Di Balik Sosok Pendiam

18-Maret-2011


hari ini, aku bersama sahabatku Rais, berniat untuk menelpon orang tua, kerabat dan teman lewat internet di lokasi Madrosah, Hay asyir.


lokasinya jauh dari asrama kami, selain itu, kami sudah berkali-kali pergi kesana tetapi selalu mengantri, satu orang yang mengantri bisa sampai 2 jam-an.


terkadang sudah hampir 4 jam aku mengantri tetap tidak mendapat bagian, akhirnya aku urungkan, dan meninggalkan tempat itu, karena percuma....di Indonesia pasti sangat larut, dan tidak akan ada yang mengangkat telepon.


berkali-kali aku dikecewakan karena lamanya menunggu tetapi nampaknya Allah memberiku jalan hari ini, untuk mendengar suara keluargaku.


Rifky dan Afra yang malu-malu bertelponan denganku, ibu yang bahagia mendengar suaraku, Mbak Ifa yang tertawa mendengar cerita-ceritaku, ah......senangnya....^^


aku mendengar cerita tentang Rifky dari mbak Ifa, kalau dia mirip denganku, penyendiri, suka membaca majalah dan selalu makan telur mata sapi. kata penduduk rumah tidak ada aku, Rifky sebagai penggantinya ^^.


Rifky jadi benar-benar mirip denganku, mungkin ini karena aku dan Mbak Ifa sering bertengkar saat Mbak Ifa mengandung Rifky. memang ada mitos kalau kita membenci seseorang saat dalam masa kehamilan, anak kita akan terlahir persis sama dengan orang yang kita benci. ah.....sekali lagi aku bilang....itu cuma mitos......


dan sejenak aku sempat terheran, sebelum berangkat ke Mesir Rifky dan Afra alergi dengan telur, dan terucap dari bibirku lafad "Alhamdulillah" saat mendengar langsung dari Mbak Ifa, kesembuhan Rifky dari alergi telur.


dan...pendiam bukan menjadi masalah, aku baru mengetahuinya setelah lulus dari SMA. orang pendiam pikirannya lebih tajam daripada orang yang pandai bergaul.


aku mengakui hal itu, karena aku bisa mengetahui secara cepat masalah di dalam keluargaku tanpa seorang pun yang memberitahuku.


aku juga bisa mengetahui saat ibu berbohong kepadaku saat masih kecil, dari gaya berbicaranya, suaranya, mimik wajahnya, berbeda dari sikap ibu yang biasanya. tetapi aku pura-pura mengikuti kebohongan ibu. karena ibu ingin aku percaya akan kebohongannya. dan aku tidak ingin mempermalukan ibu saat itu.


dan alangkah sakit hatinya aku, saat bapak mengajariku tentang adab sewaktu masih kecil, tetapi bapak sendiri melanggarnya. meskipun saat itu aku masih SD, tapi aku bukan anak kecil yang mudah dibodohi. pikiranku tajam, hanya saja aku seorang anak yang pendiam, tidak berani protes.


dan berkali-kali aku menemukan kesalahan yang dipaparkan oleh guruku saat mengajar, sangat berbeda dari buku-buku yang aku baca selama ini. dan guru-guru ku pun takjub mengetahui keilmuanku. bahkan saat duduk di bangku Sekolah Dasar. aku hafal rumusan hukum-hukum yang bahkan orang dewasa pun belum tentu bisa menghafalnya. dan semua hal itu tidak pernah diajarkan di Sekolah.


bisa dibilang aku pintar dan cerdas bukan karena sekolah, tetapi membaca buku-buku yang tidak ada di sekolah. terkadang bapak selalu salah kaprah, mengira sekolah itu segalanya, menyindirku yang terus-terusan membaca buku. padahal bisa dibilang hampir aku tidak mendapatkan apapun dari Sekolah, pengajar yang kurang berkompeten, dan tidak jarang mereka absen karena Flu ringan dan alasan-alasan lain yang ‘sepele’, ah...para pemakan gaji buta.


jika kita lihat seorang Buya Hamka, yang kabarnya dikeluarkan dari sekolah (belum aku klarifikasi). terus darimana dia mendapat pengetahuan yang begitu dahsyatnya? dari membaca buku yang ada di perpustakaan ayahnya.


dan sekarang....ketajaman pikiranku berangsur-angsur hilang seiring mulai pandainya aku dalam bergaul. fenomena yang sangat unik. aku kira jika ketajaman pikiran bisa terus bersamaku, ternyata tidak. memang terbukti buku Psikologi yang telah aku baca. orang yang pandai bergaul hanya bisa melihat situasi dari luarnya saja, meskipun sudah berkali-kali mendalami hal itu. berbeda dengan para pendiam dan penyendiri. otaknya jauh lebih tajam dan mendalam, hanya saja mereka tidak mampu mengungkapkannya.



Zhie

0 Responses

Posting Komentar

abcs