak mempunyai teman. Mengingatkanku pada masa laluku.

Aku mencoba mendekati Mustafa saat itu, dia bilang tidak begitu suka dengan dosen pengajar bahasa inggris. Tidak hanya dia aku rasa, tapi rata-rata teman mesir tidak menyukai dosen tersebut terbukti hanya segelintir orang yang hadir saat pelajaran bahasa inggris. Mustafa mengatakan kepadaku akan absent di pelajaran bahasa inggris dan akan hadir di pelajaran selanjutnya. Aku mempersilahkannya, setelah sholat Dzuhur aku pergi ke Mukhadoroh, tempat berlangsungnya kuliah. Aku masuk dan ternyata Mustafa mengikutiku dari belakang, dan dia duduk di sebelahku. Tapi aku merasa senang karena kehadirannya di Maddah bahasa inggris, dia mulai mempunyai beberapa teman. Aku merasa bahagia Mustafa mendapat teman. Seolah-olah melihat cerminan diriku di masa lalu, begitu bahagia mendapat teman untuk sekedar di ajak mengobrol.

Isma’il, Abdulloh, dan Sa’ad dari Afghanistan, teman satu kelas. Ali sebagai pengajarnya, tahukah kau sobat, Ali adalah orang Tanzania, bahasa inggrisnya sangat bagus, lancar dan jelas. Dia menjadi penerjemah kedutaanya jika ada tamu asing mengunjungi kedutaanya. Mereka sangat baik kepadaku. Setiap bertemu mereka di masjid mereka selalu menyapaku. Teman-teman yang ramah. Aku sangat senang jika mengobrol dengan mereka menggunakan bahasa inggris. Suasana kekeluargaan yang begitu mendalam. Kenangan yang sulit dan tidak ingin aku tinggalkan.

Haruskah aku meninggalkan mereka Ya Allah? Aku tidak ingin meninggalkan mereka. Teman-teman Informatika yang sangat aku cintai, kita sudah melewati banyak kesulitan. Mengejar Deadline wawancara dan menulis, kita berjuang di tengah teriknya matahari musim panas, di tengah rasa dahaga yang memuncak saat Ramadhan. Canda tawa saat kita kumpul di sidang redaksi. Aku menemukan keluarga kedua disini. Aku tidak ingin melepaskannya.

Rasa takut terkadang menghinggapi diriku, saat aku kembali ke Indonesia, aku takut tidak bisa kembali ke mesir, karena aku yakin pasti ibu mencegahku, kakak, ayah dan beberapa keluargaku pasti mencegahku kembali ke mesir. Aku takut mereka terlalu mengkhawatirkan keadaanku, sehingga langkahku untuk mencapai asa kian berat dan terhambat. Aku juga tidak ingin kehilangan keluarga yang sudah aku dapatkan disini, Allah…..

Aku tahu tidak cuma aku yang memikirkan hal seperti ini, teman-temanku juga. terkadang teman-teman pergi ke Sutuh, atap asrama kita, melihat pemandangan kota kairo dari atas, melepas rindu sebelum meninggalkan kota ini. Aku tahu hati mereka menangis meski tak mereka tampakkan di raut wajah mereka, menangis saat memandang luas ke angkasa, melihat deretan rumah, mobil dan bis yang melewati trotoar. Bis yang seringkali membuat kita jengkel, bis yang lama munculnya saat kita tunggu, bis yang selalu mengantarkan kita ke kampus, mengejar, berlari dan berdesakan dengan mahasiswa dari berbagai negara. Hal ini rela kami lakukan demi mendapat ilmu yang mulia. Ilmu yang tinggi derajatnya di mata Allah. Ilmu yang di sampaikan oleh dosen-dosen yang ikhlas yang rela di gaji sangat rendah.

Entah apa yang diinginka para dosen itu, dengan ilmu dan gelar doctor mereka, mereka bisa saja bekerja di tempat lain. Dengan gelar mereka tentu sangat mudah mendapat uang yang berlimpah. Tapi mereka tetap istiqomah mengajar kita, tetap istiqomah duduk di samping kita, tetap mau mengajar kita. Allah…..tentu ridha-Mu lah yang mereka inginkan.

Dilemma…entah kita bisa kembali ke kota ini atau tidak. Dan entah masih bisakah aku melihat suasana seperti ini lagi, dan bertemu dengan keluarga-keluargaku di Mesir ini.

Zhie



[1] Nakal

0 Responses

Posting Komentar

abcs